MASJID AL-MUSABBIHIN

MASJID AL-MUSABBIHIN
Sumber Dakwah dan Informasi DKM AL-MUSABBIHIN PERUM KOMPAS INDAH TAMBUN
Latest Post

Para Tokoh Pencetus Mawlid Al-Nabi

Written By Rudi Yanto on Kamis, 29 Desember 2016 | 12/29/2016

Sultan Shalahuddin Al Ayyubi ketika hendak menyerang Jerussalem, perlu mengadakan suatu gerakan batin sebagai pengangkat moril dan semangat pasukan sebelum menuju medan laga. Maka beliau mengadakan maulid Kanjeng Nabi Muhammad SAW pertama kali dalam sejarah Islam. Dan karena dorongan moril yang terangkat itulah, Jerussalem dapat ditaklukkan.
Ibnu Katsir punya dawuh berbeda. Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriyah.
Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil, semoga Allah merahmatinya.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn Al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulamaHadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli tasawuf, dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, dia telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandangan dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu.
Nah, bagaimana di Nusantara? Tidak ada keterangan pasti kapan diadakan pertama kali, namun sejak zaman sebelum kesultanan Demak ada dugaan sudah sering diadakan untuk mengangkat moril dan semangat pasukan. Dari Mbah Iwan Mahmoed Al Fattah, ada keterangan dari kitab Al Fatawwi karya Al Allamah Ratu Bagus Kh. Ahmad Syar’i Mertakusuma Betawi, yang konon merupakan salah satu anggota Pitung. Di dalam Kitab Al Fatawi tertulis :
“Sebelum memasuki wilayah Sunda Kelapa untuk menahan kedatangan Pasukan Tempur Kerajaan Paringgi (Portugis), seluruh pasukan mujahidin yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara berkumpul di alun alun Kesultanan Demak untuk mendengarkan Petuah Sultan Trenggono dan Fattahillah. Pada saat itu untuk mengangkat moral pasukan Jihad jilid 3 setelah jihad Malaka, maka Sultan Trenggono mengadakan Maulid Nabi secara besar besaran, dan itu terjadi pada tanggal 12 Robiul Awal tahun 933 Hijriah. Penyerangan itupun mampu membebaskan sunda Kalapa dari Portugis dan diubah namanya menjadi Jayakarta, kota kemenangan.”
Dan inilah maulid yang tercatat di kitabnya orang Betawi.
Dalam keterangan Mbah Yai Muchit Muzadi, dulu di Tebuireng di zaman Mbah Hasyim Asy’ari, para santri secara gotong royong mengadakan sendiri perayaan maulid Nabi Muhammad. Mulai perencanaan hingga eksekusi acara dilaksanakan secara mandiri dan penuh tanggung jawab. Hal inilah yang membuat santri-santri Mbah Hasyim Asy’ari menjadi tokoh semua ketika pulang ke daerah masing-masing, baik tokoh tingkat kampung hingga internasional, begitu dawuh Mbah Muchit Muzadi.
Masih banyak dampak positif dari maulid Nabi Muhammad SAW ini di berbagai belahan daerah. Tak pelak, keampuhan perayaan Maulid Nabi Besar Sayyidina Muhammad SAW ini sangat berdampak positif bagi umat Islam seluruhnya. Dibalik sejarah kemenangan dan kemajuan umat Islam zaman dahulu ternyata ada barokah perayaan Maulid Nabi yang mampu menjadi inspirasi dan semangat tersendiri bagi umat muslim, sehingga mampu mengubah sejarah.
Semoga kita juga mendapat berkah yang demikian. Aamiin.
اللهم صل و سلم علي سيدنا و مولنا محمد
Di sadur dari : http://www.sarkub.com/para-tokoh-pencetus-mawlid-al-nabi/

Selamat Tahun Baru Hijriah 1438 H

Written By Rudi Yanto on Rabu, 05 Oktober 2016 | 10/05/2016

Image result for 1 muharram 1438

Imam as Suyuthi di dlm kitabnya as syamarikh fit taarikh menyebutkan bahwa permulaan kalender Islam dimulai pada masa Umar bin Khottob ra, beliau memahami bahwa dawuhipun Gusti Alloh (lamasjidun ussisa ‘alat taqwaa min awwali yaumin) adalah indikasi kuat bahwa permulaan hari dihitung bersama masjid yang dibuat Kanjeng Nabi saw (Quba) di bulan Shofar-Robiul Awwal.
Lalu mengapa memulainya dengan Muharam/Asyuro ?
ini adalah mengikuti tradisi Arab Jahiliah yang tidak ada larangan dalam agama untuk ditetapkan.
Sebuah pelajaran menarik bahwa apabila adat kebiasaan di suatu tempat itu tidak ada syariat tegas yang melarangnya, maka tidak perlu kita tergesa-gesa mengharamkannya.
“Andaikan kaummu tidak saja masuk Islam maka akan aku kembalikan Ka’bah ke masa Ibrahim a.s.,” sabda Nabi saw ke Sayidatuna Aisyah pada suatu hari, tetapi beliau membiarkan adat itu terjadi asalkan tidak ada nuansa haram yang jelas di dalamnya, ini diceritakan dalam al Adaabus syariah.
Sekali lagi Selamat Tahun baru sahabat, saatnya kita menunduk kembali kepadaNya bertanya:


Yaa Tuhanku terima kasih atas karunia-MU selama ini, izinkan hamba untuk menjadi lebih baik di kemudian hari… Aamiin,

BERDOA MENGANGKAT TANGAN SUNNAH ATAU BID’AH?

Written By Rudi Yanto on Senin, 26 September 2016 | 9/26/2016



sheikh-sudais
Disadur dari : https://generasisalaf.wordpress.com/2016/09/23/berdoa-mengangkat-tangan-sunnah-atau-bidah/#more-13146
Oleh : Abu Akmal Mubarok
Kita menjumpai perkataan sebagian orang yang mengatakan bahwa berdoa dengan mengangkat tangan adalah bid’ah, dan bahwa Rasulullah s.a.w tidak pernah melakukan hal itu. Dan bahwa hadits mengenai berdoa dengan mengangkat tangan seluruhnya dla’if (lemah). Pendapat ini marak di dunia maya, disalin dan tersebar luas, sehingga timbul pertanyaan dari sebagian orang apakah benar berdoa dengan mengangkat tangan adalah bid’ah?
Fatawa al-Azhar menyatakan riwayat tentang mengangkat tangan dalam berdoa terdapat dalam lebih dari seratus hadis. Apakah benar tak ada satu pun hadits shahih mengenai berdoa dengan mengangkat tangan dan seluruh hadits mengenai hal itu dla’if (lemah)?
Kami menyetujui bahwa perkara berdoa adalah termasuk perkara ibadah. Maka dalam perkara ibadah tidak dilakukan sesuatu kecuali ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. Karena dalam perkara ibadah hukum asal sesuatu adalah haram sampai ditemukan contoh dari Rasulullah s.a.w. yang menunjukkan hal itu berlaku.
Dalam kebanyakan masalah fiqih perbedaan pendapat seringkali terjadi disebabkan perbedaan dalam mengukur keshahihan hadits. Sekelompok ulama berpendapat hadits ini dla’if sementara ulama lain berpendapat hadits tersebut shahih. Perbedaan pendapat juga disebabkan karena berbeda dalam penilaian perawi hadits, sekelompok ulama menilai perawi-nya tidak dapat dipercaya (laisa bi sya’i), sedangkan yang lain menganggap perawi-nya jujur (shaduuq) atau terpercaya (tsiqat).
Terhadap berbagai perbedaan ini yang penting kami menyajikan duduk masalah apa adanya dan kesimpulan serta pilihan terserah kepada masing-masing orang untuk memilih pendapat mana yang lebih tenteram untuk dipilih. Berikut ini adalah hadits-hadits tentang berdoa dengan mengangkat tangan :
Terdapat banyak hadits yang meriwayatkan aktifitas secara umum mengangkat tangan ketika berdoa sebagai berikut :
A. Dalil Berdoa Mengangkat Tangan Secara Umum Yang Haditsnya Shahih
1. Hadits Ke-1 Mendoakan Ubaid dan Abu Amir Ketika di Madinah
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Barrad Abu ‘Amir Al Asy’ari dan Abu Kuraib Muhammad bin Al A’laa lafazh ini milik Abu ‘Amir dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Bapaknya dia berkata; “Usai perang Hunain, Rasulullah s.a.w. menugaskan Abu Amir untuk memimpin pasukan kaum muslimin … Tak Iama kemudian, Abu Amir meninggal dunia.’ Setelah kembali ke Madinah, saya pun langsung menemui Rasulullah di rumahnya. Pada saat itu beliau sedang berada di atas tempat tidur yang beralas tanah dengan dilapisi tikar, sementara butir-butir pasir dan debu menempel di punggung dan lambung beliau. Kemudian saya memberitahukan kepada beliau tentang berita pasukan kaum muslimin dan berita Abu Amir. Lalu saya berkata : “Abu Amir berpesan agar Rasulullah s.a.w. bersedia mendoakan dirinya. Lalu Rasulullah s.a.w. minta air dan langsung berwudlu. Setelah itu beliau mengangkat kedua tangannya sambil berdoa: ‘Ya AlIah, ampunilah Ubaid dan Abu Amir! ‘ (saya melihat putih ketiak Rasulullah ketika mengangkat tangannya). Selanjutnya beliau berdoa: ‘Ya Allah, tempatkanlah Abu Amir, pada hari kiamat kelak, di atas kebanyakan makhluk-Mu! ‘ Aku berkata kepada Rasulullah: ‘Ya Rasulullah, mohonkanlah ampunan untuk saya juga! ‘ Lalu Rasulullah berdoa: ‘Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais (nama asli Abu Musa) dan masukkanlah ia ke tempat yang mulia pada hari kiamat!”. Abu Burdah berkata: “Doa yang pertama untuk Abu Amir dan doa selanjutnya adalah untuk Abu Musa.” (H.R. Muslim No. 4554)
Hadits di atas shahih. Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Bukhari dari jalur Abu Musa r.a.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘Ala` telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid bin Abdullah dari Abu Burdah dari Abu Musa dia berkata; Nabi s.a.w. meminta diambilkan air, lalu beliau berwudlu, setelah itu beliau mengangkat tangannya sambil berdo’a: “Ya Allah, ampunilah ‘Ubaid Abu ‘Amir.” Hingga aku melihat putih ketiaknya, lalu beliau melanjutkan do’anya: ‘Ya Allah, jadikanlah ia termasuk dari orang yang terbaik diantara manusia di hari Kiamat kelak.’ (H.R. Bukhari No. 5904)
Dari Abu Musa r.a. ia mengatakan,’Ketika Nabi Saw. selesai dari perang hunain, beliau mengutus Abu Amir untuk memimpin pasukan ke Authas…maka ketika Abu Amir gugur dalam peperangan Nabi Saw. meminta air lalu beliau berwudlu, kemudian beliau mengangkat kedua tanganya berdoa,’Ya Allah! Ampunilah ‘Ubaid dan Abu Amir, aku melihat putihnya kedua ketiak beliau. Kemudian beliau berdoa lagi, ‘Ya Allah! Tempatkanlah ia di atas dari pada kebanyakkan manusia dari ciptaanMu. Kemudian aku (Abdullah bin Qais) berkata,’Ya Rasulullah! Mohonkanlah ampunan bagiku! Beliau bersabda,’Ya Allah! Ampunilah dosa-dosa Abdullah bin Qais, masukkanlah ia pada hari kiamat ke tempat yang sangat mulia”. (H.R.Bukhari, Juz , III Hal 67)
Ulama sepakat bahwa hadits riwayat Bukhari adalah shahih. Sebagian orang ada yang beralasan bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan kaidah umum dalam berdoa karena Rasulullah s.a.w. berdoa mengangkat tangan itu hanya ketika habis berwudlu dan tidak pada waktu yang lain. Atas dasar apa mereka mengkhususkan hadits ini ketika habis berwudlu saja? Kenapa tidak sekalian saja dikatakan bahwa beliau berdoa mengangkat tangan itu hanya khusus saat mendoakan Ubaid Abu Amir dan Abdullah bin Qais saja? Dan tidak berlaku ketika mendoakan orang lain?”. Orang yang jujur dan teliti akan melihat bahwa Rasulullah s.a.w. semula sedang tiduran di Madinah ketika datang berita tentang gugurnya Ubaid. Lalu Rasulullah s.a.w. meminta air wudlu karena ingin suci dari hadats ketika berdoa. Adapun mengangkat tangan ketika berdoa bukan dikarenakan habis berwudlu. Orang yang fair akan melihat bahwa ini adalah perilaku umum Rasulullah s.a.w. ketika hendak berdoa terlebih dahulu berwudlu lalu mengangkat tangan ketika berdoa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ini adalah dalil umum karena peristiwa ini dilakukan secara spontan. Pada hadist di atas Rasulullah s.a.w. dibangunkan dari tidurnya lalu langsung berdoa menengadahkan tangan.
2. Hadits Ke-2
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,’Rasulullah s.a.w. bersabda : “Hai manusia! Sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Ia tidak akan menerima melainkan yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah memerintah mukminin seperti yang Ia perintahkan kepada para rasul-Nya. Kemudian beliau membacakan ayat,’Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dan beliau membaca lagi,’Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”. Kemudian beliau menerangkan seseorang yang berada dalam perjalanan yang sangat jauh, kusut rambutnya, berdebu, orang itu mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata: “Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku”. Padahal yang dimakannya dari yang haram, yang diminumnnya dari yang haram, yang dipakainya dari yang haram, dan diberi gizi dengan yang haram, bagaimana akan akan diijabah (doanya)?.” (H.R. Muslim, Juz II Hal 703)
Hadits di atas jelas ke-shahih-an nya. Namun orang-orang yang cenderung berpendapat berdoa mengangkat tangan adalah bid’ah, beralasan bahwa hadits ini tidak secara tegas menunjukkan perintah Rasulullah s.a.w. untuk berdoa dengan mengangkat tangan. Mereka berkata : hadits di atas justru menceritakan bahwa doa orang tersebut tidak terkabul. Orang yang jujur dan teliti akan berkata benar, bahwa hadits di atas tidak secara tegas menunjukkan perintah Rasulullah s.a.w. untuk berdoa. Namun hadits di atas menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. sedang menggambarkan orang yang berdoa namun tidak dikabulkan karena memakan yang haram. Adapun Rasulullah s.a.w. menggambarkan orang berdoa itu dengan mengangkat tangan dan berseru “Wahai Tuhankku, Wahai Tuhanku!” Tentu Rasulullah tidak bermaksud memberi keterangan “mengangkat tangan” di situ sebagai penyebab tidak terkabulnya doa. Karena yang menyebabkan tidak terkabulnya doa adalah makanan yang haram dan bukannya karena mengangkat tangan. Adapun penyebutan berdoa dengan mengangkat tangan di situ jelas-jelas menunjukkan keumuman atau kelaziman aktifitas doa (hadits tsb tidak menceritakan orang tertentu) bahwa berdoa itu ya umumnya dengan mengangkat tangan. Walaupun dalam kondisi lain tidak mengangkat tangan pun tidak mengapa.
3. Hadits Ke-3
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair dari Syu’bah dari Tsabit dari Anas bin Malik r.a. ia berkata; “Saya melihat Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya saat berdo’a hingga terlihat putih ketiaknya.” (H.R. Muslim No. 1490)
Hadits ini tidak menceritakan pada saat apa Rasulullah s.a.w. mengangkat tangannya ketika berdoa sehingga berkonotasi umum. Namun sebagian orang menolak nya dengan mengatakan bahwa hadits ini dilakukan ketika sholat istisqo (sholat meminta turunnya hujan)
4. Hadits Ke-4
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair dari Yazid bin Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Jami’ bin Syadad dari Thariq Al Muharabi, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya sampai aku melihat warna putih ketiaknya, Lalu beliau s.a.w. bersabda: ‘Ketahuilah! Seorang ibu tidak menanggung (hukuman) akibat perbuatan jahat anaknya. Ketahuilah! Seorang ibu tidak menanggung (hukuman) akibat perbuatan jahat anaknya’.” (H.R. Ibnu Majah No. 2660)
Al-Albani Menyatakan hadits ini sahih. Namun sebagian orang menolak nya dengan mengatakan bahwa Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan ketika berkhutbah bukan ketika berdoa. Menurut kami, rasanya janggal jika mengangkat kedua tangan ketika khutbah (jika hanya satu tangan menunjuk-nunjuk mungkin saja namun ini kedua tangannya). Maka hadits ini menunjukkan Rasulullah s.a.w. sebelum berkhutbah atau bersabda beliau berdoa dengan mengangkat kedua tangannya.
5. Hadits Ke-5
Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (H.R. Abu Daud 1486)
Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah Hal 595. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun keduanya tidak saling menempel, melainkan ada celah diantara keduanya. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaitu Al Ibtihal). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
Sedangkan Ulama Mazhab Hanbali berpendapat berdoa itu dengan kedua tangan menengadah dan saling ditempelkan. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh menjelaskan lebih detil jenis ini: “Mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka di depan dada, tepatnya di pertengahan dada. Namun terkadang beliau beliau berdoa di Arafah dengan cara begini: mengangkat kedua tangannya tepatnya dipertengahan dada lalu menengadahkannya sebagaimana orang yang meminta makanan, tidak meletakannya dekat wajah namun juga tidak jauh dari wajah dan masih di pertengahan dada. Juga dengan membuka kedua telapaknya bagaikan orang miskin yang meminta makanan” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112)
6. Hadits Ke-6
Telah menceritakan kepada Kami Muammal bin Al Fadhl Al Harrani, telah menceritakan kepada Kami Isa yaitu Ibnu Yunus telah menceritakan kepada Kami Ja’far yaitu Ibnu Maimun pemilik beberapa anmath, telah menceritakan kepadaku Abu Utsman dari Salman r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Maha Suci dan Maha Tinggi adalah Maha Hidup dan Mulia, Dia merasa malu dari hambanya apabila ia mengangkat kedua tanganya (berdoa) kepadaNya dan mengembalikannya dalam keadaan kosong.”. (H.R. Abu Daud, Juz I No. 1273, Tirmidzi, Juz V Hal 520, Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, Juz I Hal. 497, Ibnu Hiban, Juz II Hal 119 & 120, Baihaqi, Juz II Hal. 211, Imam Ahmad, Juz XXXIX Hal. 120, At -Thabrani, Juz VI Hal 314, Al-Bazar, Juz VI Hal. 478, As-Syihab, Juz II Hal. 165, Al-Haitsami, Mawariduzh Zhamaan, Juz I Hal 596, Al-Baghowi, Syarhus Sunnah, Juz V Hal 185, Al-Khatib, Tarikhul Bagdad, Juz VIII Hal. 317)
Hadits yang senada diriwayatkan oleh Ibnu Majah :
Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr Bakr bin Khalaf telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu ‘Adi dari Ja’far bin Maimun dari Abu Utsman dari Salman dari Nabi s.a.w. beliau bersabda: “Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Pemurah, Malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian mengembalikannya dengan tangan hampa, atau bersabda;…kedua tangannya yang tidak mendapatkan apa-apa.” (H.R. Ibnu Majah No. 3855)
Orang yang cenderung mengatakan mengangkat tangan itu bid’ah berkata dua orang rawi nya dhaif, yaitu Ja’far bin Maimun, dan Abu Mu’alla. Ketiga rawi ini sama-sama menerima dari Abu Utsman An-Nahdi dari Salman Al-Farisi dari Nabi s.a.w. Sedangkan Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Syahim mengatakan Ja’far bin Maimun adalah tsiqah (terpecaya) terbukti ia termasuk perawi yang masuk dalam kita Ats-Tsiqat. Ibnu Hajar Asqolani mengatakan Ja’far bin Maimun shaduuq (jujur). Yahya bin Ma’in, Ahmad dan Bukhari yang menyatakan Ja’far bin Maimun laisa bi tsiqah dan laisa bi qowi (agak tidak dipercaya dan tidak kuat). Sedangkan Abu Mu’alla, Ibnu Hajar Asqolani mengatakan shaduuq (jujur). Sedangkan Adz-Zhahabi dan Ibnu Hibban menyatakan ia tsiqah (terpercaya). Sedangkan Abu Bakar bin Khalaf hanya Yahya bin Ma’in yang menyatakan laisa bihi ba’s adapun Ibnu Hajar Asqolani menyatakan ia shaduuq (jujur) dan Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Adz-Zhahabi menyatakan ia tsiqat. Syaikh Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
7. Hadits Ke-7
Berkata Ibnu Umar: “Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya dan berkata: “Ya Allah, aku bebaskan kepadamu dari apa-apa yang dilakukan Khalid (bin Walid).” (H.R, Bukhari) Hadits ini shahih.
8. Hadits Ke-8
Berkata Abu Abdillah, bercerita kepadaku Al Ausi, bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far dari Yahya bin Sa’id dan Syarik, bahwa mereka berdua mendengar Anas bin Malik r.a., dari Nabi s.a.w. yang mengangkat kedua tangannya sampai saya melihat ketiaknya yang putih. (H.R. Bukhari) Hadits ini shahih.
B. Dalil Berdoa Mengangkat Tangan Dengan Lafadz Umum, Yang Dianggap Dla’if
Banyak juga hadits-hadits lain yang berlafadz umum mengisahkan aktifitas berdoa dengan mengangkat tangan namun haditsnya dianggap dla’if (walaupun beberapa kedla’ifannya masih bisa diperdebatkan). Berikut ini hadits-hadits tersebut :
1. Hadits Ke-1
Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr Bakr bin Khalaf telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu ‘Adi dari Ja’far bin Maimun dari Abu Utsman dari Salman dari Nabi s.a.w. beliau bersabda: “Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup lagi Maha Pemurah, malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya (berdoa) kemudian kembali dengan tangan hampa, atau bersabda;…kedua tangannya yang tidak mendapatkan apa-apa.” (H.R. Ibnu Majah No. 3855 dan Abu Daud No.1273)
Al-Albani menyatakan hadits ini shahih. As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Hadits-hadits mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam, Juz 2 Hal 708)
Namun ada yang mengatakan bahwa salah seorang perawinya yaitu Ja’far bin Maimun At Tamimi Abu Ali adalah dla’if tapi ada juga yang menyimpulkan ia dalam katagori maqbul (diterima). Tapi mari kita lihat berbagai pendapat mengenai Ja’far bin Maimun. Ia adalah seorang Tabi’in bergelar Abu Ali atau Abu al ‘Awam Al-Anmathi.
1 Yahya bin Ma’in Mengatakan laisa bi tsiqah (Ia rawi yang tidak begitu dipercaya)
2 Abu Hatim Shalih
3 Ibnu Hibban Ia disebutkan dalam Ats-Tsiqat (berarti termasuk perawi tsiqah)
4 Ibnu Syahin Ia disebutkan dalam Ats-Tsiqat (berarti termasuk perawi tsiqah)
5 Abbas ad Duwari mengatakan: ’Shalihul Hadis, dan kesempatan lain pula ia mengatakan,’Ia tidak kuat”.
6 Abdullah bin Ahmad mengatakan dari Ayahnya,’Ia (Dja’far bin Maimun) tidak kuat dalam urusan hadis”
7 Ad Daraquthni mengatakan,’Yu’tabaru bihi” (mutlak dla’if)
8 Al-Bukhari mengatakan,’Laisa bis syai’in”. (tidak ada apa-apanya, artinya perawi tsb tidak mempunyai banyak hadits yang diriwayatkan darinya)
9 Ahmad bin Hambal Mengatakan laisa bi qowi (Ia rawi yang tidak begitu kuat)
10 An Nasai mengatakan,laisa bi qowi (Ia rawi yang tidak begitu kuat)
11 Ibnu Hajar Asqolani Mengatakan Shaduuq Yuihti (Perawi yang jujur tetapi banyak salah)Lihat Tahdzibul Kamal, Juz V Hal 114-115
12 At-Tirmidzi Maimun itu haditsnya munkar
Memang dalam ilmu jarh wa ta’dl dikenal kaidah al-jahru taqaddam ‘alaa ta’dl (keternagan cacat didahulukan daripada kredibel) Jadi walau ada 20 orang yang berkata ia tsiqoh jika ada 1 saja yag mengatakan ia cacat, amak tertolaklah perawi tersebut.
Namun dalam ilmu mustholaah hadits juga dikenal kaidah menimbang antara yang mengatakan tsiqat (terpercaya) itu siapa, dan yang mengatakan cacat siapa. Misalnya yang mengatakan tsiqoh adalah Bukhari atau Muslim, dan yang lain ada yang mengatakan cacat, maka Bukhari dan Muslim yang lebih dipercaya
Selain Bukhari dan Muslim, yang menjadi patokannya adalah Yahya bin Ma’in. Ibul Qoyyim mengatakan bahwa orang yang paling ketat dalam menilai ketsiqahan perawi adalah Yahya bin Ma’in. Sedangkan dalam kasus ini Yahya bin Ma’in mengatakan laisa bi tsiqah (tidak bisa dipercaya). Sedangkan yang menyatakan shalih adalah Abu Hatim. Abu Hatim dikenal longgar dalam menilai ketsiqahan perawi.
2. Hadits Ke-2
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin As Shabah telah menceritakan kepada kami ‘Aidz bin Habib dari Shalih bin Hasan dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurtzi dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Apabila kamu berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah dengan kedua telapak tanganmu, jangan berdo’a dengan punggung telapak tangan, jika kamu telah selesai, maka usaplah wajahmu dengan kedua telapak tangan tersebut.” (H.R. Ibnu Majah No. 3856)
Nashiruddin Al-Albani berkata hadits di atas dla’if. Letak kedla’ifannya pada perawi shalih bin hasan seorang tibut tabiin kalangan tua dari Basrah Irak. Bukhari mengatakan hadits ini munkar. Ibnu Hajar Asqolani Nasa’i dan Abu Nu’aim menyatakan Shalih bin Hasan adalah matruk (riwayatnya ditinggalkan) sedangkan Abu Daud, Yahya bin Ma’in Abu Hatim dan Daruqutni menyatakan Shalih bin Hasan perawi Dla’if.
3. Hadits Ke-3
Biasanya Nabi s.a.w. ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (H.R. At-Thabrani No. 5226)
Sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya 1/326). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)
4. Hadits Ke-4
Telah menceritakan kepada kami Abu Musa Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ibrahim bin Ya’qub serta lebih dari satu orang mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa Al Juhani dari Hanzhalah bin Abu Sufyan Al Jumahi dari Salim bin Abdullah dari ayahnya dari Umar bin Al Khathab r.a. ia berkata : “Rasulullah s.a.w. apabila mengangkat kedua tangannya dalam sebuah doa maka beliau tidak menurunkan keduanya hingga mengusap mukanya dengan keduanya”. Muhammad bin Al Mutsanna berkata dalam hadits tersebut; tidak mengembalikan keduanya hingga mengusap wajahnya dengan keduanya. (H.R. Tirmidzi No. 3308)
Abu Isa (Tirmidzi) berkata; hadits ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur Hammad bin Isa, ia sendirian dalam meriwayatkan hadits tersebut sementara ia adalah orang yang sedikit haditsnya. Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini dla’if. Orang-orang telah menceritakan darinya, sedangkan Hanzhalah bin Abu Sufyan Al Jumahi adalah orang yang tsiqah, ia ditsiqahkan oleh Yahya bin Sa’id Al Qaththan.
5. Hadits Ke-5
Dari Salman r.a., ia berkata,’Rasulullah Saw. Bersabda : “Tidaklah satu kaum mengangkat telapak-telapak tangan mereka, memohon sesuatu kepada Allah Azza wa Jalla melainkan berhak bagi Allah untuk menyimpan pada telapak-telapak tangan itu apa yang dimohonkan oleh mereka kepada-Nya” (H.R. Ath-Thabrani, Juz VI Hal. 312, Al-Haitsami, Majmauz Zawaid, Juz X Hal. 172)
Hadits senada diriwayatkan oleh Ad-Dailami dengan lafal sebagai berikut :
Tidaklah suatu kaum mengangkat tangan mereka (berdoa) yang kanan dan yang kiri melainkan hak bagi Allah untuk meletakkan pada tangan-tangan itu apa yang dimohonkan oleh mereka. (H.R. Ad-Dailami, Al Firdaus Bima’tsuril Khithab, IV : 358)
Al-Haitsami mengatakan dalam kitabnya Maj’mauz Zawaid ‘Rawi-rawi hadis riwayat At Thabrani di atas adalah rawi-rawi yang shahih, An-Nasa’i, Yahya bin Ma’in, dan Al-‘Ajli menyatakan Sa’id adalah kalangan tabi’in dan perawi yang tsiqah (terpercaya).
Tetapi setelah diteliti lebih jauh ternyata terdapat seorang rawi bernama Sa’id bin Iyas Al-Jurairi yang diperbincangkan. Dalam kitab Ma’rifatus Tsiqat, Juz I Hal 394, disebutkan dalam kitab itu,’ Sa’id bin Iyas Al Jariri, ia seorang rawi yang tsiqat, tetapi mukhtalit (berubah hafakannya) pada ahir hayatna. Di antara orang yang meriwayatkan setelah beliau mukhtalith : 1. Yazid bin Harun. 2. Ibnu Mubarak. 3. Ibnu Adi. 4 Syadad. Sedangkan orang yang meriwayatkan sebelum beliau muhktalith (berubah hafalannya) adalah : 1. Hamad bin Salamah 2. Ismail bin Ulayah. 3. Abdul ‘Ala 4. Sufyan. Dan yang paling shahih dari mereka yang mengambil hadits dari Sa’id sebelum muhktalith ialah Sufyan Ats-Tsauri dan Syu’bah.
6. Hadits Ke-6
Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata,’Rasulullah Saw. bersabda,’Sesungguhnya Allah Mahapenyayang, Memiliki sifat malu, Mahamulia, Ia merasa malu dari hambaNya apabila hamba itu mengangkat tangannya (berdoa) kepadaNya lalu Ia tidak menyimpan kebaikkan pada keduanya”. (H.R.Al-Hakim, al Mustadrak, Juz I Hal. 497, Ma’mar bin Rasyid, Al Jami’, Juz X Hal 443, Abdurrazaq, Mushanaf, Juz II Hal 251, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, Juz VII Hal. 142)
Dalam riwayat Al Hakim, terdapat rawi bernama Amir bin Yasaf. Ia adalah Amir bin Abdullah bin Yasaf. Ia termasuk rawi yang diperbincangkan. Abu Hatim mengatakan,’Ia rawi yang shalih’. Al Jarhu wat Ta’dil, VI : 329.
Berkata Ad Duwari dan Ibnu Al Barqani dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang tsiqah. Ibnu Hiban mencantumkannya dalam kitabnya at Tsiqah”. Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya Ta’jilul Manfaah, bahwa pernyataan tsiqat Yahya bin Ma’in terhadap Amir bin Yasaf itu diperselisihkan. Ibnu Adi mengatakan,’Munkarul Hadits ‘Anis Tsiqaathi (hadisnya diingkari dari rawi yang tsiqah) namun haditsnya dicatat. Menurut Abu Daud,’Laisa bihi ba’sun, ia seorang yang shalih”. Al ‘Ijli mengatakan,’Hadisnya dicatat. Sedangkan Abbas ad Duwari mengatakan dari Yahya,’Laisa bis Syai’in”. (Lisanul Mizan, Juz III Hal 224. Ta’jilul Manfaah , I : 206)
Dalam Riwayat Abu Ya’la, terdapat rawi bernama Shalih. Ia adalah Shalih bin Basyir bin Wada’ bin Ubay bin Abu al ‘Aq’as al Qari, Abu Bisyr al Bashri yang dikenal dengan sebutan Al Murrayi. Abdullah bin Ali bin Al Madini mengatakan,’Saya bertanya kepada ayahku tentang rawi bernama Shalih Al Murrayi, beliau sangat mendhaifkannya”. An Nasai mengatakan,’Hadisnya dhaif, baginya memiliki hadis-hadis yang munkar. Dalam kesempatan lain beliau mengatakan,’Matrukul hadits”. Dan Al Bukhari mengatakan,’Munkarul hadits”. Tahdzibul Kamal, XIII : 16-23.
Dalam riwayat Ma’mar bin Rasyid, Abdurrazaq, dan Abu Nuaim, terdapat rawi bernama Aban. Ia adalah Aban bin Abu ‘Ayasy, namanya adalah Fairuz, Abu Ismail Al Bashri. Muawiyah bin Shalih mengatakan dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang dhaif”. Abu Hatim Ar Razi dan An Nasai menyatakan,’Matrukul hadis”. Tahdzibul Kamal, II : 19- 23.
7. Hadits Ke-7
Dari Rabiah bin Abu Abdurrahman, ia mengatakan,’Saya mendengar Anas bin Malik r.a. berkata,’Rasulullah s.a.w. bersabda : “Sesungguhnya Allah Mahabaik, Mahamulia, Ia merasa teramat malu dari seorang hamba muslim apabila ia berdoa kepada-Nya lalu dikembalikan kedua tangan itu dalam keadaan hampa tidak ada sedikit pun (kebaikan) pada keduanya. Dan Apabila seorang hamba itu berdoa, ia mengisyaratkan dengan telunjuknya, Tuhanku berfirman,’Hamba-Ku telah iklash. Dan apabila ia mengangkat kedua tanganya, Allah berfirman,’Sesungguhnya Aku teramat malu terhadap hamba-Ku untuk menolaknya. (H.R. Abu Nuaim, Hilyatul Auliya, III No. 263)
Pada sanad hadis ini terdapat rawi bernama Habib. Ia adalah Habib bin Abu Habib, nama aslinya ialah Ibrahim, seorang juru tulis Anas bin Malik r.a. Abu Daud mengatakan, “Ia termasuk rawi yang sangat pendusta”. An-Nasai dan Abul Fath Al-Azadzi menyatakan, ’Matrukul hadits”. Ibnu Adi dalam kitabnya al Kamil mengatakan,’Seluruh hadis yang diriwayatkannya palsu”. (Tahdzibul Kamal, Juz V Hal. 366- 370)
8. Hadits Ke-8
Dari Jabir, ia mengatakan, Rasulullah Saw. bersabda,’Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memiliki sifat Pemalu dan Maha mulia, Ia merasa teramat malu dari hambaNya apabila hamba itu mengangkat kedua tanganya (berdoa) kepadaNya lalu dikembalikan keduanya dalam keadaan hampa yang tidak ada sesuatu pun (kebaikan) pada keduanya”. (H.R. At Thabrani, al Mu’jamul Ausath, V : 298, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, III : 391)
Sanad hadis ini dhaif, disebabkan kedhaifan rawi bernama Yusuf bin Muhamad bin Al Munkadir. Abu Zur’ah mengatakan ia ’Shalih, ia seorang rawi yang paling sedikit meriwayatkan hadis dari saudaranya Al Munkadir Ibnu Ahmad”. Menurut Abu Hatim,’Ia rawi yang tidak kuat, namun hadisnya dicatat”. Abu ‘Ubaid al Ajari mengatakan dari Abu Daud,’Ia rawi dhaif”. An-Nasa’i menyatakan,’Ia rawi yang tidak tsiqah”, dalam kitabnya Ad-Dua’fa beliau menyatakan,’Matrukul hadits”. Dan ke-dhaif-an rawi ini disepakati pula oleh Al ‘Uqaili, Ibnul Jauzi, Ad-Dzahabi dan Ibnu Hajar Asqolani. (Tahdzibul Kamal, Juz XXXII Hal. 456-457).
9. Hadits Ke-9
Dari Ibnu Muhairiz mengatakan,’Rasulullah saw. bersabda,’Apabila kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya dengan membuka telapak tangan mu dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan menutupkanya. H.r. Ibnu Abi Syaibah, AL-Mushanaf, VII : 64.
Hadis ini daif karena mursal. Ibnu Muhairiz sebagai periwayat hadis di atas adalah seorang Tabi’in. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya At Tamhid, XXIII : 289
10. Hadits Ke-10
Dari Malik bin Yasar as Sakuni, al ‘Aufi, bahwa Rasulullah saw. bersabda,’ ’Apabila kalian memohon kepada Allah, mohonlah kepada-Nya dengan membuka telapak tangan mu dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan menutupkanya. H.r. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 334, At Thabrani, Musnad as Syamiyyin, II : 432, Abu Bakar As Syaibani, Al Ahad wal Matsani, IV : 410.
Sanad hadis ini daif, disebabkan ke-daif-an dua orang rawi yang bernama Dhamdham dan Ismail bin ‘Ayyas
Nama lengkapnya Dhamdham bin Zur’ah bin Tsub al Hadrami al Himshi. Menurut Ad Dzahabi dalam kitabnya al Kasyif, I : 510, bahwa rawi ini diperselisihkan tentang ke-tsiqat-anya. Usman bin Sa’id ad Darimi mengatakan dari Yahya bin Ma’in,’Ia rawi yang tsiqat”. Abu Hatim menyatakan,’Daif”. Ibnu Hiban memasukan rawi ini dalam kitabnya at Tsiqat”. Tahdzibul Kamal XIII : 327-328. Ibnu Hajar menerangkan dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib, IV : 405, bahwa Ahmad bin Isa mengatakan ‘La ba’sa bihi. Sedangkan dalam kitabnya at Taqrib, I : 280, beliau mengatakan,’Shaduqun Yahimu” (jujur tetapi waham (mengira-ngira, menduga-duga) dalam periwayatan).
Adapun tentang Ismail bin ‘Ayyas, Imam At-Tirmidzi dan Ad-Daraquthni mengatakan, “Ia seorang rawi yang mudalis.” Ta’liq ‘ala Sunan Ibnu Majah, I : 437. Al-Bukhari mengatakan, “Apabila ia menyampaikan hadis dari rawi yang satu daerah dengannya, hadisnya itu sahih. Tetapi apabila menyampaikan hadis bukan dari rawi yang sedaerah dengannya, maka tidaklah ia teranggap.” Tahdzibul Kamal, III : 177. Menurut Dr Qasim Ali Sa’ad dalam kitabnya ‘Manhaj al Imam an Nasai fil Jarhi wat Ta’dil, IV : 1901, para tokoh ahli jarh wat ta’dil telah sepakat bahwasa hadis Ismail bin ‘Ayyasy itu bisa dijadikan sebagai hujjah apabila ia menerima hadis dari seorang ahli (hadis) atau seorang rawi yang bisa dijadikan sebagai hujjah (tsiqat). Adapun hadis yang ia riwayatkan dari orang-orang Hijaj dan Irak, maka hadisnya tidak bisa dijadikan hujjah. Dan inilah kesimpulan dari pendapat ulama Jumhur. Dengan keterangan para ulama di atas, jelaslah bahwa periwayatan Ismail itu tidak dapat diterima, karena ia meriwayatkan hadis tersebut dari seorang rawi yang tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, yakni rawi bernama Dhamdham.
11. Hadits Ke-11
Dari Abu Bakrah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,’mohonlah kamu kepada Allah dengan membuka telapak tangan mu dan janganlah kamu memohon kepada-Nya dengan menutupkanya.
Hadis ini daif disebabkan kesalahan periwayatan rawi bernama Khalid Al-Hadzai’
Al Haetsami menerangkan dalam kitabnya Majma’uz Zawaid X : 169, bahwa lafal hadis ini diriwayatkan oleh At Thabrani. Menurut beliau bahwa rawi-rawi hadis ini adalah rawi yang shahih. Namun kami tidak mendapatkan lafal hadis ini dalam periwayatan At Thabrani sebagaimana yang dikatakan oleh Al Haetsami. Kami temukan lafal hadis itu dalam kitab ‘Ilal ad Daraquthni, VII : 175, ketika beliau (Ad Daraquthni) di tanya tentang hadis Abdurrahman bin Abu Bakrah dari ayahnya (Abu Bakrah), beliau menjawab,’Al Qashim bin Malik al Muzani telah meriwayatkanya dari Khalid al Hadzai’ dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari ayahnya, di situ terjadi kesalahan atas periwayatan Khalid. Yang benar, Al Qashim menerima hadis itu dari Khalid, ia (Khalid) terima dari Abu Qilabah dari Muhairiz secara mursal dari Nabi saw.
12. Hadits Ke-12
Dari Khalid bin Al Walid, bahwasanya ia mengadu kepada Rasulullah saw. tentang kesulitan yang menimpa keluarganya, Nabi saw. bersabda,’Angkatlah (kedua tanganmu) kelangit dan mintalah kelapangan”. (H. R. At Thabrani, al Mu’jamul Kabir, IV : 137)
Al Haetsami mengatakan,’Hadis di atas diriwayatkan oleh At Thabrani dengan dua sanad, salah satu dari keduanya sanadnya hasan. (Majma’uz Zawaid, Juz X Hal 169). Namun periwayatan At Thabrani itu sebenarnya satu sanad. Kerena At Thabrani meriwayatkan hadis itu melalui rawi yang bernama Ya’qub bin Humaid. Ia menerima dari dua orang yaitu 1. Dari Abdullah bin Abdullah Al Amawi. 2. Dari Abdullah bin Sa’id. Keduanya menerima dari Al Yasa’ bin Al Mughirah, dari bapaknya, dari Khalid bin Al Walid. Sedangkan yang melalui Abdullah bin Sa’id Al Yasa’ itu menerima secara langsung dari Khalid bin Al Walid tanpa menyebut bapaknya.
Sanad hadis ini dipersoalkan karena rawi bernama Al Yasa’ bin Al Mughirah, tidak terlepas dari kritikan para ulama. berkata Abu Hatim berkata laisa bi qowi (Ia tidak kuat) Namun Ibnu Hiban menyatakan ia terpercaya sehingga mencantumkannya dalam kitabnya ‘Ats-Tsiqat”. Ad Dzahabi menerangkannya dalam kitabnya al Mizan,’Ia seorang rawi yang shaduuq (Jujur)”, Ibnu Hajar Asqolani menilainya,’Layyinul hadits” (hadistnya diperdebatkan). (Tahdzibul Kamal, Juz XXXII Hal : 301-302). Namun dalam kitab Al Mughni fid Du’afa, Juz II Hal 756, dan Mizanul ‘Itidal, Juz VII Hal. 271, Ibnu Sirin menyatakan ia shaduuq (jujur).
13. Hadits Ke-13
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia mengatakan,’Dalam memohon (berdoa) hendaklah kamu mengangkat kedua tanganmu sejajar dengan kedua bahumu atau berbatasan dengan keduanya. Dalam beristighfar, hendahlak berisyarat dengan satu jari, dan dalam beribtihal, hendaklah mengulurkan (membentangkan) kedua tanganmu seluruhnya. (H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud, I : 334)
Abu Daud dalam meriwayatkan hadis di atas menggunakan dua bentuk. Secara mauquf (hanya sampai kepada sahabat / ucapan seorang sahabat). Secara marfu’ (sampai kepada Nabi / sabda Nabi). Berdasarkan penelitian kami, maka periwayatan yang marfu’ itu daif. Periwayatan Abu Daud yang marfu sanadnya daif karena terdapat inqitha (putus) pada sanadnya. Yakni antara Ibrahim bin Abdullah bin Ma’bad dengan Ibnu Abbas. Disamping itu kami tidak mendapatkan keterangan dari seorang pun tentang ke-tsiqat-annya selain Ibnu Ibnu Hajar dengan kata-kata ‘Shaduq”. Lihat Tahdzibul Kamal,II : 130, at Tarikhul Kabir, I : 302, al Jarhu wat Ta’dil, II : 108, Masyahiru ‘Ulamail Amshar, I : 143, at Tsiqat, VI : 6, Taqribut Tahdzib, I : 91, al Kasyif, I : 216.
C. Dalil Saat Khusus Berdoa Mengangkat Tangan Yang Haditsnya Shahih
Berikut ini adalah dalil-dalil yang menceritakan Rasulullah s.a.w. berdoa mengangkat tangan pada saat momentum / peristiwa tertentu. Pengkhsusuan “pada saat tertentu” ini mengacu pada kecenderungan orang yang berpendapat bahwa Rasulullah s.a.w. berdoa mengangkat tangan hanya pada saat tertentu saja, sedangkan di luar saat-saat tersebut adalah bid’ah.
1. Rasulullah s.a.w. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Di Depan Ka’bah
Telah mengabarkan kepada kami Al Abbas bin Abdul ‘Azhim Al ‘Anbari, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Utsman bin Umar, ia berkata; telah memberitakan kepada kami Yunus dari Az Zuhri, ia berkata; telah sampai kepada kami berita bahwa Rasulullah s.a.w. apabila melempar jumrah yang terletak setelah tempat menyembelih yaitu tempat menyembelih di Mina, beliau melemparnya dengan tujuh kerikil, beliau bertakbir setiap kali melempar dengan kerikil, kemudian maju ke depan, lalu berdiri menghadap Kiblat dengan mengangkat kedua tangannya, berdoa dan berdiri lama. Kemudian beliau mendatangi Jumrah yang kedua, lalu melemparnya dengan tujuh kerikil, dan bertakbir setiap kali melempar dengan kerikil. Kemudian beliau turun ke sebelah kiri, lalu berdiri menghadap Ka’bah dengan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa. Kemudian mendatangi Jumrah yang ada di Aqabah, lalu melemparnya dengan tujuh kerikil. Dan tidak berdiri di sisinya. Az Zuhri berkata; saya mendengar Salim menceritakan hal ini dari ayahnya dari Nabi s.a.w. , dan Ibnu Umar melakukannya. (H.R. Nasa’i No. 3033)
Al-Albani Menyatakan hadits ini sahih
2. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Di Arafah
Telah mengabarkan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim dari Husyaim, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Malik dari ‘Atho`, ia berkata; Usamah bin Zaid berkata: “saya pernah membonceng membonceng Nabi s.a.w. di Arafah, lalu beliau mengangkat tangan dan berdoa, kemudian untanya condong dan tali kekangnya jatuh, beliau mengambil tali kekang itu dengan salah satu tangannya sedang tangannya yang lain terangkat”. (H.R. Nasa’i No. 2961)
Al-Albani Menyatakan hadits ini sanadnya sahih. Hadits yang memiliki redaksi sama diriwayatkan dari jalur yang lain sebagai berikut :
Telah bercerita kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Abdul Malik telah bercerita kepada kami Atho`, ia berkata: Berkata Usamah bin Zaid: “Saya pernah membonceng Rasulullah s.a.w. di Arafah, beliau menengadahkan tangan seraya berdoa kemudian untanya miring hingga tali kekangnya jatuh, lalu beliau mengambil tali kekang dengan tangan sebelah beliau sementara sebelah tangannya tetap menengadah”. (H.R. Imam Ahmad No. 20820)
3. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Di Shafwa Marwa
Dari Abu Hurairah r.a., ia mengatakan,: “Ketika Rasulullah Saw. selesai dari thawafnya, beliau datang ke Shafa, lalu naik sampai beliau melihat Al Bait (Ka’bah), kemudian beliau mengangkat kedua tanganya, lalu mulailah membaca tahmid (memuji kepada Allah) dan berdoa apa yang ia kehendaki”. (H.R. Muslim, Juz III Hal 1406, Ibnu Khuzaimah, Juz IV Hal 230, Abu ‘Awanah, dalam Al-Musnad, Juz IV Hal 290, Al-Baihaqi, dalam As-Sunanul Kubra, Juz IX Hal 117, Ibnu Abu Syaibah, dalam Al-Mushannaf, Juz VII : 397)
Hadits yang senada dengan di atas diriwayatkan oleh Abu Daud
Telah menceritakan kepada Kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada Kami Bahz bin Asad, serta Hasyim yaitu Ibnu Al Qasim, mereka berkata; telah menceritakan kepada Kami Sulaiman bin Al Mughirah dari Tsabit dari Abdullah bin Rabah dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah s.a.w. datang lalu memasuki Mekkah dan menghadap ke Hajar Aswad, serta mengusapnya kemudian melakukan thawaf di Ka’bah, kemudian mendatangi bukit Shafa dan menaikinya, dimana beliau melihat ke Ka’bah dan beliau mengangkat kedua tangannya, dan berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang beliau kehendaki, dan beliau berdoa kepadaNya.(H.R. Abu Daud No. 1596)
Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits di atas shahih.
4. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Melempar Jumroh
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Abdullah berkata, telah menceritakan kepada saya saudaraku dari Sulaiman dari Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdullah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu melempar Al Jumrah Ad-Dunya (Al Ulaa, awal) dengan tujuh kerikil kemudian bertakbir pada setiap kali lemparannya, kemudian dia maju hingga sampai pada permukaan yang datar dia berdiri menghadap qiblat dengan agak lama, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, kemudian melempar jumrah Al Wustho seperti itu pula, dia mengambil jalan sebelah kiri pada dataran yang rata lalu berdiri menghadap qiblat dengan agak lama, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, kemudian melempar jumrah Al ‘Aqabah dari dasar lembah dan dia tidak berhenti disitu lalu berkata: “Begitulah aku melihat Nabi s.a.w. mengerjakannya“. (H.R. Bukhari No. 1634)
5. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Sholat Istisqo
Sebagian orang yang mengatakan bahwa berdoa sambil mengangkat tangan adalah bid’ah dan hanya dibolehkan ketika berdoa dalam sholat istisqo (sholat minta turunnya hujan) berdasarkan pada hadits-hadits di bawah ini :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Yahya dan Ibnu Abi ‘Adi dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Nabi s.a.w.tidak pernah mengangkat tangannya saat berdoa kecuali ketika berdoa dalam shalat istisqa’. Beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya.” (H.R. Bukhari No. 973)
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Zurai’ telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas r.a. bahwa Nabi s.a.w. tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a kecuali ketika meminta hujan, ketika itu beliau mengangkat kedua tangan nya sehingga terlihat putih ketiaknya.” (H.R. Abu Daud 989)
Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits di atas shahih.
Dan Telah meceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dan Yahya bin Ayyub dan Qutaibah dan Ibnu Hujr -Yahya berkata- telah mengabarkan kepada kami -sementara yang lain berkata- Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far dari Syarik bin Abu Namir dari Anas bin Malik bahwasanya : “Ada seorang laki-laki yang masuk Masjid pada hari Jum’at dari pintu yang menghadap Darul Qadla`, sementara Rasulullah s.a.w. berdiri sedang menyampaikan khutbah. Kemudian laki-laki itu segera menghadap ke arah Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan pun telah terputus. Karena itu, berdo’alah kepada Allah agar menurunkan hujan.” Maka Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a: “ALLAHUMMA AGHITSNAA ALLAHUMMA AGHITSNAA, ALLAHUMMA AGHITSNAA (Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami). Anas r.a. berkata, “Tidak, demi Allah, kami tidak melihat mendung maupun gumpalan awan sedikitpun di langit, juga tidak ada di antara kami ataupun di antara celah meski satu rumah maupun tempat tinggal.” Ia berkata, “Maka datanglah dari arah belakangnya segumpalan awan yang menyerupai sebuah perisai. Setelah memenuhi langit, awan tersebut menyebar lalu turunlah hujan.” Ia berkata, “Tidak, demi Allah kami tidak dapat melihat matahari kala itu.” Ia berkata, “Kemudian ada seorang laki-laki yang masuk melalui pintu tersebut pada hari Jum’at selanjutnya, sedangkan Rasulullah s.a.w. sedang berdiri menyampaikan khutbah, maka ia menghampiri beliau dengan berdiri dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, harta benda kami telah lenyap dan jalan-jalan pun sudah buntu, maka berdo’alah kepada Allah supaya Dia menetapkannya bagi kami.” Ia mengatakan, “Maka Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya lalu berdo’a, “Ya Allah! Hujanilah di sekitar kami, jangan kepada kami. Ya, Allah! Berilah hujan ke daratan tinggi, beberapa anak bukit, perut lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan.” Maka kami segera berdiri dan keluar berjalan di bawah sinar matahari.” Syarik berkata; Lalu aku pun bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah laki-laki itu adalah laki-laki yang pertama?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu.” (H.R. Muslim No. 1493)
Telah menceritakan kepada kami Harun bin Sa’id Al Aili telah menceritakan kepada kami Khalid bin Nizar telah menceritakan kepadaku Al Qasim bin Mabrur dari Yunus dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari Aisyah dia berkata; “Orang-orang mengadu kepada Rasulullah s.a.w. tentang musim kemarau yang panjang, maka beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat shalat (tanah lapang), lalu beliau berjanji kepada orang-orang untuk bertemu pada suatu hari yang telah di tentukan.” Aisyah berkata; “Maka Rasulullah s.a.w. keluar ketika matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar, beliau s.a.w. bertakbir dan memuji Allah Azza Wa Jalla, lalu bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan keterlambatan turunnya hujan dari musimnya, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian agar kalian memohon kepadanya, dan berjanji akan mengabulkan do’a kalian, kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dzat yang menguasai hari Pembalasan. (AlFatihah: 2-4). Tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada tuhan ilah yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha kaya sementara kami yang membutuhkan, maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan.” kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan senantiasa mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih ketiak beliau, kemudian beliau membalikkan punggungnya membelakangi orang-orang dan merubah posisi selendangnya, sedangkan beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat dua raka’at. Seketika itu Allah mendatangkan awan yang di sertai dengan gemuruh dan kilat, Maka turunlah hujan dengan izin Allah, beliau tidak kembali menuju masjid sampai air bah mengalir (di sekitarnya), ketika beliau melihat orang-orang berdesak-desakan mencari tempat berteduh, beliau tersenyum hingga terlihat gigi gerahamnya, lalu bersabda: “Aku bersaksi bahwa Allah adalah Maha kuasa atas segala sesuatu dan aku adalah hamba dan rasul-Nya.” (H.R. Abu Daud No. 992)
Abu Daud berkata; “Ini adalah hadits gharib, tapi sanadnya shahih. Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits di atas hasan.
6. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Memohon Syafaat di Azwara
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Musa bin Ya’qub dari Ibnu Utsman. Abu Daud berkata; ia adalah Yahya bin Al Hasan bin Utsman dari Al Asy’ats bin Ishaq bin Sa’d dari ‘Amir bin Sa’d dari ayahnya, ia berkata; kami keluar besama Rasulullah s.a.w. dari Mekkah henda menuju Madinah. Kemudian tatkala kami telah mendekati ‘Azwara, beliau turun kemudian mengangkat kedua tangannyaa dan berdoa kepada Allah sesaat, kemudian beliau bersujud. Beliau lama berada dalam keadaan demikian kemudian bangkit dan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa kepada Allah sesaat, kemudian beliau bersujud. Beliau lama berada dalam keadaan demikian kemudian bangkit dan mengangkat kedua tangannya, dan berdoa kepada Allah sesaat, kemudian beliau bersujud. Ahmad menyebutkan hal tersebut sebanyak tiga kali. Beliau berkata: “Aku memohon kepada Tuhanku dan memintakan syafa’at untuk umatku. Kemudian Allah memberiku sepertiga umatku, lalu aku bersujud sebagai rasa syukur kepada Tuhanku. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan memohonkan untuk umatku. Kemudian Allah memberiku sepertiga umatku, lalu aku bersujud sebagai rasa syukur kepada Tuhanku. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan memohonkan untuk umatku. Kemudian Allah memberiku sepertiga yang lainnya, lalu aku bersujud untuk Tuhanku.”. (H.R. Abu Daud No. 2394)
Abu Daud berkata; Asy’ats bin Ishaq telah digugurkan oleh Ahmad bin Shalih, ketika ia menceritakan hadits tersebut. Musa bin Sahl Ar Ramli menceritakan hadits tersebut darinya. Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if. Letak ke-dla’ifan hadits ini terletak pada perawi Muhammad bin Isma’il bin Muslim bin Abi Fudaik. Ia adalah Tabiut Tabi’in dengan julukan Abu Isma’il. Ibnu Hibban dan Yahya bin Ma’in mengatakan ia adalah perawi yang tsiqat dan disebutkan dalam kitab Ats-Tsiqaat. Sedangkan Ibnu Hajar Asqolani dan Dzahabi mengatakan ia shaduuq (jujur). Namun Nasa’I mengatakan ia laisa bihi ba’s (tidak mengapa). Darisini kita bisa simpulkan bahwa pen-dla’if-an Muhammad bin Isma’il bin Muslim bin Abi Fudaik kurang kuat karena kebanyakan ulama menganggapnya tsiqaat.
7. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Sholat Gerhana
Dari Abdurrahman bin Samurah, ia mengatakan,’Ketika saya sedang main lempar panah pada masa Rasulullah Saw. tiba-tiba terjadi gerhana matahari, lalu saya meninggalkanya dan saya berkata,’Saya akan melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika terjadi gerhana pada hari itu. Kemudian saya menjumpai beliau, pada saat itu Rasulullah Saw. sedang mengangkat kedua tanganya berdoa, bertakbir, bertahmid, dan bertahlil sampai terang kembali. Maka beliau membaca dua surat dan salat dua rakaat”. (H.R. Muslim Juz II Hal 269, Abu Daud, Juz I : 264, Al-Baihaqi, Juz III Hal 332)
8. Berdoa Mengangkat Tangan Saat Perang Badar
Dari Umar bin Al Khathab, ia mengatakan: “Ketika perang Badar, Rasulullah Saw. melihat orang-orang musyrik itu beribu-ribu. Sedangkan para shahabatnya berjumlah sekitar tiga ratus sembilan belas orang. Lalu Nabi Saw. mengadap kiblat menengadah tangan dan mulailah beliau menyeru Tuhanya,’Ya Allah! Penuhilah bagiku apa yang Engkau janjikan kepadaku, ya Allah! Berikanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan terhadapku, ya Allah! Seandainya sekelompok dari ahli Islam ini binasa, tidak akan ada di muka bumi ini ada yang menyembah. Maka tidak henti-hentinya beliau menyeru Tuhannya dengan membentangan tanganya menghadap kiblat sehingga selendangnya jatuh dari pundaknya…Kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat “Idz tastagiitsuuna rabbakum…(Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berbondong-bondong) (H.R. Muslim Juz II Hal 146, Ibnu Hiban, Juz VII Hal 141, At Tirmidzi, Juz V Hal 251, Ahmad, dalam Musnad Juz I Hal 334, Abu ‘Awanah Juz IV Hal 255, Ibnu Abu Syaibah, Al Mushannaf, Juz VI Hal 75, Al Asbahani, dalam Dalailun Nubuwwah, Juz I Hal 119)
9. Berdoa Mengangkat Tangan Saat Berlindung Dari Dajjal dan Adzab Kubur
Dari Aisyah, ia mengatakan: ”Seorang perempuan yahudi datang dan meminta makan di balik pintu rumahku, ia mengatakan,’Semoga Allah memberikan perlindungan kepada kamu dari fitnah Ad Dajal dan dari fitnah kubur… Aisyah mengatakan,’Lalu Rasulullah s.a.w. berdiri kemudian mengangkat kedua tangan seraya memohon perlindungan kepada Allah dari fitnah dajal dan dari azab kubur…(H.R. Ahmad, Musnad al Imam Ahmad, XXXXII : 12 dan Ibnu Rahawaeh, al Musnad, No. 1170)
Syu’aib Al Arnauth mengatakan, ’Hadis ini sanadnya shahih sesuai dengan syarat periwayatan Al Bukhari dan Muslim. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Rahawaih, Al Baihaqi, Ibnul Mundzir, dan Al Haitsami. Lihat Ta’liq ‘ala Musnad Al Imam Ahmad, XXXXII:12-14.
10. Berdoa Mengangkat Tangan Saat Membaca Qunut
Aku melihat Rasulullah s.a.w. setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (H.R. Ahmad No. 12402)
Hadits ini dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu Juz III Hal 500
Perbuatan Rasulullah s.a.w. ini diikuti oleh Umar bin Khattab yang mengangkat tangan ketika membaca qunut
“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya” (H.R. Al-Baihaqi Juz II Hal 212)
11. Berdoa Mengangkat Tangan Tasyahud dalam Sholat
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Saif dia berkata; saya mendengar Mujahid berkata; telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Sahbarah Abu Ma’mar dia berkata; saya mendengar Ibnu Mas’ud r.a. berkata; “Rasulullah s.a.w. pernah mengajariku tasyahud -sambil menghamparkan kedua telapak tangannya- sebagaimana beliau mengajariku surat Al Qur’an, yaitu; “AT-TAHIYYATUT LILLAHI WASH-SHALAWAATU WATH-THAYYIBAATU, ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN-NABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH, ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALA ‘IBAADILLAAHISH-SHAALIHIIN, ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WA RASUULUH.” (H.R. Bukhari 5794) Hadits ini shahih.
Secara umum selama ini kita mengetahui bahwa dalam posisi tasyahud awal maupun akhir ketika sholat kita membaca doa tasyahud dengan memberi isyarat telunjuk tangan dan jari tengah bertemu dengan ibu jari (kebanyakan hadits meriwayatkan hal ini). Namun dalam hadits ini di Bukhari meriwayatkan suatu ketika Rasulullah s.a.w. membaca doa tasyahud boleh dengan menengadahkan kedua telapak tangan
12. Berdoa Mengangkat Tangan Sehabis Sholat
Muhammad bin Yahya Al Aslami mengatakan: aku melihat Abdullah bin Az Zubair r.a., dia sedang memerhatikan seseorang yang berdoa mengangkat tangan sebelum shalat usai. Setelah itu beliau berkata: “Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengangkat tangannya dalam berdoa, kecuali setelah selesai shalat.” (Atsar R. Al-Haitsami) Al Haitsami mengatakan rijal hadits ini tsiqat (kredibel).
13. Berdoa Mengangkat Tangan Sehabis Sholat
Dari Al Fadhl bin Abbas, bahwa Rasulullah s.a.w. mengatakan: “Shalat it dua rakaat dua rakaat, dalam dua rakaat ada satu tasyahhud, lakukanlah secara khusyu’, tadharru’, kemudian bedoa mengangkat kedua tangan, meninggikan keduanya menuju Rabbmu, menghadap kiblat dengan wajah dan badanmu, barangsiapa yang tidak demikian maka dia begini dan begini” (H.R. Tirmidzi)
A. Dalil Saat Khusus Berdoa Mengangkat Tangan Yang Haditsnya Dla’if
1. Berdoa Mengangkat Tangan Mendoakan Sa’ad bin Ubadah
Dari Qais bin Saad, mengatakan, ’Rasulullah s.a.w. mengunjungi tempat tinggal kami, beliau mengucapkan, ’As Salamu ‘alaikum warahmatullah, lalu Saad menjawabnya dengan jawaban yang rendah. Qais mengatakan, ’Tidakkah engkau mengijinkan Rasulullah Saw.? ia menjawab, : “Biarkanlah agar beliau banyak mengucapkan salam kepada kami. Ia (Qais) mengatakan,’Kemudian kami pergi bersamanya dan beliau memerintah Saad untuk mandi. Lalu ia mandi kemudian beliau memberikan mantel kepadanya yang dicelup dengan za’faran atau wars dan ia memakainya. Kemudian Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya dan berdoa ‘Ya Allah tetapkanlah salawat dan rahmatMu kepada keluarga Sa’ad bin Ubadah”. (H.R. Abu Daud, Juz IV Hal 347, An Nasai, Juz VI : 89; ‘Amalul Yaumi wal Lailah, I : 284, Ahmad, Musnad al Imam Ahmad, Juz XXIV Hal 222, At-Thabrani, Juz XVIII Hal 353, Al-Baihaqi, dalam Syu’abul Iman, Juz VI Hal. 439)
Sanad hadis di atas dhaif karena terjadi inqitha (keterputusan mata rantai sanad). Muhamad bin Abdurahman bin As’ad bin Zurarah yang menjadi periwayat hadis di atas tidak tsubut (tidak pasti) mendengar atau menerima hadis dari Qais bin Ubadah.
Al Mizi mengatakan dalam kitabnya Tahdzibul Kamal, XXIV : 42, ‘Yang Shahih (benar) adalah bahwa di antara keduanya terdapat seseorang yang menjadi perantara periwayatanya (tidaklangsung). Disamping ke-munqathi-an sanad hadis di atas, diperselisihkan pula tentang periwayatan Al Auzai’ pada sanad hadis di atas. Imam An Nasai meriwayatkan dalam kitabnya as Sunanul Kubra, No. hadis 10158 & 10159, dan Amalul Yaumi wal Lailah, No. Hadis 326 & 327, melalui Al Auzai, dari Yahya bin Abu Katsir, dari Muhamad bin Abdurrahman bin Asad bin Zurarah dan Muhamad bin Tsauban secara mursal. Lihat, Ta’liq ’ala Musnad Imam Ahmad, XXIV : 222
2. Berdoa Mengangkat Tangan Mendoakan Al Walid bin Uqbah
Dari Ali r.a. ia mengatakatan,’Aku melihat isteri Al Walid datang kepada Nabi Saw. mengadukan tentang suaminya yang memukulnya. Nabi s.a.w. berkata kepadanya: “Pergilah dan katakanlah olehmu begini dan begitu”. Lalu ia pergi tapi kemudian kembali lagi seraya berkata: “Sesungguhnya ia mengulangi memukulku” Nabi Saw. berkata kepadanya : ”Pergilah dan katakanlah olehmu sesungguhnya Nabi Saw. mengatakan untukmu, lalu ia pergi kemudian ia kembali lagi seraya berkata : “Sesungguhnya ia memukulku lag”i. Nabi s.a.w. berkata: “Pergilah dan katakan olehmu kepadanya’begini dan begitu”. Ia mengatakan: “Sesungguhnya ia memukulku lagi” Lalu Nabi s.a.w. mengangkat kedua tangannya seraya berdoa :”Ya Allah, aku serahkan Al Walid kepada-Mu”. (H.R. Bukhari, Raf’ul Yadaini Fish-Shalah, hal. 144.
Imam Ahmad, Juz II Hal 431, Abu Abdullah, Amaliyul Mahamili, Juz I Hal 151, Abu Ya’la, al-Musnad, Juz I : 289, 353, Al Bazzar, al-Musnad, Juz III : 21)
Sanad hadis ini dhaif, karena terdapat dua rawi, yakni Abu Maryam At Tsaqafi dan Nuaim bin Hakim al Madain
Abu Maryam At Tsaqafi. Ia adalah Qaes Abu Maryam At Tsaqafi Al Madaini. Ada juga yang mengatakan Al Hanafi. An Nasai mengatakan,’Abu Maryam Qaes Al Hanafi, seorang rawi yang tsiqat. Ad Dzahabi dalam kitabnya Al Kasyif, mengatakan,’Tsiqat. Dan Ibnu Hiban memasukan kedalam kitabnya at Tsiqat. Al Mizi dalam kitabnya Tahdzibul Kamal menerangkan bawa Ali bin Al Madini mengatakan,’Abu Maryam Al Hanafi itu namanya Iyas bin Dlubaeh (bukan Qais). Begitu juga yang dikatakan oleh Abu Nasr bin Makul,’Abu Maryam Al Hanafi namanya Iyas bin Dlubaeh sebagai hakim pada masa Umar bin Al Khathab. Berkata Abu Hatim,’Abu Maryam At Tsaqafi Al Madani, namanya Qais. Dan ada juga yang mengatakan,’keduanya (Al At Tsaqafi dan Al Hanafi) itu dua orang (bukan dua nama untuk satu orang). menurut Ibnu Hajar dalam kitabnya at Taqrib,’Abu Maryam At Tsaqafi nama Qais Al Madaini, majhul (tidak dikenal). (Lihat at Tarikhul Kabir, Al Bukhari, VII : 151, Al Mughni Fid Duafa, II : 807, Mizanul Itidal, VII : 426, Lisanul Mizan, VII : 482, Taqribut Tahdzib, I : 672, al Kasyif, II : 459, Tahdzibul Kamal, XXXIV : 282-283)
Adapun Nuaim bin Hakim al Madain saudaranya Abdul Malik bin Hakim. Ia seorang rawi yang dinyatakan tsiqah oleh Yahya bin Ma’in juga Ad Dzahabi dalam kitabnya al Kayif. Sedangkan Yahya bin Ma’in terkenal ketat dalam menilai perawi. Ibnu Hiban memasukannya kedalam kitabnya Ats Tsiqat tanpa memberi komentar apa-apa. Dr. Awad Ma’ruf menerangkan bahwa Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib,’Dan telah menukil As Saji dari Ibnu Ma’in bahwasanya ia mendhaifkannya (mendhaifkan Nuaim bin Hakim). Muhamad bin Sa’ad mengatakan,’Lam yakun bi dzaka’. Menurut An Nasai,’Ia seorang rawi yang tidak kuat”. Ibnu Khirasy menyatakan,’Shaduq la ba’sa bih”. Al Azdi menyatakan,’Hadis-hadisnya diingkari. Dan Ibnu Hajar menyatakan dalam kitabnya at Taqrib,’Ia seorang rawi yang shaduq tetapi terdapat kesamaran dalam periwayatannya. Lihat ad Duafa’u wal Matrukin libnil Jauzi, III : 164, Mizanul Itidal, VII : 41, Lisanul Mizan, VII : 421, At Taqrib, I : 564, al Kayif, II : 323, Tarikh Bagdad, XIII : 302, Tahdzibul Kamal, XXIX : 464-465
3. Berdoa Mengangkat Tangan Mendoakan Usman bin Affan r.a.
Dari Aisyah, ia mengatakan,’Rasulullah Saw. menemui kami, lalu beliau melihat daging dan menanyakan,’Siapa yang telah mengantarkan daging ini? Aku (Aisyah) menjawab,’Usman. Ia berkata,’Saya melihat Rasulullah Saw. mengangkat kedua tanganya mendoakan Usman”. (H.R. Al-Bazzar, Majmauz Zawaid, Juz IX Hal 88)
Saya melihat Rasulullah Saw. mengangkat kedua tangannya mendoakan Utsman r.a. sehingga kelihatan ketiaknya. (H.R. Bukhari dalam kitabnya Raf’ul Yadaeni Fis Shalah, hal. 143)
Al Haitsami mengatakan,’Hadis yang diriwayatkan oleh Al Bazzar, sanadnya hasan”. (Majmauz Zawaid, IX hal 85,86). Adapun tentang riwayat Al Bukhari, menurut Badi’uddin Ar Rasyidi,’Rawi-rawinya dinyatakan tsiqat.” (Raf’ul Yadaeni Fis Shalah, hal. 143)
Penilaian hasan dari Al Haitsami terhadap hadis di atas ternyata tidak sepenuhnya benar, karena beliau sedikit pun tidak menyinggung keberadaan rawi yang berada pada sanad itu, yakni Ismail bin Abdul malik.
Ismail bin Abdul Malik yang tercantum pada sanad riwayat Al Bazar itu, nama lengkapnya adalah Ismail bin Abdul Malik bin Abu Ashufair al Asadi Abu Abdul Malik al Maki. Yahya bin ma’in menilai positif terhadapnya dengan penilaian “laisa bihi ba’sun”, tetapi penilaian negatif pun disampaikan oleh beliau dengan penilaian ”Ia rawi yang tidak kuat”. Hal ini disampaikan oleh Abas Ad-Duwari. Penilaian Yahya bin ma’in di atas sama dengan penilaian An-Nasai, yaitu ia rawi yang tidak kuat dalam urusan hadits. Pernyataan Ibnu Hiban sangat gamblang bahwa ia rawi yang suka menukar-nukar riwayatnya sendiri, bahkan di dalam kitab almajruhin ia menegaskan, ditambah buruk hapalan, jelek pemahaman, dan menukar-nukar riwayat-riwayatnya sendiri. Lengkap sudah keterangan-keterangan jarh atau kelemahan rawi yang bernama Ismail ini. Jadi, nyatalah bahwa hadis ini dhaif dan pernyataan hasan dari Al Haitsami tidak dapat diterima.
Adapun hadis riwayat Al Bukhari di dalam kitabnya Raf’ul Yadaini fish Shalah, yang dinyatakan rawi-rawinya tsiqat. Hal inipun tidak sepenuhnya benar, karena beliau pun tidak menyinggung rawi yang bernama Abdul Hamid bin Abdurahman Al-Himani Abu Yahya al Kufi. Tentang rawi ini Ibnu Ma’in memberikan dua penilaian, yaitu tsiqat dan dhaif laisa bi syaiin. Tentang dua macam penilaian yang kontradiksi dari Ibnu Ma’in ini tidak dapat diambil kesimpulan karena tidak diketahui mana yang diucapkan lebih dulu oleh beliau. Adapun Ibnu Hiban menyatakan tsiqat berdasarkan penilaian Ibnu Ma’in yang pertama. Selanjutnya Imam Ahmad beserta putranya menyatakan ke-dhaif-annya.
Dalam pada itu Ibnu Hajar al Asqalani memberikan penilaian dengan dasar atau sebabnya. Ia mengatakan,”Abdul Hamid seorang rawi yang jujur tetapi melakukan kesalahan”. Setelah ta’dil yang hanya dari Yahya bin Ma’in yang kontradiksi dengan penilaian beliau sendiri yang lainnya. Lalu didukung oleh penilaian Ahmad bin Hanbal dan putranya, selanjutnya penilaian dari Ibnu Hajar al Asqalani yang menerangkan sebab kedhaifannya, cukup sudah kiranya data yang diperlukan untuk menyimpulkan bahwa hadis ini dhaif.
4. Berdoa Mengangkat Tangan Mendoakan Ali bin Abi Thalib r.a.
Dari Ummu Syarahil, dari Ummu ‘Athiyah : “sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Ali dalam satu pasukan perang, lalu aku melihat beliau mengangkat kedua tangan seraya berdoa,’Ya Allah! Janganlah Engkau mewapatkan aku sebelum Ali diperlihatkan lagi kepadaku”. (H.R. At Thabrani, dalam Mu’jamul Kabir, Juz XXV Hal 68, dalam Mu’jamul Ausath, Juz III : 216, At Tirmidzi, Juz V Hal 643)
Sanad hadis ini amat dhaif, sebabnya adalah terdapatnya dua rawi yang tidak dikenal sama sekali, yakni Abu Al Jarah al Mahri dan Ummu Syarahil. Abu Al Jarah. Ia adalah Abu Al Jarah al Mahri. Ad Dzahabi dalam kitabnya Mizanul ‘Itidal, VII : 349, mengatakan,’Ia tidak dikenal”. Ibnu Hajar menerangkan,’Majhul” Lisanul Mizan, VII : 456, Tahdzibul Kamal, XXXIII : 186. Adapun tentang Ummu Syarahil, Ad Dzahabi mengatakan,’Ia tidak dikenal”. Begitu pula yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Tahdzibut Tahdzib, XXXV : 168.
5. Berdoa Mengangkat Tangan Mendoakan Usamah bin Zaid
Dari Muhamad bin Usamah bin Zaid, dari ayahnya Usamah bin Zaid, ia mengatakan: ”Ketika kondisi Rasulullah s.a.w. lemah (karena sakit), aku pergi ke Madinah begitu pula dengan orang-orang pergi bersamaku. lalu aku menjumpai Rasulullah Saw. sungguh beliau telah terdiam tidak berkata sepatah kata pun. Kemudian mulailah beliau mengangkat kedua tangannya ke langit lantas menumpahkan tangannya itu kepadaku, sungguh aku tahu bahwasanya beliau sedang mendoakan aku. (H.R. At Tirmidzi, Juz V Hal 653, Al Bazzar Juz VII Hal 29, Ahmad, Juz V : 201, Fadlailus Shahabah, II : 834, Abul Qasim Al-Bagawi, Musnad Usamah, I : 45, At Thabrani, Al Mu’jamul Kabir, I : 123, Ibnu Jarir At Thabari, Tarikh At Thabari, II : 230, Abu Abdullah Al Maqdisi, Al Ahaditsil Mukhtarah, IV : 146-147)
Sanad hadis ini dhaif, seluruh jalur periwayatannya melalui seorang rawi bernama Muhamad bin Ishaq bin Yasar yang diperselisihkan tentang ke-tsiqat-annya.
6. Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Mendoakan Ahlul Bait
Dari Syahr bin Hausyab, ia mengatakan,’Saya menjumpai Ummu Salamah, saya minta keterangan kepadanya tentang Husain, ia berkata kepadaku, sesungguhnya Rasulullah Saw. berada di rumahku pada suatu hari dan Fatimah datang membawa mekanan, maka beliau bersabda : “Pergilah dan panggillah suamimu atau sepupumu dan kedua anakmu. Maka ia pergi kemudian datang bersama Ali serta Hasan dan Husain. Lalu mereka menikmati makanan tersebut dan Rasulullah Saw. berada di tempat tidur kami yang di bawahnya terdapat kain khaibar, maka beliau mengambilnya lalu mereka memakaikanya kepada beliau, kemudian beliau mengangkat kedua tanganya ke langit seraya berdoa: “Ya Allah, mereka adalah keturunan dan keluargaku, maka bersihkanlah mereka dari kotoran dosa dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya. Maka Ummu Salamah berkata,’Wahai Rasulullah, aku juga keluargamu?’ Beliau bersabda,’Engkau terhadapku kebaikkan. (H.R. At Thabrani, al Mu’jamul Kabir, XXIII : 396)
Sanad hadis ini dhaif , karena terdapat dua rawi yang diperselisihkan tentang ke-tsiqat-anya. 1. Syahr bin Hausab al ‘Asy’ari. 2. Ismail bin Nasyith al ‘Amiri. Syahr bin Hausab al ‘Asy’ari Abu Sa’id maula Asma binti Yazid bin As Sakan Al Anshari. Yahya bin Ma’in menyatakan,’Syahr bin Husaib seorang rawi yang tsiqat”. Berkata Ahmad bin Abdullah al ‘Ijli,’Ia seorang tabi’in yang tsiqat”. Menurut Al Bukhari,’Hasanul hadis”. Sedangkan menurut Musa bih Harun,’Ia seorang rawi yang dhaif”.
Namun An Nasai menyatakan,’Ia seorang rawi yang tidak kuat”. Dr. ‘Awad Ma’ruf menerangkan bahwa Ibnu Adi mengatakan,’Ia seorang rawi yang tidak kuat dalam urusan hadis dan ia termasuk rawi yang tidak dapat dipakai hujah”. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan,’Ia sangat dhaif sekali”. Ad Daraquthni menyatakan,’Ia tidak kuat”. Ibnu Hajm menyatakan,’Saqith”. Dan menurut Ibnu Hajar,’Ia rawi yang shaduq (jujur) tetapi bayak memursalkan hadis serta banyak kesamaran dalam urusan hadis”. (Ta’liq ’ala Tahdzibil Kamal, XII : 578-589)
Namun Ibnul Qayyim mengatakan Yahya bin Ma’in adalah orang yang paling ketat dalam menilai perawi. Demikian pula Imam Bukhari terkenal palign ketat dalam menilai perawi. Maka jika hadits di atas Yahya bin Ma’in dan Imam Bukhari mengatakan perawinya tsiqat (terpercaya) maka hal ini bisa diambil sebagai patokan.
E. Orang Yang Berpendapat Berdoa Mengangkat Tangan Saat Sholat Istisqo Saja
Sebagian ulama berpendapat bahwa berdoa dengan menengadahkan tangan hanya boleh ketika sholat istisqo (shalat minta hujan) saja karena ada perkataan “tidak pernah mengangkat tangan kecuali ketika shalat istisqo”
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Yahya dan Ibnu Abi ‘Adi dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bin Malik berkata, “Nabi s.a.w. tidak pernah mengangkat tangannya saat berdoa kecuali ketika berdoa dalam shalat istisqo’. Beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih kedua ketiaknya.” (H.R. Bukhari No. 973)
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Zurai’ telah menceritakan kepada kami Sa’id dari Qatadah dari Anas r.a. bahwa Nabi s.a.w. tidak pernah mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a kecuali ketika meminta hujan, ketika itu beliau mengangkat kedua tangan beliau sehingga terlihat putih ketiaknya.” (H.R. Abu Daud No. 989, An-Nasa’i No. 1728 Ad-Darimi 1492)
Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits di atas shahih
Walaupun kedua hadits di atas shahih dan maknanya demikian, namun pada kenyataannya banyak sekali hadits shahih lainnya yang menceritakan Rasulullah s.a.w. juga berdoa dengan mengangkat tangan ketika di depan Ka’bah, di Arafah, Shafa dan Marwa, ketika melempar jumroh, juga ketika shalat gerhana, membaca qunut, berdoa memohon perlindungan, ketika hendak perang, atau ketika mendoakan gugurnya Ubaid bin Amir dll. Maka hadits ini shahih dari segi sanad namun syadz (ganjil) dari segi matam (isi redaksinya) karena bertentangan dengan hadits shahih lainnya.
Namun ada penjelasan lain akan fenomena ini, bahwa ternyata dalam hadits riwayat Muslim, Abdul A’la membantah hal ini dan bersaksi melihat ketiak Rasulullah s.a.w. yang menandakan Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan ketika peristiwa itu.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dan Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah dari Anas bahwasanya; Nabi s.a.w. tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a kecuali dalam shalat Istisqa`, hingga terlihat putih ketiak beliau.” Namun Abdul A’la berkata bahwa : “terlihat putih ketiak beliau atau kedua ketiak beliau”. (H.R. Muslim No. 1491)
Abdurrahman Al-Mubarkafuri berlata : “Mereka mengatakan bahwa mengangkat tangan yang seperti ini jika terjadi pada doa istisqo saja, tetapi hadits ini (yang berlafadz umum) tidaklah mengkhususkannya. Oleh karenanya, Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam kitab Ad Da’awat atas kebolehan mengangkat kedua tangan secara mutlak (umum) ketika berdoa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/201-202. Cet. 2. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)
F. Larangan Berdoa Mengangkat Tangan Ketika Khutbah Jum’at
Orang yang berpendapat bahwa ada larangan berdoa dengan mengangkat tangan kecuali pada waktu-waktu tertentu yang dicontohkan oleh Nabi s.a.w. mendasarkan diri pada hadits berikut :
Dari Amarah bin Ruwaibah, ia berkata,’Saya melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya di atas mimbar (berdoa pada waktu jum’at), ia mengatakan: ”Semoga Allah menjauhkan (kebaikkan) dari kedua tangan itu, sungguh saya pernah melihat Rasulullah s.a.w. tidak menambah ketika berdoa dengan tanganya begini, dan ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya”. (H.R. Muslim, Juz II Hal 295, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, II : 121. Ibnu Khuzaimah, Juz II Hal 352).
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Za`idah dari Hushain bin Abdurrahman dia berkata; ‘Umarah bin Ruwaibah melihat Bisyr bin Marwan sedang berdo’a pada hari Jum’at (dengan mengangkat tangan), maka Umarah berkata; “Semoga Allah menjadikan kedua tangan ini jelek.” Za`idah berkata; Hushain berkata; telah menceritakan kepadaku ‘Umarah dia berkata; “Sungguh aku pernah melihat Rasulullah s.a.w. ketika beliau di atas mimbar, (berdo’a) tidak lebih dari memberi isyarat dengan ini.” yaitu jari telunjuk dekat ibu jari.” (H.R. Abu Daud No. 930) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits di atas shahih.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ telah menceritakan kepada kami Husyaim telah mengabarkan kepada kami Hushain dia berkata, saya mendengar Umarah bin Ruwaibah At Tsaqafi sedangkan Bisyr bin Marwan berkhutbah, lalu dia mengangkat kedua tangannya waktu berdo’a, maka Umarah berkata, semoga Allah menghinakan kedua tanganmu yang pendek, sungguh saya telah melihat Rasulullah s.a.w., beliau tidak menambah dengan mengatakan seperti ini, lalu Husyaim mengisyaratkan dengan jari telunjuknya. (H.R. Tirmidzi No. 473)
Abu Isa (Tirmidzi) berkata, ini adalah hadits hasan shahih. Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits di atas shahih.
Umarah bin Ruwaibah itu seorang sahabat. Ia secara langsung menegur Bisyrin bin Marwan mengangkat kedua tangannya dalam berdoa’a ketika khutbah jum’at, karena yang pernah ia lihat Rasulullah s.a.w. berdo’a pada saat khutbah tidak mengangkat kedua tangannya.
Maka Imam Asy-Syaukani berkomentar dalam kitab Nailul Autharnya, “Hadits ini menunjukan karahah (tidak disukai) mengangkat kedua tangan diatas mimbar dikala berdo’a dan sesungguhnya hal itu adalah bid’ah”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dimakruhkan bagi imam mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a saat khutbah. Ini adalah salah satu dari pendapat yang lebih benar menurut sahabat kami (madzhab Hambali)
Imam al-Nawawi berkata dalam menjelaskan kandungan hadits di atas, “Di dalamnya terdapat sunnah agar tidak mengangkat tangan saat khutbah, ini adalah pendapat Malik, para sahabat kami dan selain mereka.” (Syarh Muslim: 6/162) dan beliau berkata dalam al Iqna’ dan Syarahnya, “Imam dimakruhkan mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam khutbah. Al-Majd berkata, “Itu bid’ah, sesuai dengan pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan selain mereka.” (Kasyaful Qana’ ‘an Matni al-Iqna’, 2/37)
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari al-Zuhri, berkata: “Mengangkat tangan pada Khutbah Jum’at adalah perkara muhdats (yang diada-adakan).” Thawus juga berkata , bahwa beliau membenci mengangkat tangan saat berdoa pada hari Jum’at. Dan beliau sendiri tidak mengangkat kedua tangannya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 2/55)
Namun dalam hadits lainnya keterangan ini terbantahkan karena suatu ketika dua kali hari Jum’at penduduk Madinah sekaligus memohon turunnya hujan tanpa keterangan perinci apakah doa itu dilakukan pada sholat istisqo atau sholat jum’at.
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Humaid ia berkata; ada satu pertanyaan yang dilontarkan kepada Anas; “Apakah Nabi s.a.w.mengangkat tangannya ketika sedang berdoa?” maka dia menjawab; “Ketika hari Jum’at pernah dikatakan kepada Rasulullah s.a.w. ; “Wahai Rasulullah, hujan tidak turun sementara tanah sudah pada mengering dan harta hampir punah!” Anas berkata; “Kemudian Rasulullah s.a.w.mengangkat tangannya sehingga terlihat putih ketiaknya, lalu beliau meminta agar diturunkan hujan. Sungguh beliau telah mengangkat tangannya meminta hujan, sungguh beliau telah mengangkat tangannya, namun kami tidak juga melihat langit mendung. Maka ketika kami telah selesai melaksanakan shalat, hujan turun sehingga membuat seorang pemuda yang paling dekat rumahnya tidak mempunyai keinginan yang lain kecuali mendatangi istrinya.” Anas berkata; “Pada Jum’at berikutnya orang-orang menemui Rasulullah s.a.w.seraya berkata; “Wahai Rasulullah, rumah-rumah kami hancur dan kendaraan-kendaraan kami tidak bisa lewat (karena kebanjiran)!” Maka Rasulullah s.a.w.pun tersenyum karena begitu cepat bosannya manusia, setelah itu beliau berdoa: “ALLAHUMMA HAWALAINA WALA ‘ALAINA (Ya Allah turunkanlah hujan yang merata, bukan atas kami saja), kemudian hujan itu pun merata ke seluruh penjuru Madinah.” (H.R. Ahmad No. 11581)
Namun yang jelas dikatakan pada hadits di atas bahwa pada Jum’at berikutnya mereka memohon untuk diberhentikan hujan karena kebanjiran, maka jelas ini adalah bukan sholat istisqo (mohon turun hujan). Sehingga dapat disimpulkan pada Jum’at berikutnya Rasulullah s.a.w. berdoa menengadahkan tangan pada hari Jum’at walaupun tidak diperinci apakah ini ketika sholat Jum’at atau bukan.
Ada pula hadits lain yang mengatakan tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah s.a.w. berdoa mengangkat tangan namun hadits ini adalah dla’if
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Bisyr yaitu Ibnu Al Mufadlal telah menceritakan kepada kami Abdurrahman yaitu Ibnu Ishaq dari Abdurrahman bin Mu’awiyah dari Ibnu Abu Dzubab dari Sahl bin Sa’d dia berkata; “Aku tidak pernah melihat sama sekali Rasulullah s.a.w. mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, baik di atas mimbar maupun di tempat lain, akan tetapi aku melihat beliau hanya memberi isyarat seperti ini.” Lalu Sahl memberi isyarat dengan jari telunjuk sambil mengenggam jari tengah dengan jempol.” (H.R. Abu Daud No. 931) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini dla’if karena Abdurrahman bin Ishaq bin Abdullah dinyatakan dla’if oleh Daruquthni. Sedangkan Ibnu Hajar Asqolani dan As-Saji mengatakan ia beraliran Qadariyah. Demikian pula Abdurrahman bin Mu’awiyah bin Al-Huwairits menurut Adz-Dzahabi dla’if, menurut Ibnu Hajar Asqolani buruk hafalannya dan tertuduh beraliran murji’ah. Namun Yahya bin Ma’in mengatakan ia tsiqah.
G. Analisa dan Kesimpulan
Jelas terdapat hadits yang bermakna umum mengenai kelaziman berdoa dengan mengangkat tangan. Orang yang menolak keumuman dari hadits berlafadz umum ini berdalih dengan berbagai alasan namun tertolak karena alasan itu mengada-ada.
Namun lafadz umum ini ditakhsish (dikhususkan) dengan hadits-hadits yang menjelaskan bahwa hanya pada shalat istisqo (minta hujan) sajalah Rasulullah s.a.w. berdoa dengan mengangkat tangan. Namun takshish ini pun menjadi bersifat umum karena perkataan “hanya” menjadikan larangan berdoa mengangkat tangan itu menjadi bersifat general (umum) yaitu segala ibadah di luar sholat istisqo.
Maka generalisasi pelarangan di luar sholat istisqo ini pun menjadi ditakhsis (dikecualikan) lagi dengan adanya hadits-hadits shahih lainnya yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w ternyata juga berdoa dengan mengangkat tangan dalam beberapa ibadah lain di luar sholat istisqo yaitu :
– Saat menghadap ka’bah
– Saat wukuf di arafah
– Saat di Shafa dan Marwa
– Saat melempar jumroh
– Saat Hendak Perang Badar
– Saat dibangunkan dari tidur lalu mendoakan Ubaid, Abu Amir dan Abu Musa (Abdullah bin Qais)
– Saat sholat istisqa
– Saat sholat gerhana
– Saat membaca doa qunut
– Saat membaca doa berlindung dari dajjal.
– Saat berdoa memohon syafaat bagi umatnya di Azwara
Maka sebagian ulama berkata bahwa dibolehkannya mengangkat tangan ketika berdoa itu hanya pada peristiwa-peristiwa atau ibadah-ibadah yang disebutkan saja (ada dalil haditsnya) sedangkan untuk hal-hal yang tidak ada contohnya dari Nabi s.a.w. tidak boleh kita lakukan. Sedangkan hadits-hadits dengan lafadz umum baik riwayat Muslim maupun Bukhari pun mereka tolak keumumannya dengan berbagai alasan.
Lalu pertanyaannya apakah kita mengatakan bahwa mengangkat tangan ketika mendoakan Ubaid Abu Amir lalu khusus untuk dia saja dan tidak boleh mengangkat tangan ketika mendoakan si Fulan dan Fulanah? Memang dalam peristiwa Rasulullah s.a.w. mendoakan sahabat lainnya tidak diterangkan apakah beliau mengangkat kedua tangannya atau tidak sangat banyak misalnya ketika mendo’akan sahabat Anas bin Malik (H.R. Al Bukhari), Abu Aufa (H.R. Al Bukhari), Sa’ad (H.R. Muslim), Ibnu Abas (H.R. Al Bukhari). Lalu apakah ini berarti tidak boleh mengangkat tangan ketika mendoakan sahabat lainnya? Ataukah karena sudah kelaziman mengangkat tangan ketika berdoa sehingga tidak perlu setiap kali disebutkan dalam setiap hadits?
Lalu apakah bisa disimpulkan bahwa Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan ketika membaca doa qunut, membaca doa belindung dari dajjal, memohon syafaat di azwara namun tidak boleh mengangkat tangan ketika membaca doa lainnya?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan : “Dalam kondisi khutbah, Nabi s.a.w. tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali (jika dalam khutbah tersebut) beliau berdoa memohon hujan (istisqo)” (Syarhul Mumthi’, 5/215). Namun hadits yang menyatakan Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan hanya ketika sholat istisqo ini telah menjadi meragukan, dengan adanya bantahan dari salah seorang perawi hadits tersebut yaitu Abdul A’la yang menyaksikan sebaliknya. Demikian pula hadits-hadits lain yang menceritakan Rasulullah s.a.w. juga berdoa mengangkat tangan pada ibadah-ibadah lainnya dan hadits ini sama shahihnya.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz berkata: setiap ibadah yang dilakukan di masa Nabi s.a.w., ketika beliau tidak mengangkat kedua tangannya, berarti hal tersebut tidak disyariatkan kepada kita ketika melakukan ibadah tersebut. Namun yang perlu dicermati adalah : “Apakah benar hadits-hadits itu menunjukkan Rasulullah s.a.w. tidak mengangkat tangan ketika berdoa?” Yang benar adalah hadits-hadits lainnya tidak memerinci secara tegas apakah Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan atau tidak dan bukannya menegaskan Rasulullah s.a.w. TIDAK mengangkat tangan.
Hadits yang secara tegas menyebutkan TIDAK mengangkat tangan ketika berdoa hanyalah dua macam yaitu :
– Hadits-hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. berdoa mengangkat tangan HANYA ketika sholat istisqa. Dan semuanya bersumber dari satu sahabat yaitu Anas bin Malik yang mana telah dibantah pula oleh Abdul A’la yang mendengar hadits ini dari Qatadah dan Anas dan bersaksi berlawanan.
– Hadits-hadits yang menyatakan MELARANG berdoa mengangkat tangan KHUSUS ketika khutbah Jum’at dan semuanya bersumber dari Amarah bin Ruwaibah yang melarang Bisyr bin Marwan.
Hal yang mengherankan adalah mereka mengatakan bahwa hadits-hadits yang menceritakan mengangkat tangan ketiak berdoa ini walaupun ada yang shahih diriwayatkan tidak lebih dari 8 orang generasi sahabat (kurang dari 10 orang ) sehingga termasuk katagori hadits ahad sehinga tidak kuat dijadikan dalil. Namun di sisi lain hadits yang menyatakan hanya saat sholat istisqo saja Rasulullah s.a.w. berdoa menangkat tangan hanya bersumber dari 2 orang sahabat yaitu dari Qatadah dari Anas bin Malik, demikian pula pelarangan berdoa mengangkat tangan ketika khutbah jum’at semua bersumber dari Amarah bin Ruwaibah, namun hal ini bisa dijadikan hujjah dan dalil.
Jika kita mau jujur dan berfikir tidak berat sebelah, kebanyakan hadits yang dikatakan para ulama menyebutkan Rasulullah s.a.w. TIDAK mengangkat tangan sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas bahwa Rasulullah s.a.w. tidak mengangkat tangan ketika berdoa, melainkan yang benar adalah hadits-hadit itu tidak memerinci atau menyebutkan apakah Rasulullah s.a.w. mengangkat tangan atau tidak ketika berdoa.
Jadi dari sekian banyak hadits tentang aktifitas Rasulullah s.a.w. dalam berdoa itu terbagi dua katagori : Pertama, adalah hadits-hadits yang menyebutkan beliau mengangkat tangan ketika berdoa, kedua, adalah hadits-hadits yang tidak menyebutkan apakah beliau mengangkat tangan atau tidak mengangkat tangan ketika berdoa namun tidak bisa diartikan bahwa beliau tidak mengangkat tangan. Hadits seperti ini sangat banyak misalnya, Nabi pernah mendo’akan Ibunya agar diampuni segala dosanya dik uburannya, berdoa waktu berbuka puasa, berdoa sesudah adzan, mendo’akan pengantin, berdoa ketika masuk WC, keluar WC dll semua tidak menyebutkan mengangkat tangan atau tidak.
Kita harus bisa membedakan antara “tidak menyebutkan apakah beliau s.a.w. mengangkat tangan atau tidak” dengan yang secara tegas “menyebutkan beliau s.a.w. TIDAK mengangkat tangan ketika berdoa”. Karena logikanya, bukan keharusan bagi para sahabat ketika meriwayatkan hadits tentang aktifitas berdoa Rasulullah s.a.w. selalu diikuti dengan keterangan bahwa beliau mengangkat tangan walau sebenarnya beliau mengangkat tangan.
Kita ambil perumpamaan : Kisah tentang Pak Burhan terlihat memakai kacamata ketika bekerja di kantor, memakai kacamata ketika memimpin rapat, memakai kaca mata ketika naik kendaraan, memakai kacamata ketika khutbah jum’at maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pak Burhan adalah berkacamata. Sehingga tidak perlu setiap kali menceritakan tentang aktifitas Pak Burhan diikuti keterangan terus menerus bahwa beliau memakai kacamata, karena khalayak sudah mafhum bahwa Pak Burhan berkacamata. Maka ketika ada cerita bahwa kemarin Pak Burhan menonton sepak bola di TV, kita yakin bahwa pak Burhan menonton TV mengenakan kaca mata walaupun berita yang sampai pada kita tanpa keterangan tegas bahwa beliau memakai kaca mata.
Maka kembali pada hadits Rasulullah s.a.w. ketika tidak ada keterangan apapun apakah beliau berdoa dengan atau tanpa menengadahkan tangan tidak lantas otomatis bisa disimpulkan bahwa beliau tidak menengadahkan tangan. Kecuali jika dalam hadits tsb dikatakan dengan tegas posisi tangan Rasulullah s.aw. Misalnya jika disebutkan bahwa Rasulullah s.a.w. berdoa dengan posisi kedua tangan lurus di pinggang beliau, atau kedua tangan beliau terlipat ke belakang dsb.
Maka kesimpulannya menurut kami, secara umum membaca doa itu boleh mengangkat tangan dan boleh tidak. Rasulullah s.a.w. terkadang mengangkat tangan ketika berdoa dan terkadang tidak mengangkat tangan ketika berdoa. Dalam situasi tertentu yang bersifat keseharian, maka berdoa itu lebih mudah tidak mengangkat tangan seperti ketika berdo’a hendak tidur, bangun tidur, berdoa hendak makan, sesudah makan, berdoa memakai baju, berdo’a pada saat bersin, berdoa masuk dan keluar masjid, berdoa apabila ada petir dan angin besar, berdoa masuk dan keluar WC, berdoa masuk dan keluar rumah, dll. Sedangkan ada kalanya berdoa itu bisa mengangkat tangan dan adakalanya kita merasa lebih suka mengangkat tangan yaitu ketika mendoakan orang lain, berdoa sehabis sholat, berdoa ketika berbuka puasa. Abdurrahman Al-Mubarkafuri berkata : “Mereka mengatakan bahwa mengangkat tangan yang seperti ini jika terjadi pada doa istisqo saja, tetapi hadits ini (yang berlafadz umum) tidaklah mengkhususkannya. Imam Bukhari mengatakan dalam kitab Ad Da’awat atas kebolehan mengangkat kedua tangan secara mutlak (umum) ketika berdoa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/201-202. Cet. 2. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)
Wallahu’alam
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative