MASJID AL-MUSABBIHIN

MASJID AL-MUSABBIHIN
Sumber Dakwah dan Informasi DKM AL-MUSABBIHIN PERUM KOMPAS INDAH TAMBUN
Latest Post

Menyiram Kuburan dengan Air Bunga

Written By Rudi Yanto on Jumat, 08 Agustus 2014 | 8/08/2014



Ketika berziarah, rasanya tidak lengkap jika seorang peziarah yang berziarah tidak membawa air bunga ke tempat pemakaman, yang mana air tersebut akan diletakkan pada pusara. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah merata di seluruh masyarakat. Bagaimanakah hukumnya? Apakah manfaat dari perbuatan tersebut?


Para ulama mengatakan bahwa hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, hal. 145
وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)
Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum. (Nihayah al-Zain, hal. 154)
Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi;
حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا) (صحيح البخارى رقم 1361)
Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])
Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;
يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ (اعانة الطالبين ج. 2، ص119 )
Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar. (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)
Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163
وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit.

Shalat ‘Ied di Masjid Itu Lebih Utama

Sebagian komunitas muslim ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan Shalat hari raya yang dilakukan oleh mayoritas kaum muslimin selama ini adalah bid’ah, menyimpang dari sunnah Rasul SAW, karena –kata mereka- Nabi SAW selalu melaksanakan Shalat ‘Id di lapangan, jika tidak ada hujan. Namun jika hujan beliau baru melaksanakannya di masjid. Mereka berkesimpulan, lebih baik mana kita ikut Nabi atau ikut ahli bid’ah? Kalau ikut Nabi SAW, masjid harus dikosongkan dan orang-orang semuanya harus berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk Shalat ‘Ied.

Pengertian Shalat ‘Id.
Shalat ‘Id itu ada dua macam; Shalat ‘Idul Fithri dan Shalat ‘Idul Adha
1.      Shalat ‘Idul Fithri ialah shalat dua raka’at yang dilaksanakan pada tanggal 1 Syawwal.
2.      Shalat ‘Idul Adha ialah shalat dua raka’at yang dilaksanakan pada tanggal 10 Dzul Hijjah.
Hukum shalat ‘Id adalah sunnah muakkadah, karena sejak disyari’atkannya Shalat ‘Id (tahun dua Hijriyah) sampai akhir hayatnya, Rasulullah senantiasa melaksanakannya. Jumlah raka’atnya ada dua raka’at. Waktunya sejak Saat matahari naik sepenggalah sampai dengan saat zawal (matahari condong sedikit ke barat). Dalam melaksanakan Shalat ‘Id, disunnahkan berjama’ah dan setelah Shalat, imam disunnahkan membaca dua kali khotbah seperti khothbah Juma’ah.
Tempat Pelaksanaan Shalat ‘Id
            Sebubungan dengan masalah tempat pelaksanaan Shalat ‘Id ini, sering kita mendengar pertanyaan; apakah Shalat ‘Id itu harus di masjid, tidak boleh di lapangan? Ataukah harus di lapangan sementara masjid harus dikosongkan? Maka dari itu, perlu kita ketahui bahwa pelaksanaan Shalat ‘Id itu, tidak disyaratkan harus di masjid. Ini artinya umat Islam boleh melaksanakannya di masjid dan boleh juga di tempat yang bukan masjid. Mari kita perhatikan perilaku Rasulullah SAW , tinadakan shahabat dan beberapa pendapat ulama mujtahid di bawah ini:
a.    Hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ummi ‘Athiyah, dia berkata: kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim)
b.    Hadits riwayat Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى العيدين الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمر الْحُيَّضُ أن يَعْتَزِلْنَ مصلى الْمُسْلِمِينَ.
Artinya :
“Dari Ummi ‘Athiyah, dia berkata: Nabi memerintahkan agar kita mengajak keluar pada hari raya para gadis dan wanita yang dipingit. Dan beliau memerintahkan agar wanita yang sedang haidl menjauh dari lokasi mushalla kaum muslimin”. (HR. Muslim).
Dua buah hadits ini, pengertiannya tidak menunjukkan bahwa Nabi melakukan shalat id di sembarang lapangan, sebagaimana yang difahami oleh sebagian komunitas muslim Indonesia. Akan tetapi hadits tersebut memberi pengertian bahwa Nabi melaksanakan shalat hari raya di mushalla/tempat shalat yang memang dikhususkan untuk shalat id. Ingat kata المصلى dalam hadits yang pertama diberi al mu’arrifah yang mempunyai arti mushalla tertentu, dan dalam hadits kedua dimudlofkan pada kata المسملين. (mushallanya orang-orang Islam).
Hal ini sesuai dengan keterangan dalam kitab Subulus Salam syarah Bulughul Maram juz II hal. 69
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيدِ خَالَفَ الطَّرِيقَ .أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ، يَعْنِي أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنْ مُصَلَّاهُ مِنْ جِهَةٍ غَيْرِ الْجِهَةِ الَّتِي خَرَجَ مِنْهَا إلَيْهِ.
Artinya :
“Bahwasanya ketika hari raya, Rasulullah menempuh jalan yang bebeda, yakni kembali dari mushallanya melewati arah yang tidak beliau lewati sewaktu berangkat menuju mushalla”.
Dan sesuai dengan kitab Subulus Salam juz II hal. 67 :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ.
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha keluar ke mushalla (Al-Hadits). Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya keluar menuju/ke mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa keluarnya Nabi itu ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar demikian, karena sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang telah diketahui oleh banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu masjidnya Nabi ada seribu dzira’ (± 500 m.)
Kemudian masalah wacana masjid harus dikosongkan dan orang-orang harus berbondong-bondong pergi ke lapangan, jelas ini tidak sesuai dengan tindakan sababat Nabi dan ijtihad para ulama.
Mari kita simak keterangan-keterangan kitab di bawah ini :
a.    Kitab Subulus Salam juz II hal. 71 :
وَقَدْ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ عَلَى قَوْلَيْنِ هَلْ الْأَفْضَلُ فِي صَلَاةِ الْعِيدِ الْخُرُوجُ إلَى الْجَبَّانَةِ أَوْ الصَّلَاةُ فِي مَسْجِدِ الْبَلَدِ إذَا كَانَ وَاسِعًا ؟ الثَّانِي: قَوْلُ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ إذَا كَانَ مَسْجِدُ الْبَلَدِ وَاسِعًا صَلَّوْا فِيهِ وَلَا يَخْرُجُونَ، وَالْقَوْلُ الْأَوَّلُ لِلْهَادَوِيَّةِ وَمَالِكٍ أَنَّ الْخُرُوجَ إلَى الْجَبَّانَةِ أَفْضَلُ، وَلَوْ اتَّسَعَ الْمَسْجِدُ لِلنَّاسِ وَحُجَّتُهُمْ مُحَافَظَتُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ ؛ وَلِقَوْلِ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَإِنَّهُ رُوِيَ أَنَّهُ خَرَجَ إلَى الْجَبَّانَةِ لِصَلَاةِ الْعِيدِ، وَقَالَ : لَوْلَا أَنَّهُ السُّنَّةُ لَصَلَّيْت فِي الْمَسْجِدِ، وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِضَعَفَةِ النَّاسِ فِي الْمَسْجِدِ. إهـ باختصار
Artinya :
“Pendapat para ulama berbeda menjadi dua dalam hal shalat id,manakah yang afdlol, apakah dilaksanakan di tanah lapang ataukah di masjid yang luas? Imam Syafi’i berpendapat apabila masjid di sebuah negeri itu luas, maka kaum muslimin melaksanakan shalat id di masjid tidak usah keluar ke tanah lapang. Golongan Hadawiyah dan Imam Malik berpendapat : keluar ke tanah lapang itu lebih afdlol walaupun masjidnya luas, alasan mereka karena selalu melaksanakannya di tanah lapang. Dan perkataan Sayyidna Ali ketika beliau keluar ke tanah lapang utnk melaksanakan shalat id : andaikata hal itu bukan sunnah niscaya aku shalat di masjid, dan beliau istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat id di masjid bersama kaum yang tidak mampu.
b.    Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz II hal. 71 :
وَمَتَى خَرَجَ اْلإِمَامُ لِلصَّلاَةِ فِيْ الصَّحْرَاءِ نُدِبَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ غَيْرَهُ لِيُصَلِّيَ بِالضُّعَفَاءِ الَّذِيْنَ يَتَضَرَّرُوْنَ بِالْخُرُوْجِ إِلَى الصَّحْرَاءِ لِصَلاَةِ الْعِيْدِ بِأَحْكَامِهَا الْمُتَقَدِّمَةِ، لأَنَّ صَلاَةَ الْعِيْدِ يَجُوْزُ أَدَاؤُهَا فِيْ مَوْضِعَيْنِ.
Artinya :
“Bila pemimpin negara melaksanakan shalat id di shahra’, dia disunnatkan agar istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan shalat id bersama orang yang tidak mampu yang merasa berat untuk keluar ke shahra’ dengan beberapa keterangan hukum yang terdahulu, karena shalat id itu boleh dilaksanakan di dua tempat.
c.    Kitab Asy-Syarwani Alat Tuhfah :
وَيَسْتَخْلِفُ نَدْبًا إِذَا ذَهَبَ إِلَى الصَّحْرَاءِ مَنْ يُصَلِّى فِيْ الْمَسْجِدِ بِالضَّعَفَةِ وَمَنْ لَمْ يَخْرُجْ.
Artinya :
“Hukumnya Sunnat ketika pemimpin negara pergi ke shahra’ menunjuk seseorang untuk melaksanakan shalat id di masjid bersama orang-orang yang tidak mampu dan orang-orang yang tidak ikut keluar ke shahra’”.
d.    Kitab Fathul Wahhab juz I hal. 83 :
(وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ) لِشَرَفِهِ (لاَ لِعُذْرٍ) كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلتَّشْوِيْشِ بِالزِّحَامِ وَإِذَا وُجِدَ مَطَرٌ أَوْ نَحْوُهُ وَضَاقَ الْمَسْجِدُ صَلَّى اْلاِمَامُ فِيْهِ وَاسْتَخْلَفَ مَنْ يُصَلِّي بِبَاقِي النَّاسِ بِمَوْضِعٍ آخَرَ. (وَإِذَا خَرَجَ) لِغَيْرِ الْمَسْجِدِ (اسْتَخْلَفَ) نَدْبًا مَنْ يُصَلِّي وَيَخْطُبُ (فِيْهِ) بِمَنْ يَتَأَخَّرُ مِنْ ضَعَفَةٍ وَغَيْرِهِمْ.
Artinya :
“Melaksanakan shalat id di masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang mulia, jika tidak ada udzur seperti sempitnya masjid. Kalau keadaan masjid itu sempit maka makruh hukumnya shalat ‘id di masjid karena orang-orang merasa tertanggu disebabkan berdesakan. Bila terjadi hujan atau semisalnya sedangkan mesjidnya sempit maka pemimpin negara melaksanakan shalat di masjid dan dia istikhlaf/menunjuk orang lain agar melaksanakan shalat di tempat lain. Dan apabila pemimpin negara keluar untuk melaksanakan shalat di tempat selain masjid dia disunnatkan istkhlaf/menunjuk orang lain melaksanakan shalat id sekalian berkhotbah di masjid bersama orang yang tertinggal, baik orang yang tidak mampu atau yang lain.
e.    Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I hal. 351 :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ لِلصَّحْرَاءِ.
Artinya :
“Golongan madzhab Syafi’i berpendapat : melaksanakan shalat id di masjid itu lebih utama karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena udzur seperti sempitnya masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid karena berdesakan. Jika demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra’”.
Mengapa Warga Nahdliyin Bersikukuh Melaksanakan Shalat ‘Id di Masjid?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita ikuti uraian di bawah ini :
1.    Setelah memahami beberapa hadits tentang pelaksanaan shalat id, para ulama kita berkesimpulan bahwa lapangan yang ada di zaman sekarang ini di banding dengan mushallal id nya Nabi, itu jelas tidak ada kesamaan sama sekali. Hal ini bisa kita fahami :
a.    Dari hadits Ummi ‘Athiyah yang menerangkan bahwa mushallanya Nabi itu terpelihara kehormatannya dan kesuciannya. Hal ini terbukti dalam riwayat tersebut bahwa wanita yang sedang haidl di perintahkan agar menjauh dari mushalla. Sedangkan lapangan kita sama sekali tidak terpelihara kehormatan dan kesuciannya, mungkin ada kotoran binatang, bahkan kotoran manusia di situ.
b.    Dari hadits riwayat Abi Sa’id, bahwa mushallal id nya Nabi adalah sebidang tanah yang telah ditentukan/diketahui oleh banyak orang bahwa sebidang tanah itu adalah tempat shalat id.
وَعَنْهُ أَيْ أَبِيْ سَعِيْدٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى.
Kemudian riwayat tersebut disyarahi/ diperjelas oleh syaikh Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani sebagai berikut :
فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوْفٌ، بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ. (سبل السلام شرح بلوغ المرام جزء ثاني ص 67)
Sedangkan lapangan kita -sebagaimana banyak orang tahu- adalah tempat berbagai macam kegiatan, bahkan sering ditempati kegiatan maksiat dan perbuatan munkarat.
2.    Karena sesuai dengan apa yang diamalkan oleh sahabat Ali ra dan difatwakan oleh para Imam madzhab : apabila pimpinan negara melakukan shalat di As-Shahra’ (isim ma’rifat, bukan sembarang lapangan) maka dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melakukan jamaah shalat id di masjid, tanpa mengosongkannya begitu saja.
Dengan demikian warga Nahdliyin tetap konsis dengan pendiriannya yakni menjunjung tinggi dan mengikuti amalan sahabat nabi dan fatwa para ulama madzhab.
Kesimpulan
 Dari uraian tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa tempat pelaksannan shalat id yang tepat adalah :
1.    Menurut para Imam madzhab, adalah sebagai berikut :
a.    Kalau masjid mampu untuk menampung para jamaah, maka shalat id dilaksanakan di masjid dan jika tidak mampu menampung maka dilaksanakan di as-shahra’ (isim ma’rifat, bukan sembarang lapangan).
b.    Selain ulama Malikiyah, para imam madzhab berpendapat pemimpin negara melaksanakan shalat id di as-shahra’, maka dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melaksanakan shalat di masjid, sebaliknya apabila pemimpin negara melaksanakan shalat di as-shahra’, dia disunnatkan istikhlaf/menunjuk orang lain untuk melaksanakan shalat di as-shahra’.
c.    Khusus ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat id di masjid itu lebih afdlol, karena masjid adalah tempat yang mulia/utama, kecuali jika ada udzur seperti sempitnya masjid, maka dalam hal ini shalat id dilaksanakan di as-shahra’ dan masjid tetap ditempati shalat oleh mereka yang tidak pergi ke as-shahra’.
2.    Menurut hadits nabi dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat id di dua tempat yakni di masjid dan di mushallal id atau mushallal muslimin, tidak pernah melaksanakannya di sembarang lapangan.


Simak di: http://www.sarkub.com/2012/shalat-ied-di-masjid-itu-lebih-utama/#ixzz39lkuZni3
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

6 Pertanyaan Imam Al-Ghozali Terhadap Muridnya

Di Sadur dari : www.Sarkub.com

As-Syech abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali atau lebih dikenal dengan sebutan Iman Al-Ghozali seorang tokoh besar dalam sejarah Islam, Beliau adalah pengarang kitab Ihya’Ulumudin. Suatu hari Beliau mengajukan Enam pertanyaan pada saat berkumpul dengan murid-muridnya.
Pertanyaan Pertama :
Imam Ghazali : “Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini“?
murid-muridnya ada yang menjawab :
“Orang tua”
“Guru”
“Teman”
“Kaum kerabat”
Imam Ghazali : “Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.”
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayaka (Ali Imran 185)
Allah SWT berfirman:
وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ
Allah menghidupkan dan mematikan (QS Ali Imran [3]: 156).
Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya (QS Ali Imran [3]: 145).
مَا تَسْبِقُ مِنْ أُمَّةٍ أَجَلَهَا وَمَا يَسْتَأْخِرُونَ
Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya (QS al-Hijr [15]: 5; al-Mu’minun [23]: 43)
Allah SWT menegaskan:
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلاقِيكُمْ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetp akan menemui kalian.” (QS al-Jumu’ah [62]: 8).
Allah SWT juga menegaskan:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
Di mana saja kalian berada, kematian akan menjumpai kalian kendati kalian berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh (QS an-Nisa’[4]: 78).
Pertanyaan Kedua :
Imam Ghazali : “Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini?”
murid-muridnya yang menjawab :
“Bulan”
“Matahari”
“Bintang-bintang”
Iman Ghazali “Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimana pun kita, apa pun kendaraan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama”.
“Barang siapa yang keadaan amalnya hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka ia terlaknat. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia termasuk orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung.” (HR. Bukhari)
Pertanyaan Ketiga:
Iman Ghazali : “Apa yang paling besar di dunia ini?”
murid-muridnya yang menjawab
“Gunung”
“Matahari”
“Bumi”
Imam Ghazali : “Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA NAFSU. Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka.”
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَـٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَـٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (QS.Al A’Raf: 179).
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya ? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah . Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran ?” (QS. Al-Jaathiya : 23)
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ ۚ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadikan pemelihara atasnya ?
Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat jalannya.” (QS. Al-Furqaan : 43-44)
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat kami kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya kami tinggikan dengan ayat-ayat itu tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim.” (QS. Al-A’raaf : 175-176)
Pertanyaan Keempat:
IMAM GHAZALI : “Apa yang paling berat di dunia?”
murid-muridnya menjawab
“Baja”
“Besi”
“Gajah”
Imam Ghazali : “Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG  AMANAH.
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS.Al Ahzab: 72).
Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah.”
Pertanyaan Kelima:
Imam Ghazali : “Apa yang paling ringan di dunia ini?”
murid-muridnya ada yang menjawab
“Kapas”
“Angin”
“Debu”
“Daun-daun”
Imam Ghazali : “Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali di dunia ini adalah MENINGGALKAN SHALAT. Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan shalat “
padahal Rasulullah menegaskan dalam sabda beliau :
“(Perbedaan) antara hamba dan kemusyrikan itu adalah meninggalkan sholat.” (HR Muslim dalam kitab Shohihnya nomor 82 dari hadits Jabir).
Pertanyaan Keenam:
Imam Ghazali : “Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? “
Murid- Murid dengan serentak menjawab : “Pedang”
Imam Ghazali : “Itu benar, tapi yang paling tajam sekali di dunia ini adalah LIDAH MANUSIA. Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri. ”Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no.10 dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya hadits no. 6474 dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga”
Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.
Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6475 dan Muslim dalam kitab Shahihnya no. 74 meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam”.
wallohu a’lam bisshowab.


Simak di: http://www.sarkub.com/2012/6-pertanyaan-imam-al-ghozali-terhadap-muridnya/#ixzz39lhrcUcv
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

Minal Aidin Wal Faizin , Mohon Maaf Lahir dan Batin

Written By Rudi Yanto on Senin, 04 Agustus 2014 | 8/04/2014

Segenap Pengurus dan Penasehat DKM Al-Musabbihin , Mengucapkan:

Semoga kita dapat bertemu kembali dengan Romadhon tahun depan Aamiiin Ya Robbal 'alamiin.
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative