MASJID AL-MUSABBIHIN

MASJID AL-MUSABBIHIN
Sumber Dakwah dan Informasi DKM AL-MUSABBIHIN PERUM KOMPAS INDAH TAMBUN
Latest Post

Debat Syaikh Salim Alwan dan Abdurrahman Dimasyqiyat di Melbourne

Written By Rudi Yanto on Senin, 30 Desember 2013 | 12/30/2013


 
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya-karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software Maktabah Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.
Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang pernah disinggahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik. Ia lupa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam hadits qudsi, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku deklarasikan perang terhadapnya.”
Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita-wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya direkam -rekamannya masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup-, di mana dalam rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari Azhar Lebanon pada tahun 1972.
Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya. Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan amal masih belum berlaku bagiku”.
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di Perancis.
Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan kaum anti tawassul.
Di antara mukjizat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan. Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan teror dan ancaman. Akan tetapi takdir Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi. Akhirnya perdebatan terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti sirna.
Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke aula Universitas Melbourne pada tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abduraahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh.
Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar, al-Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam, dan al-Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir. Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.”
Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang di-tahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal “Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat.
Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab al-Kalim al-Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid.
Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam al-Kalim al-Thayyib hal. 120 dalam mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, di mana al-Albani menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba Anda lihat (hal. 16 kitab al-Kalim al-Thayyib), yang dicetak di percetakan al-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al-Maktab al-Islami, ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan al-Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri.
Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah tersebut dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran. Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar berdoa, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul shallallahu alaihi wasallam. Hadits ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam al-Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, di mana moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrhman Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Di antaranya kitab al-Radd ‘ala Abdillah al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah al-Syami.
Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang-orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafizh yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang manusia bertawassul dengan Rasul shallallahu alaihi wasallam bukan di hadapannya, padahal Rasul shallallahu alaihi wasallam telah mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian lebih pandai dari pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berperilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik pertanyaan.
Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban.
Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk menutupi kegagalannya. Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh Abdullah men-tahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan saya punya kopiannya.”
Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru di-tahqiq dan dikoreksi oleh orang lain, bernama Husain Nazhim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam atau makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Kalian mengklaim mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim (hal. 367 terbitan Mathabi’ al-Majd al-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat duduk dan tangan Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, di mana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan al-Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata: “Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi shallallahu alaihi wasallam.”
Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala:
اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan pendapat Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah subhanahu wa ta’ala terhadap ‘Arsy bukan seperti istiwa’-nya makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang tidak menyerupai makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah ber-istawa sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.”
Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al-qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat alasan mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah mengucapkannya? Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula Universitas Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.


Catatan Dialog Ust. Idrus Ramli dengan Wahabi di Batam, 28 Desember 2013 KONTRA WAHABI

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
1. Dalam dialog tersebut, perwakilan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai pembicara, hanya al-faqir Muhammad Idrus Ramli. Sedangkan Kiai Thobari Syadzili, hanya menemani duduk, tidak diberi waktu berbicara, kecuali 1 menit menjelang acara dihentikan. Sementara dari pihak Radio Hang atau Wahabi, adalah Ustadz Zaenal Abidin dan Ustadz Firanda Andirja. Isu-isu dari kaum Wahabi, bahwa perwakilan dari Ahlussunnah adalah saya dan beberapa orang, adalah tidak benar. Jadi yang benar, debat 1 orang lawan 2 orang.
2. Dalam acara dialog tersebut, semua pembicara dibatasi oleh waktu. Karenanya mungkin banyak pembicaraan Wahabi yang tidak sempat kami tanggapi, dan sebaliknya.
3. Dalam pengantar dialognya, Ustadz Zaenal Abidin Lc, yang mewakili pihak Wahabi, mengaku sebagai warga NU (Nahdlatul Ulama) tulen. Padahal selama ini, dalam ceramah-ceramahnya ia selalu membid’ahkan amalian warga NU. Dan ternyata, dalam dialog tersebut, Zaenal Abidin, tidak bisa menyembunyikan jatidirinya yang Wahabi. Ia menyalahkan ajaran NU seperti menerima bid’ah hasanah, melafalkan niat dalam ibadah, qunut shubuh, tahlilan (kendurenan tujuh hari), Yasinan dan Yasin Fadhilah. Silahkan pemirsa menilai sendiri dengan hati nurani. Zaenal mengaku warga NU tulen, tetapi menyalahkan semua amaliah NU.
4. Delegasi dari Wahabi, Zaenal maupun Firanda, tidak menaruh hormat kepada pendapat para ulama besar sekaliber Imam Ahmad bin Hanbal, Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar dan lain-lain. Misalnya dalam bahasan bid’ah hasanah, saya mengutip pendapat Imam an-Nawawi yang menjelaskan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah, dibatasi dengan hadits man sanna sunnatan hasanatan. Firanda tidak menghargai pendapat Imam an-Nawawi tersebut, dan memilih berpendapat sendiri. Padahal dia, masih belum layak memiliki pendapat sendiri. Bahkan memahami karya para ulama juga sering keliru. Pembaca dan pemirsa tentu tahu, bahwa ciri khas kaum liberal atau JIL adalah menolak otoritas ulama.
5. Zaenal dan Firanda menggunakan standar ganda dalam menilai pendapat para ulama. Ketika pendapat mereka sesuai dengan semangatnya, mereka mati-matian menyerang tradisi NU, seperti dalam kasus tradisi kenduri kematian selama 7 hari, yang dihukumi makruh dalam kitab-kitab Syafi’iyah. Seakan-akan mereka lebih Syafi’iyah dari pada warga NU. Akan tetapi ketika pendapat para ulama tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, Firanda dan Zaenal menganggap pendapat tersebut tidak ada apa-apanya. Seperti dalam bahasan bid’ah hasanah. Sikap mendua seperti ini, mirip sekali dengan kebiasaan orang Syiah. Ketika hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim sesuai dengan keinginan Syiah, mereka jadikan hujjah. Akan tetapi ketika hadits-hadits tersebut berbeda dengan hawa nafsu Syiah, mereka tolak dan mereka dustakan.
6. Dalam bahasan qunut shubuh, Firanda melakukan kesalahan ilmiah ketika mengomentari tanggapan saya terhadap hadits Abi Malik al-Asyja’i. Sebagaimana dimaklumi, dalam riwayat al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Musnad Ahmad dan Ibnu Hibban, Abu Malik al-Asyja’i menafikan qunut secara mutlak, baik qunut nazilah maupun qunut shubuh. Tetapi Firanda mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, hadits Abu Malik al-Asyja’i menggunakan redaksi yaqnutun fil fajri (qunut shalat shubuh). Ternyata setelah kami periksa dalam kitab-kitab hadits, kalimat fil fajri tidak ada dalam riwayat-riwayat tersebut. Silahkan diperiksa dalam Sunan al-Tirmidzi juz juz 2 hal. 252 (tahqiq Ahmad Syakir), Sunan al-Kubra lin-Nasa’i, juz 1 hal. 341 tahqiq at-Turki atau al-Mujtaba lin-Nasa’i juz 2 hal. 304 tahqiq Abu Ghuddah.
7. Firanda memaksakan diri mengatakan bahwa hukum kenduri kematian selama tujuh hari menurut Syafi’iyah adalah makruh tahrim. Padahal dalam kitab-kitab Syafi’iyah, hukumnya adalah bid’ah yang makruh dan tidak mustahabbah, alias bukan makruh tahrim. Untuk menguatkan pandangannya, Firanda mengutip pernyataan Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, dalam Asna al-Mathalib, yang berkata “wa hadza zhahirun fit tahrim”. Ternyata setelah kami periksa, Syaikhul Islam Zakariya, masih menghukumi kenduri kematian dengan makruh atau bid’ah yang tidak mustahab (tidak sunnah). Sedangkan keharaman yang menjadi makna zhahir hadits tersebut, oleh beliau dialihkan kepada bukan tahrim. Hal ini dapat dipahami, ketika membaca dengan seksama, bahwa Syaikhul Islam Zakariya dalam pernyataan tersebut, mengutip dari Imam an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin dan al-Majmu’, yang menghukumi kenduri kematian dengan bid’ah yang tidak mustahab.
8. Zaenal Abidin, kurang memahami istilah-istilah keilmuan. Misalnya tentang qiro’ah syadzdzah (bacaan yang aneh atau menyimpang), dalam membaca al-Qur’an. Menurut Zaenal, orang yang membaca ayat al-Qur’an, apabila diulang-ulang maka termasuk qiro’ah syadzdzah yang diharamkan. Sebaiknya Zaenal belajar ilmu qiro’ah atau ilmu tafsir agar tidak keliru dalam hal-hal kecil.
9. Dalam bahasan melafalkan niat, menurut Firanda dan Zaenal, redaksi niat harus menggunakan redaksi usholli dan nawaitu showma ghadin. Kalau redaksinya dirubah menjadi nawaitu an ushalliya atau inni shoimun, dan atau ashuumu, menurut mereka adalah salah dalam madzhab Syafi’iyah.
Demikian beberapa catatan kami terhadap dialog kemarin. Wallahul muwaffiq.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
Batam, 30 Desember 2013.

MELURUSKAN DUSTA WAHABI (FIRANDA) : ASWAJA SUFI MENIRU-NIRU SYI'AH ATAU SEBALIKNYA ? (PART I)

Written By Rudi Yanto on Jumat, 27 Desember 2013 | 12/27/2013


meluruskan dusta firanda
Orang-orang Salafi-Wahabi memang benar-benar bodoh. Misalnya, salah seorang ustadz mereka, Firanda Andirja, menulis artikel berjudul “ASWAJA Sufi Meniru-niru Syiah ataukah sebaliknya?” Dalam tulisan tersebut, jelas sekali kebodohannya. Berikut tanggapan terhadap artikel tersebut dalam format dialog:
WAHABI: “Sungguh kita menemukan permusuhan yang sangat sengit dari kaum syi’ah dan aswaja imitasi (baca : sufi) terhadap aswaja asli (baca : salafy atau yang dinamakan oleh kaum sufi sebagai wahabi). Seakan-akan musuh mereka hanyalah kaum wahabi. Ada apa gerangan antara Syi’ah dan Aswaja, kenapa sama-sama bersepakat memusuhi kaum wahabi..??!!”
SUNNI: “Itu karena Anda bodoh wahai Wahabi. Kaum shufi adalah golongan terbaik Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Sedangkan Wahabi termasuk bagian dari Khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalaupun Wahabi mengaku ASWAJA, itu imitasi. Sedangkan Syiah juga aliran sesat, bahkan lebih sesat dari Wahabi wahai Wahabi. Jadi sangat bodoh, kalau Anda beranggapan bahwa kaum shufi bergandengan tangan dengan Syiah dalam memusuhi Wahabi. Memang ajaran kaum shufi ada yang sama dengan syiah, tapi bukan berarti itu salah. Yang salah adalah, ajaran Wahabi yang berbeda dengan kaum shufi dan syiah, seperti dalam bahasan artikel Anda.”
WAHABI: “Ada kesamaan antara dua kelompok ini (SHUFI DAN SYIAH), terutama dalam peribadatan kepada penghuni kuburan dan para wali !!!”
SUNNI: “Umat Islam, baik kaum shufi maupun syiah, tidak beribadah kepada penghuni kuburan dan para wali. Mereka hanya bertabaruk, bertawasul dan beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat. Hal ini tidak bisa dikatakan ibadah wahai Wahabi. Karena yang dinamakan ibadah menurut para ahli bahasa adalah:
Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin al-Sari al-Zajjaj (241-311 H/855-924 M) – pakar bahasa Arab dan tafsir– berkata:
الْعِبَادَةُ فِيْ لُغَةِ الْعَرَبِ الطَّاعَةُ مَعَ الْخُضُوْعِ.

“Ibadah dalam bahasa Arab adalah ketundukan yang disertai kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam Abu al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin Mufadhdhal yang dikenal dengan al-Raghib al-Ashfihani (w. 502 H/1108 M) -pakar bahasa dan tafsir- berkata dalam kitabnya Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an:
الْعِبَادَةُ غَايَةُ التَّذَلُّلِ.

“Ibadah adalah puncak dari kepatuhan dan kerendahan diri kepada Allah”.
Al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki (683-756 H/1240-1355 M) –pakar fiqih, bahasa dan tafsir– ketika menafsirkan ayat:
اياك نعبد واياك نستعين

“Hanya Engkaulah yang kami sembah”. (QS. al-Fatihah : 5).
berkata:
أَيْ نَخُصُّكَ بِالْعِبَادَةِ الَّتِيْ هِيَ أَقْصَى غَايَةِ الْخُشُوْعِ وَالْخُضُوْعِ.

“Yakni, kepada-Mulah kami khususkan beribadah yang merupakan puncak dari rasa kekhusyukan dan kerendahan diri”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibadah merupakan ketundukan, kepatuhan, puncak dari penghambaan diri dan kerendahan diri kepada Allah SWT. Ibadah dalam pengertian ini, tentu hanya diberikan kepada Allah SWT, tidak kepada yang lain-Nya.
Oleh karena itu memanggil orang yang hidup atau yang sudah meninggal, mengagungkan, ber-istighatsah, berziarah ke makam wali untuk tujuan tabarruk (mendapat barakah), meminta sesuatu yang secara umum tidak mampu dilakukan oleh manusia, dan meminta pertolongan kepada selain Allah bukanlah termasuk ibadah kepada selain Allah, dan sudah barang tentu juga bukan termasuk perbuatan syirik yang dilarang oleh agama. Camkan hal ini wahai Wahabi.
WAHABI: “Tidak heran jika SYI’AH & ASWAJA SUFI :
-         Sama-sama hobi meninggikan kuburan…??!!”
SUNNI: “Apa maksud sama-sama hobi meninggikan kuburan? Berapa meter? Apakah termasuk syirik akbar? Tolong dijawab ya Ustadz Wahabi. Apakah kalau meninggikan kuburan, berarti Syiah? Meninggikan kuburan berarti sesat??? Apa begitu wahai Wahabi bahlol??? Bukankah meninggikan kuburan telah terjadi sejak masa salaf yang saleh. Berikut data-datanya:
عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ الْمَدَنِىِّ عَنِ الْمُطَّلِبِ قَالَ لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ أَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ – قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِى يُخْبِرُنِى ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ « أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِى وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِى ».

“Dari Katsir bin Zaid al-Madani, dari al-Muththalib berkata: “Ketika Utsman bin Mzh’un meninggal, jenazahnya dikeluarkan, lalu dimakamkan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang laki-laki membawakan sebuah batu besar. Ternyata laki-laki tersebut tidak mampu mengangkatnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi batu tersebut, lalu membuka kedua lengannya. Katsir berkata: “Al-Muththalib berkata: “Telah berkata orang yang mengabarkan hal itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Seakan-akan aku melihat putihnya kedua lengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika membuka keduanya, kemudian membawa batu itu, lalu menaruhnya di kepala kuburan itu dan beliau bersabda: “Aku tandai dengan batu itu, kuburan saudaraku, dan aku akan menguburkan keluargaku yang meninggal ke situ.” (HR. Abu Dawud [1641], Ibnu Majah [1651], Ibnu Abi Syaibah (3/334) dan al-Baihaqi (3/412).
Dalam hadits di atas, menunjukkan bolehnya menaruh tanda makam seseorang di atas tanah makamnya. Tanda tersebut tentu lebih tinggi dari permukaan tanah.
أخبرنا إبراهيم بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه أن النبي صلى الله عليه وسلم رش على قبر إبراهيم ابنه ووضع عليه حصباء، والحصباء لا تثبت إلا على قبر مسطح
“Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Muhammad, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memercikkan air pada makam Ibrahim putranya, dan meletakkan kerikil-kerikil.” Imam al-Syafi’i berkata: “Kerikil tidak akan tetap kecuali di atas kuburan yang diratakan.” (Musnad al-Imam al-Syafi’i [599] dan al-Umm (1/273).
عَنِ الْقَاسِمِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَقُلْتُ يَا أُمَّهْ اكْشِفِى لِى عَنْ قَبْرِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَصَاحِبَيْهِ رضى الله عنهما فَكَشَفَتْ لِى عَنْ ثَلاَثَةِ قُبُورٍ لاَ مُشْرِفَةٍ وَلاَ لاَطِئَةٍ مَبْطُوحَةٍ بِبَطْحَاءِ الْعَرْصَةِ الْحَمْرَاءِ قَالَ أَبُو عَلِىٍّ يُقَالُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُقَدَّمٌ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ رَأْسِهِ وَعُمَرُ عِنْدَ رِجْلَىْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Al-Qasim berkata: “Aku memasuki rumah Aisyah, lalu berkata: “Wahai bunda, bukakanlah untukku makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kedua sahabatnya.” Lalu beliau membukakan untukku tiga makam, yang tidak terlalu tinggi dan tidak rata dengan tanah, dibentangkan dengan kerikil halaman yang merah.” (HR. Abu Dawud [1564]).
عَنْ سُفْيَانَ التَّمَّارِ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّهُ رَأَى قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَنَّمًا
“Sufyan at-Tammar telah bercerita telah melihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditinggikan (seperti punuk)”. (HR al-Bukhari dalam Shahih-nya [1390]).
وَقَالَ خَارِجَةُ بْنُ زَيْدٍ رَأَيْتُنِي وَنَحْنُ شُبَّانٌ فِي زَمَنِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَإِنَّ أَشَدَّنَا وَثْبَةً الَّذِي يَثِبُ قَبْرَ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ حَتَّى يُجَاوِزَهُ
“Kharijah bin Zaid berkata: “Aku melihat diriku, ketika kami masih muda pada masa Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahwa orang yang paling kuat lompatannya di antara kami, adalah dia yang mampu melompat makamnya Utsman bin Mahz’un, hingga melewatinya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya [1360]).
عن عبد الله بن أبي بكر قال رأيت قبر عثمان بن مظعون مرتفعا
“Abdullah bin Abi Bakar berkata: “Aku melihat kuburan Utsman bin Mazh’un, tinggi.” (HR Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf [11746]).
Dalam hadits di atas, menunjukkan bahwa makam ‘Utsman bin Mazh’un itu ditinggikan, sehingga menjadi tempat ujian kekuatan lompatan anak-anak pada masa mudanya Kharijah bin Zaid. Hal ini membuktikan bahwa tingginya makam Utsman bin Mazh’un tidak kurang dari lima atau enam jengkal.
Beberapa riwayat di atas menunjukkan bahwa meninggikan kuburan, bukan tradisi yang dibuat-buat oleh Syiah. Akan tetapi telah berlangsung sejak masa sahabat. Kecuali kalau Wahabi beranggapan bahwa orang-orang yang makamnya ditinggikan di atas, adalah orang-orang Syiah.”
WAHABI: “Syiah dan Kaum Shufi
-         Sama-sama hobi beribadah di kuburan…??!!”
SUNNI: “Apakah beribadah di kuburan seperti shalat dan membaca al-Qur’an termasuk syirik akbar? Bukankah al-Bukhari meriwayatkan bahwa Anas bin Malik telah menunaikan shalat di samping makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
وَرَأَى عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يُصَلِّي عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ الْقَبْرَ الْقَبْرَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ

“Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu melihat Anas bin Malik melaksanakan shalat di samping kuburan, lalu Umar berkata: “Itu kuburan, itu kuburan”. Umar tidak menyuruh Anas untuk mengulangi shalatnya.” (HR. al-Bukhari).

Hadits tersebut, menunjukkan bahwa larangan shalat di kuburan tidak menuntut batalnya shalat yang dilakukan. Terbukti Anas bin Malik terus menyelesaikan shalatnya, dan Umar tidak pula menyuruhnya mengulangi shalatnya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari(1/523-524) dan al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari.
Bukankah Imam al-Syafi’i, Yahya bin Ma’in dan Imam Ahmad bin Hanbal menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan? Dan masih banyak riwayat lain, tentang ibadah di kuburan yang dianjurkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyimil Jauziyyah. Apakah mereka semuanya berarti Syiah?
WAHABI: “Kaum Shufi dan Syiah :
-         Sama-sama hobi meminta dan beristighotsah kepada penghuni kuburan..??!!”
SUNNI: “Justru yang tersesat jalan dalam masalah ini bukan Syiah. Akan tetapi Wahabi, Khawarijul-‘ashri yang tersesat jalan karena mensyirikkan istighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah wafat. Berikut di antara dasar-dasarnya:
Hadits Ibn Umar
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ. حديث صحيح رواه البخاري في الأدب المفرد (964)، والحافظ إبراهيم الحربي في غريب الحديث (2/673-674)، والحافظ ابن السني في عمل اليوم والليلة (ص/72-73)، وذكره ابن تيمية في كتابه الكلم الطيب (ص/88).

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibn Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits shahih ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (hal. 324), al-Hafizh Ibrahim al-Harbi dalam Gharib al-Hadits (2/673-674), al-Hafizh Ibn al-Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah (hal. 72-73), dan dianjurkan untuk diamalkan oleh Ibn Taimiyah –ideolog pertama kaum Wahhabi–, dalam kitabnya al-Kalim al-Thayyib (hal. 88).
Hadits di atas menunjukkan bahwa sahabat Abdullan bin Umar radhiyallahu ‘anhuma melakukan tawassuldan istighatsah dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil) «يا محمد» yang artinya: «أدركني بدعائك يا محمد»(tolonglah aku dengan doamu kepada Allah wahai Muhammad). Hal ini dilakukan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau wafat meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil), yang berarti nida’ al-mayyit (memanggil seorang nabi atau wali yang telah meninggal) bukanlah termasuk syirik.
Hadits Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu
عَنْ مَالِكٍ الدَّارِ، قَالَ : وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ، قَالَ : أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ ِلأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا، فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيْلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْكَ الْكَيْسَ، عَلَيْكَ الْكَيْسَ، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لاَ آلُوْ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. رواه ابن أبي شيبة في المصنف (12/31-32)، و ابن أبي خيثمة كما في الإصابة (3/484)، والبيهقي في دلائل النبوة (7/447) والخليلي في الإرشاد (1/313-314) ، وابن عبد البر في الاستيعاب (2/464)، وإسناده صحيح، وقد صححه الحافظ ابن كثير في البداية والنهاية (7/101) ، وصححه الحافظ ابن حجر في فتح الباري (2/495). وقال ابن كثير في جامع المسانيد – مسند عمر – (1/223) : إسناده جيد قوي. وأقر ابن تيمية بثبوته في اقتضاء الصراط المستقيم (ص/373) .

“Diriwayatkan dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththabbahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telahbinasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebutdatang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (12/31-32), Ibn Abi Khaitsamah sebagaimana dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (3/484), al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah(7/47), al-Khalili dalam al-Irsyad (1/313-314) dan al-Hafizh Ibn Abdilbarr dalam al-Isti’ab (2/464). Sanad hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (7/101) dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (2/495). Al-Hafizh Ibn Katsir juga mengatakan dalam kitabnya yang lain, Jami’ al-Masanid di bagian Musnad Umar bin al-Khaththab (1/223) bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang dimaksud laki-laki yang mendatangi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan tawassul dalam hadits ini adalah sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu.
Apakah para ulama dan tokoh yang menjadi sumber rujukan dan hukum dalam catatan di atas orang-orang Syiah? Tentu saja bukan. Pikirkan dengan hati yang jernih hal ini wahai Wahabi. Anda menyesatkan ajaran Syiah dalam masalah istighatsah, padahal sebenarnya Anda sendiri yang sesat wahai Wahabi.”
WAHABI: “Kaum Shufi dan Syiah -  :  Sama-sama hobi mencari barokah dari pasir yang ada dikuburan para wali??”
SUNNI: “Sayang sekali, Anda tidak menguraikan referensinya dalam kitab-kitab kaum Shufi. Dan sepertinya Anda tidak mengerti makna tabaruk beserta hukum-hukumnya.”
WAHABI: “Kaum Shufi dan Syiah - Sama-sama berlindung dibalik topeng “cinta kepada Ahlul Bait…”, atau “Demi menghormati Ahlul Bait”, seakan-akan kecintaan kepada Ahlul Bait dan kesyirikan adalah dua perkara yang saling melazimkan !!!”
SUNNI: “Bukankah cinta Ahlul Bait termasuk bagian dari ajaran Islam? Syaikh Ibnu Taimiyah, Syaikhul-Islam antum juga menjelaskan kecintaan kepada Ahlul Bait dalam kitabnya al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Al-Imam al-Syafi’i sangat mencintai Ahlul-Bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ). Kecintaan kepada mereka beliau lukiskan dalam tawassul melalui sebuah syair yang sangat indah dan diriwayatkan oleh al-Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Shawa’iq al-Muhriqah (hal. 274):
آلُ النَّــِبيِّ ذَرِيْعَتِيْ   وَهُمُ إِلَيْهِ وَسِــيْلَتِيْ
أَرْجُوْ بِهِمْ أُعْطىَ غَدًا   بِيَدِي الْيَمِيْنِ صَحِيْفَتِيْ

Keluarga Nabi adalah pintu dan wasilahku kepada Allah
Aku berharap dengan mereka kelak memperoleh catatan amalku dengan tangan kananku
Syair al-Imam al-Syafi’i di atas juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi dalam Manaqib al-Syafi’i dan al-Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya. Apakah dengan demikian Ibnu Taimiyah dan Imam Syafi’i Anda katakana Syiah???? Anda terlalu gegabah wahai Firanda. Lalu apa hubungannya antara kecintaan kepada Ahlul Bait dengan kesyirikan wahai Wahabi??? Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata:
ارقبوا محمدا في اهل بيته
“Perhatikan dan muliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui ahlul bait-nya.” (HR. al-Bukhari dalam Shahihnya).

Kecintaan kepada Ahlul Bait juga diterangkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah dengan demikian ajaran cinta Ahlul Bait termasuk ajaran Syiah dan syirik wahai Wahabi??? Itu semua, karena konsep Anda tentang kesyirikan yang keliru dan sesat.”
WAHABI: “Entah…apakah kaum aswaja sufi yang ikut-ikutan taqlid buta kepada kaum syi’ah??, ataukah sebaliknya??!!”
SUNNI: “Yang benar adalah, ajaran Wahabi itu tidak benar, sesat dan menyesatkan.”
Bersambung ..
Muhammad Idrus Ramli
www.idrusramli.com

MELURUSKAN DUSTA WAHABI BAHWA "ASWAJA SHUFI MENIRU SYIAH" PART II


meluruskan dusta wahabi firanda
MELURUSKAN DUSTA WAHABI (FIRANDA) DALAM ARTIKELNYA “ASWAJA SUFI MENIRU-NIRU SYIAH..?? ATAUKAH SEBALIKNYA..??!!” (Part II).
Lanjutan dari bagian pertama. Pada bagian berikut ini, Firanda Andirja banyak mengutip perkataan Khumaini, pemimpin Syiah Imamiyah Iran, lalu menyamakannya dengan kaum Shufi Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal dalam masalah tersebut, Wahabi-lah (atau Firanda Andirja-lah) yang sesat, bukan pendapat Khumaini. Berikut dialognya:
WAHABI: “KETIGA : Ruh seseorang setelah mati maka semakin hebat dan semakin diberi kekuatan oleh Allah dan semakin tinggi kedudukannya. (Kemudian Firanda mengutip perkataan Khumaini dalam Kasyful Asroor hal 56). Lalu Firanda berkata:
Lihatlah bagaimana aqidah Khumaini, ia meyakini bahwa setelah kematian mayat-mayat lebih hebat???
Dalilnya apa ..??!! tidak satu ayatpun…apalagi hadits…, yang ada hanyalah keyakinan kaum ahli filsafat yunani yang tidak beragama, bukan yahudi dan juga bukan nasoro. Itulah landasan pijakan Khumaini !!!”
SUNNI: “Menurut Anda, Ibnu Qayyimil Jauziyyah itu bagaimana?”
WAHABI: “Beliau ulama terkemuka, murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, panutan kami kaum Wahabi.”
SUNNI: “Ibnu Qayyimil Jauziyyah, telah menulis kitab ar-Ruh, dan isinya sama dengan apa yang disampaikan oleh Khumaini di atas, bahwa para nabi dan orang shaleh yang sudah wafat, kemampuannya lebih hebat. Dalam konteks ini Ibn al-Qayyim mengatakan:
فَالرُّوْحُ الْمُطْلَقَةُ مِنْ أَسْرِ الْبَدَنِ وَعَلاَئِقِهِ وَعَوَائِقِهِ مِنَ التَّصَرُّفِ وَالْقُوَّةِ وَالنَّفَاذِ وَالْهِمَّةِ وَسُرْعَةٍ مِنَ الصُّعُوْدِ إِلَى اللهِ وَالتَّعَلُّقِ بِاللهِ مَا لَيْسَ لِلرُّوْحِ الْمَهِيْنَةِ الْمَحْبُوْسَةِ فِيْ عَلاَئِقِ الْبَدَنِ وَعَوَائِقِهِ . . . وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الرُّؤْيَا مِنْ أَصْنَافِ بَنِيْ آدَمَ عَلَى فِعْلِ اْلأَرْوَاحِ بَعْدَ مَوْتِهَا مَا لاَ تَقْدِرُ عَلَى مِثْلِهِ حَالَ اتِّصَالِهَا بِالْبَدَنِ مِنْ هَزِيْمَةِ الْجُيُوْشِ الْكَبِيْرَةِ بِالْوَاحِدِ وَاْلاِثْنَيْنِ وَالْعَدَدِ الْقَلِيْلِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَكَمْ قَدْ رُؤِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَمَعَهُ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي الْيَوْمِ قَدْ هَزَمَتْ أَرْوَاحُهُمْ عَسَاكِرَ الْكُفْرِ وَالظُّلْمِ، فَإِذًا بِجُيُوْشِهِمْ مَقْلُوْبَةً مَكْسُوْرَةً مَعَ كَثْرَةِ عَدَدِهِمْ وَعُدَّتِهِمْ، وَضُعْفِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَقِلَّتِهِمْ. (ابن القيم، الروح، ص/171).
“Jiwa yang terlepas dari penjara raga, hubungan dan rintangannya, memiliki aktivitas, kekuatan, pengaruh, semangat dan kecepatan dalam berhubungan dan kebergantungan kepada Allah yang tidak dimiliki oleh jiwa yang hina dan terpenjara oleh hubungan dan rintangan raga… Mimpi-mimpi dari berbagai etnis anak manusia telah mutawatir tentang perbuatan jiwa setelah kematiannya, terhadap perbuatan yang tidak dapat dilakukan ketika ia bersambung dengan raga seperti mengalahkan bala tentara yang besar dengan satu orang, dua orang, jumlah kecil dan sesamanya. Telah sering diimpikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dan Umar dalam satu hari, jiwa-jiwa mereka mengalahkan bala tentara kafir dan zalim. Sehingga bala tentara mereka lari dan tercerai berai meskipun jumlah dan persenjataan mereka banyak, sedangkan bala tentara kaum beriman lemah dan sedikit”. (Al-Ruh, hal. 171).
Pernyataan Ibnu Qayyimil Jauziyyah tersebut diperkuat oleh oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dalam Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
وَلِلْحَكِيْمِ التِّرْمِذِيِّ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَا شَبَّهْتُ خُرُوْجَ الْمُؤْمِنِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مِثْلَ خُرُوْجِ الصَّبِيِّ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ مِنْ ذَلِكَ الْغَمِّ وَالظُّلُمَةِ إِلَى رَوْحِ الدُّنْيَا، (ذكره محمد بن عبد الوهاب النجدي – مؤسس الفرقة الوهابية – في أحكام تمني الموت، ص/60).
“Diriwayatkan oleh al-Hakim al-Tirmidzi dari sahabat Anas secara marfu’: “Aku tidak mengumpamakan kematian seorang mukmin kecuali seperti anak kecil yang keluar dari perut ibunya yang sempit dan gelap gulita menuju dunia yang luas dan terang.” (Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 60).
WAHABI: “Bandingkanlah aqidah Al-Khumaini ini dengan aqidah kaum sufi. Dimana sebagian kaum sufi melegalkan untuk berdoa kepada wali (bahkan kepada wali yang sudah meninggal) dengan dalih bahwasanya wali telah diberi kekuasaan dengan izin Allah. (Kemudian Firanda mengutip dari kitab Jawaahirul Ma’aani fi Faydi Sayyidi Abil ‘Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi))
Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini ini dengan tokoh sufi zaman sekarang yang sangat digandrungi oleh aswaja Indonesia. Yaitu Muhammad Alwi Al-Maliki, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :
فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ
“Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta’aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya””

SUNNI: “Menurut Anda, Ibnu Taimiyah itu bagaimana?”
WAHABI: “Beliau Syaikhul Islam, ulama nomor satu sepanjang zaman. Pandangannya tidak pernah keliru, panutan kami kaum wahabi, yang tiada duanya.”
SUNNI: “Ibnu Taimiyah, menulis fatwa dalam kitabnya Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 377, isinya mengakui pernyataan Khumaini dan Syaikhul Islam as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, bahwa Allah memberi kekuasaan kepada para wali untuk berkata kun fayakun.
قد جاء في الأثر : { يا عبدي أنا أقول للشيء كن فيكون، أطعني أجعلك تقول للشيء: كن فيكون ، يا عبدي أنا الحي الذي لا يموت، أطعني أجعلك حيا لا تموت … : فهذه غاية ليس وراءها مرمى، كيف لا وهو بالله يسمع وبه يبصر وبه يبطش وبه يمشي…الخ

“Benar-benar datang dalam atsar, (bahwa Allah berfirman): “Wahai hambaku, Aku berkata kepada sesuatu, jadilah kamu maka jadilah ia. Taatlah kamu kepada-Ku, aku akan menjadikamu berkata kepada sesuatu, “Jadilah kamu, maka jadilah ia.” Wahai hambaku, Akulah Yang Maha Hidup yang tidak akan mati. Taatlah kamu kepada-Ku, maka aku jadikan kamu orang yang hidup yang tidak akan mati.” … Ini adalah tujuan puncak yang tidak ada lagi sesudahnya. Bagaimana tidak, ia mendengar dengan pertolongan Allah, melihat, menangkap dan berjalan hanya dengan pertolongan Allah.”

WAHABI: “KEEMPAT : Meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan
Al-Khumaini berkata :
“Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran” (Kasyful Asroor hal 65).
Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi’ah berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii’ di kota Madinah.
Aqidah ini juga tersebar di kalangan sebagian aswaja yang berebut-rebutan mengambili pasir dari kuburan Gus….!!!!
SUNNI: “Bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh, bukan ajaran Syiah, akan tetapi ajaran Islam, sebelum datangnya aliran Wahabi. Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:
حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).
“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.
Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).
Nah, sekarang saya bertanya kepada Anda. Kumpulan fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz, mengikuti madzhab apa?”
WAHABI: “Ya jelas, mengikuti madzhab Hanbali.”
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh, dan membaca al-Qur’an di kuburan, itu tradisi madzhab Hanbali. Ibnu Abi Ya’la al-Hanbali, ketika menulis biografi al-Imam al-Syarif Abu Ja’far, berkata dalam Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 240:
وحفر له بجنب قبر امامنا أحمد فدفن فيه وأخذ الناس من تراب قبره الكثير تبركا به ولزم الناس قبره ليلا ونهارا مدة طويلة ويقرؤون ختمات ويكثرون الدعاء ولقد بلغني أنه ختم على قبره في مدة الوف الختمات.
“Al-Syarif Abu Ja’far digalikan makam disamping makam Imam Ahmad, dan dimakamkan di sana. Masyarakat banyak mengambil tanah kuburannya dengan tujuan tabaruk. Mereka menunggui makamnya siang dan malam dalam waktu yang lama, dan membacakan banyak khataman al-Qur’an dan memperbanyak doa. Dan benar-benar telah sampai kepadaku, bahwa di makamnya telah dikhatamkan ribuan kali khataman al-Qur’an.”
Informasi Ibnu Abi Ya’la di atas memberikan kesimpulan, bahwa bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh, adalah tradisi kaum madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia. Karena hal tersebut, termasuk tradisi Islam sejak masa silam, sebelum datangnya Wahabi.
WAHABI: “KELIMA : Aqidah Syia’h : meminta syafaat kepada mayat. (Lalu Firanda mengutip perkataan Khumaini dalam Kasyful Asror. Lalu Firanda tidak mampu membantah tulisan Khumaini secara ilmiah).
Dari pernyataan Al-Khumaini ini jelas bagi kita bahwa meminta syafaat kepada mayat merupakan aqidah orang syi’ah…. Ternyata aqidah ini sangat laris di kalangan kaum sufi !!!
SUNNI: “Meminta syafaat atau beristighatsah dengan nabi atau orang shaleh yang sudah wafat, bukan ajaran Syiah, akan tetapi ajaran Islam sejak masa sahabat dan ajaran ahli hadits. Terdapat sekian banyak bukti tentang hal ini wahai Wahabi. Antara lain, tiga orang hafizh dan muhaddits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم  فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Aku bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
Perhatikan wahai Wahabi, kitab-kitab di atas, semuanya kitab Sunni, bukan kitab Syiah.”
WAHABI: “KEENAM : Berdoa kepada Nabi atau Imam agar Allah mengampuni dosa merupakan aqidah Syi’ah.”
SUNNI: “Anda berbohong wahai Wahabi. Beristighatsah dan bertasyaffu’ dengan Nabi yang sudah wafat atau wali, agar dosa kita diampuni oleh Allah, adalah ajaran Islam Sunni, sebelum datangnya ajaran Wahabi. Al-Hafizh Ibnu Katsir (beliau Sunni, bukan Syiah wahai Wahabi), ketika menafsirkan ayat 64 Surah al-Nisa’ berkata:
يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِيْنَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانُ أَنْ يَأْتُوْا إِلَى الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم  فَيَسْتَغْفِرُوْا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوْا ذَلكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ . . . وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ   فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ   فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم  فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى، ذكره الحافظ ابن كثير في تفسيره (1/492) والحافظ النووي في الإيضاح (ص/498)، والإمام ابن قدامة المقدسي الحنبلي في المغني (3/556)، وأبو الفرج ابن قدامة في الشرح الكبير (3/495)، والشيخ منصور البهوتي الحنبلي في كشاف القناع (5/30).
“Allah SWT memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat maksiat dan berbuat dosa, apabila di antara mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan supaya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta ampun kepada Allah di sisinya dan memohon kepada beliau agar memohonkan ampun untuk mereka, karena apabila mereka melakukan hal itu, maka Allah akan mengabulkan taubatnya, mengasihinya dan mengampuninya. Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Mereka semuanya ulama Sunni, bukan Syiah.
Perhatikan wahai Wahabi, anjuran dan kisah di atas ditulis dalam kitab-kitab Sunni, bukan kitab Syiah. Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative