MASJID AL-MUSABBIHIN

MASJID AL-MUSABBIHIN
Sumber Dakwah dan Informasi DKM AL-MUSABBIHIN PERUM KOMPAS INDAH TAMBUN
Latest Post

Paham Wahabi Anti Madzhab Adalah Paham Liberal

Written By Rudi Yanto on Jumat, 21 Agustus 2015 | 8/21/2015

Gerakan Liberalisme Salafy-Wahabi dan Sekulerisme mempunyai pengaruh yg tidak bisa di anggap remeh dalam perkembangan Islam, walaupun mereka secara zhahir tidak pernah merusak fasilitas umum,. Tapi sebenarnya gerakan ini justru merusak dan menggerogoti aqidah kita dari dalam, karena ajaran yg mereka sampaikan banyak yg menyimpang dari ajaran agung Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Walaupun mereka mengaku sebagai penganut Al-Qur'an dan As-Sunnah yg masih murni. Ini dikarenakan mereka menganggap sebagai firqah najiyah (kelompok yg selamat) yg tidak perlu bermadzhab.
Secara bahasa, madzhab artinya tujuan keberangkatan. Kemudian kata ini mengalami perubahan, sehingga digunakan untuk menyebut kesimpulan hukum yg menjadi tujuan akhir pembahasan, sebagaimana keterangan al-Munawi dalam at-Tawqif.
Ad-Dasuqi dalam hasyiahnya untuk asy-Syarhul Kabir mengatakan,
مَذْهَبَ مَالِكٍ مَثَلًا عِبَارَةٌ عَمَّا ذَهَبَ إلَيْهِ مِنْ الْأَحْكَامِ الِاجْتِهَادِيَّةِ
Madzhab Malik berarti ungkapan unt menyebut semua hukum hasil ijtihad yg menjadi pendapat Imam Malik (Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, 1:49).
Atau dengan kalimat yg lebih ringkas, madzhab = pendapat. Bermadzhab, berarti mengikuti pendapat. Bermadzhab Syafii, artinya mengikuti pendapat Imam asy-Syafii, dst.
Pertama, kita sepakat bahwa Imam yg empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafii, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah, mereka semua adalah imam dan panutan bagi kaum muslimin generasi setelahnya.
Allah jadikan pendapat mereka diterima di hati kaum muslimin, dari generasi ke generasi. Namun kita juga sepakat bahwa ijtihad tidak hanya terbatas pada empat ulama ini. Karena Islam tidak mungkin hanya berkutat pada pendapat empat imam ini. Masih banyak ulama lain yg sekelas dengan mereka, semacam ats-Tsauri, al-Auza’I, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Uyainah, Ibnu Mahdi, Yahya bin Qathan, dll.
Untuk itulah, para imam tersebut tidak pernah berharap agar madzhabnya disikapi sebagaimana syariah yg maksum (terjaga) dari kesalahan. Demikian pula, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa orang lain agar mengikuti pendapatnya. Bahkan mereka menolak ketika ada orang lain yg mengambil pendapatnya, tanpa mengetahui dalil yg menjadi dasar mereka.
Berikut diantara wasiat mereka,
Imam Abu Hanifah mengatakan,
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه و سلم فاتركوا قولي
“Jika saya menyampaikan pendapat yg bertentangan denagn Al-Quran dan hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Iqadzul Himam al-Fallani, hlm. 50, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 48).
Imam Malik pernah berpesan:
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه و سلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه و سلم
Siapapun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendapatnya layak diambil atau ditolak. Kecuali keterangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Jami’ Ibnu Abdil Bar, 2:91, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 49).
Imam asy-Syafii mangatakan,
كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني
Semua pendapatku, namun keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan pendapatku maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak diikuti dan janganlah taqlid kepadaku. (Riwayat Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 52)
Imam Ahmad berpesan,
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula taqlid kepada Malik, As-Syafii, Al-Auzai, At-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” (I’lam al-Muwaqi’in, 2:201).
Kita bisa memastikan, bagaimana semangat mereka dalam mengajarkan kebaikan kepada umat. Sama sekali bukan dalam rangka membangun kelompok baru, bukan pula menciptakan perbedaan di kalangan umat.
Kedua, mengapa hanya 4 ini yang terkenal?
Diantara balasan yg kebaikan yg Allah berikan kepada mereka, atas jasa besar mereka bagi kaum muslimin, Allah abadikan karya mereka dan pendapat mereka melebihi ulama lainnya. Sebagaimana yg dinyatakan Imam Malik,
ما كان لله بقي
“Sesuatu yg murni untuk Allah maka akan lebih langgeng”
Allah ciptakan para murid yg menimba ilmu dari mereka, mengabadikan pendapat dan perjalanan hidup mereka. Para murid itu mencatat pendapat mereka, penjelasan mereka, tanya jawab bersama mereka, termasuk prinsip mereka dalam berijtihad. Sehingga sejarah kehidupan, ideologi, dan pemahaman mereka dikenang oleh masyarakat generasi setelahnya.
Dalam perjalanannya, para ulama generasi selanjutnya, berusaha meniru metodologi mereka dalam berijtihad dan mengambil kesimpulan hukum. Mereka lebih mengikuti pada prinsip para imam dalam menyimpulkan pendapat, ketimbang mengikuti pendapat sang imam. Sehingga terbentuklah metodologi menggali kesimpulan dalil yg membedakan mereka dengan madzhab yg lainnya. Mengingat 4 orang ini yg lebih banyak pengikutnya, jadilah madzhab 4 imam ini lebih dikenal dibandingkan ulama lain yg sezaman dengan mereka.
Ketiga, haruskah kita taqlid kepada madzhab?
Ketika menjelaskan tentang hukum taqlid madzhab, Dr. Abdullah al-Judai mengatakan,
أنَّ النَّاسَ صنفَانِ، عالمٌ مجتهدٌ، وَعَامِيٌّ مقلِّدٌ، فأمَّا المجتهدُ فقدْ امتنعَ عليهِ التَّقليدُ ما دامَ قادرًا على الاجتهادِ، وأمَّا المقلَّدُ فإنَّه مأمورٌ بسؤالِ من يقدرُ على سُؤالهِ من أهلِ العلمِ، ولا يتقيَّدُ بمذهبٍ من المذاهبِ الأربعَةِ، وإنَّما هو كما يقولُ بعضُ العلماءِ: (مذهبُهُ مَذهبُ من يسْتَفتِيهِ) ، وعلَى هذا أكثرُ أهلِ العلمِ.
Sesungguhnya manusia terbagi menjadi dua golongan: Alim mujtahid dan Awam yg taqlid. Seorang mujtahid, dia tidak diperbolehkan untuk taqlid selama dia masih mampu untuk berijtihad. Sementara orang yg taqlid, dia diperintahkan untuk bertanya kepada ulama yg mampu menjawab pertanyaannya. Dan tidak harus terikat dengan madzhab tertentu dari empat madzhab di atas. Statusnya sebagaimana yg dikatakan sebagian ulama: “Madzhabnya orang awam sama dengan madzhabnya orang yg dia mintai fatwa.” Inilah yg menjadi pegangan para ulama.
Kemudian beliau melanjutkan,
لكنَّ التَّتلمُذَ لمن يقصِدُ تحصيلَ آلَةِ الاجتهادِ على مذهبِ من هذهِ المذاهبِ لأجلِ ما وقعَ من العِنايَةِ بها مشروعٌ صحيحٌ؛ نظرًا لما يُحقِّقُ من المصالحِ العظيمَةِ في مراتِبِ العلمِ، ولا ضرُورَةَ لتسميَّتِهِ تقليدًا
Namun, orang yg berusaha menggali untuk mendapatkan metodologi berijtihad menurut salah satu madzhab dalam rangka memberikan perhatian kepadanya, hukumnya disyariatkan dan dibenarkan. Mengingat terwujudnya kemaslahatan yg besar dengan adanya penerapan tingkatan ilmu. Dan tidak masalah jika bentuk semacam ini disebut taqlid.
فإنْ كانَ في مراحِل العلمِ فلهُ بعضُ الحالِ يشبَهُ العامِّيَّ فيأخُذُ حُكمَهُ المذكُورَ آنفًا، ولهُ حالٌ يشبهُ المُجتهِدَ فيأخُذُ حُكمَهُ كذلكَ.
Kaitannya dengan tingkatan ilmu, ulama yg mengkaji madzhab terkadang pada satu keadaan sama dengan orang awam. Sehingga berlaku hukum baginya sebagaimana yg telah disebutkan. Dan terkadang dia berada pada keadaan seperti layaknya mujtahid, sehingga berlaku hukum mujtahid baginya. (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, 394 – 395).
Dari keterangan beliau, kita bisa mengambil kesimpulan
a. Manusia bertingkat-tingkat keilmuannya, ada yg awam, ada yg secara khusus belajar agama, ada yg ulama mujtahid, dan ada yg menjadi mujtahid mutlak.
b. Taqlid yg dilakukan seseorang, sesuai dengan tingkatan ilmunya. Taqlid yg dilakukan orang awam, jelas berbeda dengan taqlid yg dilakukan mereka yg sedang belajar. Demikian pula taqlidnya seorang penuntut ilmu, tentu berbeda dengan taqlidnya ulama di atasnya, dst.
c. Dari tingkatan keilmuan itu pula, ada orang yg taqlidnya mentahan. Dia hanya menerima hasil akhir, tanpa tahu dalilnya sepeserpun. Itulah model taqlid orang awam. Kemudian ada yg taqlid hanya pada bagian metodologi berfikir dan berijtihad, sehingga ketika mendapatkan kasus tertentu, dia bisa gunakan metodologi itu untuk mendapatkan jawabannya. Itulah tingkatan taqlid yg dilakukan ulama yg menisbahkan dirinya kepada madzhab tertentu.
Kemudian, tidak lupa Dr. Abdullah al-Judai memberikan persyaratan ketika seseorang hendak taqlid kepada madzhab tertentu,
أمَّا الانتِسابُ بسببِ التَّلقِّي إلى واحدٍ من هذهِ المذاهبِ، فشرْطُ جوازِهِ أنْ لا يقترِنَ بعصبيَّةٍ
“Adapun menisbahkan diri pada madzhab tertentu, disebabkan dia mengambil banyak ilmu dari salah satu madzhab, hukumnya boleh dengan syarat tidak diiringi dengan ta’asub (taqlid buta).” (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, hlm. 395).
Yang dimaksud taqlid buta di sini adalah memegangi semua pendapat madzhab tersebut, tanpa peduli benar dan salahnya.
Adanya madzhab dalam fiqh islam terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Umat islam tidak perlu bermadzhab.
Usaha-usaha umat islam dalam melepaskan diri dari ikatan madzhab ini sudah lama di rintis oleh tokoh2 ulama-ulama yang anti madzhab, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim dan ulama2 lain yg seangkatan dengan mereka. Kemudian semakin populer setelah di kumandangkan oleh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab di Nejed (saudi arabia), Muhammad abduh dan Rasyid Ridha di mesir dan Sayyid Jamaluddin Al-Afgani dari Afganistan.
Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa kemunduran umat islam berabad-abad sehingga menjadi bangsa terjajah adalah karena mereka telah kehilangan kebebasan berfikir dalam menghayati kemurnian ajaran Islam.
Menurut Syekh Muhammad abduh umat islam haram bermadzhab tidak boleh bertaklid kepada imam2 madzhab dan harus berani berijtihad, karena ijtihad itu adalah urusan yg mudah dan tidak seberat seperti yg di gambarkan oleh para ulama2 sebelumnya. Dengan kebebasan berfikir umat islam akan maju dan sanggup menghadapi tantangan dunia modern sebagaiman halnya orang2 barat.
b. Umat Islam wajib bermadzhab.
Kondisi umat di seluruh dunia juga di indonesia dalam penguasaan ilmu2 keislaman sangat berfariasi, baik dilihat dari segi kadar kemampuannya maupun dari subyeknya. Secara global dapat di gambarkan agama islam dianut oleh tiga strata social , diantaranya :
1. Golongan yg berpendidikan rendah
2. Golongan yg berpendidikan menengah
3. Golongan yg berpendidikan tinggi
Umat islam yg dapat menduduki sebagai pemikir atau intelek masih sedikit jumlahnya dibanding dengan golongan pertama dan kedua. Dengan demikian maka umat islam wajib mengikuti mazhab2 dengan alasan:
1. Nash al-Qur’an
2. Ijma’
3. Rasio
Lantas kenapa paham wahabi disebut paham liberal?
Di antara ciri khas pemikiran kaum liberal adalah menghilangkan otoritas ulama. Menurut kelompok liberal, kita tidak perlu taklid kepada para ulama, mereka tidak/anti madzhab bahkan mengharamkannya sebagaimana apa yg dikatakan Muhammad Abduh diatas. Mereka yg anti madzhab beranggapan bahwa para ulama itu manusia, mereka juga manusia dan sama2 bisa berpikir. Mengikuti pendapat para ulama berarti pengebirian akal yg mereka miliki.
Demikian kaum liberal atau kaum yg tidak/anti madzhab berpikir.
Sementara ciri khas kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah memberikan penghargaan yg tinggi terhadap para ulama serta otoritas penuh dalam penafsiran teks2 keagamaan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
العلماء ورثة اﻻنبياء
"Para ulama itu pewaris para nabi". (HR. Ibn Asakir dan Ibn al-Najjar).
Apabila para ulama berposisi sebagai pewaris para nabi, tentu saja otoritas mereka dalam penafsiran teks2 harus dijunjung tinggi dan diikuti oleh umat Islam. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليس منا من لم يعطى لعالمين حقه
"Bukan termasuk golongan kami, orang yg tidak memberikan otoritas terhadap ulama di antara kami". (HR. Ahmad dan al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Kesimpulannya, jika saat ini penganut paham wahabi meneriakkan anti syi'ah dan anti liberalisme, maka ketahuilah bahwa mereka yg berpaham wahabi adalah paham liberal yg sesungguhnya. Wallahu a'lam bis-Shawab
Demikian Koordinator Sarkub Jakarta Timur Melaporkan, semoga bermanfa'at. Aamiin

Sumber : Ditulis oleh Dr Asimun Mas'ud, Mkub, Koordinator Sarkub Jakarta Timur


Simak di: http://www.sarkub.com/2015/paham-wahabi-anti-madzhab-adalah-paham-liberal/#ixzz3jPoFyr22
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

Menghormat Bendera Merah Putih Haram?


Hormat bendera 2
Syekh Athiyah Shaqar, mantan ketua majelis Fatwa Al-Azhar Mesir mengatakan bahwa menghormati bendera diperbolehkan karena bukan ibadah.
فتحية العلم بالنشيد أو الإشارة باليد في وضع معين إشعار بالولاء للوطن والالتفاف حول قيادته والحرص على حمايته، وذلك لا يدخل فى مفهوم العبادة له، فليس فيها صلاة ولا ذكر حتى يقال : إنها بدعة أو تقرب إلى غير الله
"Menghormati bendera dengan lagu atau isyarat tangan dalam situasi tertentu itu menunjukkan kesetiaan pada tanah air, berkumpul di bawah kepemimpinannya, dan komitmen untuk mendukungnya. Sikap itu tidak masuk dalam pengertian ibadah kepada bendera itu. Penghormatan bendera bukanlah shalat atau dzikir sampai ada yang bilang itu bid’ah atau ibadah pada selain Allah."
Abdurrahman Syaiban–ketua Majelis Ulama Al-Jazair (جمعية العلماء المسلمين الجزائريين) tahun 1999-2001 — mengatakan bahwa berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau menghormati bendera tidak bertentangan dengan syariah dan aqidah karena tidak ada nash (dalil Quran hadits) yang mengharamkannya."
Abudurrahman Syaiban berkata:
أن القول بعدم جواز الاستماع إلى النشيد الوطني أو الوقوف له أمر غير مؤسس دينيا، وليس هناك أي نص يحرمه أو يكرهه، بل على عكس ذلك، هو أمر محبب، لأن ديننا الحنيف أكد أن ”حب الوطن من الإيمان” والعلم والنشيد والراية وونياشين هي علامات رمزية واصطلاحات حياتية لا علاقة لها بالشرع
"Pendapat tidak bolehnya mendengarkan lagu kebangsaan atau berdiri saat dinyanyikan tidak memiliki dasar syariah. Tidak ada dalil apapun yg mengharamkan atau memakruhkannya. Justru sebaliknya: itu perkara yang dianjurkan. Karena, agama Islam menyatakan bahwa
“Cinta tanah air itu bagian dari iman.”
Sedangkan lagu dan bendera itu adalah tanda dan simbol kehidupan yg tidak ada kaitannya dengan syariah." 
Sumber : Ditulis oleh DR Asimun Mas'ud, Mkub, Asisten eksekutor bedah at specialist bedah Salafi/Wahabi



Simak di: http://www.sarkub.com/2015/menghormat-bendera-merah-putih-haram/#ixzz3jPn4i62C
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook

BOLEH & DI ANJURKAN MENAMBAH SAYYIDINA KEPADA NABI MUHAMMAD SAW

Written By Rudi Yanto on Jumat, 14 Agustus 2015 | 8/14/2015

Lafaz Sayyidina ada di Abraj Al bait - Makkah (Arab Saudi)
Lafaz Sayyidina ada di Abraj Al bait – Makkah (Arab Saudi)

Pada acara pembukaan Muktamar Muhammadiyah yang berlangsung di Makassar, 3-7 Agustus 2015 lalu, terjadi kegaduhan yang membuat kita isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka meneriaki seorang Pembawa Acara (MC) yang mengucapkan lafadz “Sayyidina Muhammad”.
Seperti diberitakan, peserta Muktamar berteriak. Situasi sempat gaduh lantaran mereka saling bicara satu sama lain. Padahal di panggung utama sudah hadir Presiden RI, H Joko Widodo.
Bahkan beberapa tokoh mereka saat diwawancarai tentang ucapan Sayyidina tersebut jawabannya kurang memuaskan. Nampaknya mereka tidak terbiasa dengan ucapan yang  mempunyai arti penghormatan atas Kanjeng Nabi Muhammad tersebut.
Saya ingin menjelaskan kebolehan mengucapkan lafadz “Sayyidina” kepada Nabi Muhammad SAW. Kita harus tahu apa arti kalimat Sayyid, dijelaskan dalam kitab “Ghoytsus Sahabah” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah halaman 39, dijelaskan bahwa:
“Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah Allah. Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna:
1. Orang yang diikuti di kaumnya.
2. Orang yang banyak pengikutnya.
3. Orang yang mulia di antara relasinya.”
Sementara pada halaman 37 disebutkan: “Orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan menunjukkan tinggi pangkatnya”.
Sedangkan di dalam Kitab “Ghoyatul Muna” halaman 32, Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah menyebutkan: “Sayyid ialah orang yang memimpin kaumnya atau yang banyak pengikutnya.”
Dan masih banyak lagi makna lainnya. Dari sini kita mulai bisa mengerti makna beberapa Hadits yang ada lafadz Sayyid, misalnya:
-ﺍﻧﻬﻤﺎ ﺳﻴﺪﺍ ﺷﺒﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
“Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda Ahli Surga”
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺍﺩﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat”
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
“Aku adalah pemimpin alam”
-ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ; ﻗﻮﻣﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻛﻢ
Pada hadits ini Khottobi berkomentar tidak apa-apa mengatakan Sayyid untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada orang tercela.Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan kaki halaman 4 nomor 2, dikatakan bahwa: “Memutlakkan kata Sayyid pada selain Allah itu boleh”.
Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: “Disunnahkan mengucapkan Sayyid karena Ziyadah Ikhbar Waqi’ itu menunjukkan tatakrama dan itu lebih baik dari meninggalkannya”.
Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab “Ghoyatul Muna” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah dijelaskan pada halaman 32:
“Adapun hadits yang mengatakan “Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam Shalat”, Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya, adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ ﻻ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang Arab.”
Sementara dalam Kitab “Maqosid Hasanah” halaman 463 dikatakan:
“Hadits ini merupakan Hadits Maudlu’ (palsu), itu tanggapan Al-Hafidzb As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya dan salah dalam lafadznya.”
Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab “Zadul Labib” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah juz 1 halaman 9:
“Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah secara mutlak, maka pahamilah dan diteliti betul”.
Jika anda masih mempertanyakan mengapa dalam Shalawat Ibrahimiyah pada Tahiyyat ditambah Sayyidina dan pada Tasyahhud tidak ada Sayyidina? Saya jawab: Mengatakan Sayyidina ini bertujuan memuliakan beliau. Dan perlu diingat memuliakan dan tatakrama itu lebih baik dari pada mengikuti perintah seperti Sayyidina Ali yang enggan menghapus kalimat “Rasulullah” dan berkata:
“Aku tak akan menghapusmu selamanya”. Pada saat itu Rasulullah tidak menyalahkan Sayyidina Ali. Begitu juga Hadits Dlohhak dari Ibnu Abbas, bahwa dulu orang menyebut “Ya Muhammad”, “Ya Abal Qosim”, lalu Allah melarang demi memuliakan beliau.
Sementara jika yang anda permasalahkan dari ayat الله الصمد ; اي بمعنى
سيد maka jawaban saya dari Kitab “Ibanatul Ahkam” juz 1 halaman 346:
“Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna: Yang pertama tiada satupun yang mengungguli, dialah yang dituju manusia dalam segala hajat dan keinginan mereka. Sementara makna kedua yaitu yg tidak memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum”.
Sementara dalam Syahadat, Ulama dalam memberikan penghormatan beragam dan jika tidak ada kata Sayyid-nya pastilah ada kata pujian lain pada kata sebelum dan sesudahnya. Itu terbukti setelah kata Muhammad dalam Syahadat ada kata pemuliaannya yaitu gelar “Utusan Allah”, disanding dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta. Bukankah Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya? Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali:
مراعة الأدب خير من الإتباع”.
“Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba’ (melaksanakan perintah)”.
KH. Muhyidin Abdusshomad Juga dengan gamblang menerangkan hukum mengucap sayyidina sebagai berikut:
Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).
Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:
“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits ‘saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.’ Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.
Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan   سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ  , Sehingga tidak bisa dikatakan  لَاتُسَيِّدُوْنِي
Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.
Source: ngaji.web.id

MENCINTAI TANAH AIR (NASIONALISME) MENURUT SYARI’AT

HUBBUL WATHAN MINAL IMAN

Banyak beredar di media sosial mengenai pernyataan seorang ustadz antah berantah dari sebuah harokah ontah berantah yang kami tidak ketahui dari mana dia belajar ilmunya entah berantah, yang menyatakan bahwa nasionalisme atau cinta tanah air tidak ada dalilnya.
Mari kita baca dahulu sebuah riwayat:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi diusir dari Makkah beliau berkata: Sungguh aku diusir dariMu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andao pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama kali sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161)
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161)
Bersabda Rasululloh asws.: Cinta Tanah Air itu Bagian dari Iman
Cinta adalah sumber dari rasa
Tanah air adalah sumber dari materi
Iman adalah sumber dari semua agama
Hadist ini termaktub dari lebih dari 5 kitab, yaitu:
1. Kitab Dalilul Falihin (syarah kitab riyadlus shalihin), Jilid 1 hal 26
2. Kitab Ad Durorul Muntasyiroh, Hadist Nomor 189.
3. Kitab Al Maqooshidul Hasanah, Hadist Nomor 391.
4. Kitab Kasyful Khofa, Hadist Nomor 2011.
5. Kitab Al Asroorul Marfuu’ah, Hadist nomer 168
6. Kitab DALILUL FALIHIIN Jilid 1 hl./26 ada sebuah ayat AL-Qur’an, Surat Al-Baqoroh : 126
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim as. berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentausa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian”
Nabi Ibrahim as. berdoa agar tanah airnya :
1. Menjadi negeri yang aman sentosa.
2. Penduduknya Dilimpahi rizqi
3. Penduduknya Iman kepada Allah dan hari Akhir dan adalagi ayat serupa didalam surat IBRAHIM : 35
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ الأصْنَامَ
dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Ini menunjukkan Nabi Ibrohim adalah seseorang yang begitu mendalam mencinta akan tanah airnya.
Kemudian didalam AlQuran, surat An Nahl 123 kita diperintah mengikuti millah (jejak) ibrohim :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.
Salah satu dari millah Nabi Ibrohim adalah mencintai tanah air…”
Mengapa harus Mencintai Tanah Air?
dalam Kitab Jami’us Shoghir, Jilid I bab huruf Ta, halaman 222, bersabda Rasululloh SAW:
“Jagalah dirimu dari bumi, maka sesungguhnya bumi itu adalah ibumu”Adalah perintah untuk menjaga diri sendiri dan ibu pertiwi (tanah air) dari tindakan-tindakan negatif dari diri sendiri maupun tindakan orang luar.
Dalam Ar-Ruum 41 Alah swt. Berfirman
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Kemudian Didalam KItab DALILUL FAALIHIIN halaman 27 :
“…..Maka semestinya bagi orang yang sempurna imannya hendak membuat kemakmuran akan tanah airnya dengan amal sholeh”
Yang dimaksudkan dengan cinta tanah air itu adalah memakmurkan tanah airnya. memakmurkan dengan amal-amal sholeh atau amal-amal yang baik.
sedangkan tanah air manusia itu ada dua macam:
1. Tanah air jasmani, yaitu bumi tempat kita lahir dan berpijak.
2. Tanah air ruhani, yaitu tanah air akhirat, tempat dimana ruh kita berasal dan akan kembali nantinyakedua tanah air kita ini harus dimakmurkan, baik tanah air ruhani maupun jasmani. dimakmurkan dengan perbuatan-perbuatan baik.
Sehingga nantinya kita bisa menuai buahnya:
رَبَّنَااَتِنَافِ الدُّنْيَا حَسَنَةًوَفِ اْلاَحِرَةِحَسَنَةًوَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Selamat mencintai tanah air.
Cinta Tanah Air
Wallahulmuwaffiq
https://generasisalaf.wordpress.com/2015/08/10/mencintai-tanah-air-nasionalisme-menurut-syariat/#more-8315
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative