Gerakan Liberalisme Salafy-Wahabi dan Sekulerisme mempunyai pengaruh yg tidak bisa di anggap remeh dalam perkembangan Islam, walaupun mereka secara zhahir tidak pernah merusak fasilitas umum,. Tapi sebenarnya gerakan ini justru merusak dan menggerogoti aqidah kita dari dalam, karena ajaran yg mereka sampaikan banyak yg menyimpang dari ajaran agung Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Walaupun mereka mengaku sebagai penganut Al-Qur'an dan As-Sunnah yg masih murni. Ini dikarenakan mereka menganggap sebagai firqah najiyah (kelompok yg selamat) yg tidak perlu bermadzhab.
Secara bahasa, madzhab artinya tujuan keberangkatan. Kemudian kata ini mengalami perubahan, sehingga digunakan untuk menyebut kesimpulan hukum yg menjadi tujuan akhir pembahasan, sebagaimana keterangan al-Munawi dalam at-Tawqif.
Ad-Dasuqi dalam hasyiahnya untuk asy-Syarhul Kabir mengatakan,
مَذْهَبَ مَالِكٍ مَثَلًا عِبَارَةٌ عَمَّا ذَهَبَ إلَيْهِ مِنْ الْأَحْكَامِ الِاجْتِهَادِيَّةِ
Madzhab Malik berarti ungkapan unt menyebut semua hukum hasil ijtihad yg menjadi pendapat Imam Malik (Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, 1:49).
Atau dengan kalimat yg lebih ringkas, madzhab = pendapat. Bermadzhab, berarti mengikuti pendapat. Bermadzhab Syafii, artinya mengikuti pendapat Imam asy-Syafii, dst.
Pertama, kita sepakat bahwa Imam yg empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafii, dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah, mereka semua adalah imam dan panutan bagi kaum muslimin generasi setelahnya.
Allah jadikan pendapat mereka diterima di hati kaum muslimin, dari generasi ke generasi. Namun kita juga sepakat bahwa ijtihad tidak hanya terbatas pada empat ulama ini. Karena Islam tidak mungkin hanya berkutat pada pendapat empat imam ini. Masih banyak ulama lain yg sekelas dengan mereka, semacam ats-Tsauri, al-Auza’I, Ibnul Mubarak, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Uyainah, Ibnu Mahdi, Yahya bin Qathan, dll.
Untuk itulah, para imam tersebut tidak pernah berharap agar madzhabnya disikapi sebagaimana syariah yg maksum (terjaga) dari kesalahan. Demikian pula, mereka sama sekali tidak bermaksud untuk memaksa orang lain agar mengikuti pendapatnya. Bahkan mereka menolak ketika ada orang lain yg mengambil pendapatnya, tanpa mengetahui dalil yg menjadi dasar mereka.
Berikut diantara wasiat mereka,
Imam Abu Hanifah mengatakan,
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه و سلم فاتركوا قولي
“Jika saya menyampaikan pendapat yg bertentangan denagn Al-Quran dan hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.” (Iqadzul Himam al-Fallani, hlm. 50, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 48).
Imam Malik pernah berpesan:
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه و سلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه و سلم
Siapapun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pendapatnya layak diambil atau ditolak. Kecuali keterangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (al-Jami’ Ibnu Abdil Bar, 2:91, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 49).
Imam asy-Syafii mangatakan,
كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه و سلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني
Semua pendapatku, namun keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan pendapatku maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih layak diikuti dan janganlah taqlid kepadaku. (Riwayat Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dari Shifat Shalat Nabi, hlm. 52)
Imam Ahmad berpesan,
لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah kalian taqlid kepada aku, jangan pula taqlid kepada Malik, As-Syafii, Al-Auzai, At-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.” (I’lam al-Muwaqi’in, 2:201).
Kita bisa memastikan, bagaimana semangat mereka dalam mengajarkan kebaikan kepada umat. Sama sekali bukan dalam rangka membangun kelompok baru, bukan pula menciptakan perbedaan di kalangan umat.
Kedua, mengapa hanya 4 ini yang terkenal?
Diantara balasan yg kebaikan yg Allah berikan kepada mereka, atas jasa besar mereka bagi kaum muslimin, Allah abadikan karya mereka dan pendapat mereka melebihi ulama lainnya. Sebagaimana yg dinyatakan Imam Malik,
ما كان لله بقي
“Sesuatu yg murni untuk Allah maka akan lebih langgeng”
Allah ciptakan para murid yg menimba ilmu dari mereka, mengabadikan pendapat dan perjalanan hidup mereka. Para murid itu mencatat pendapat mereka, penjelasan mereka, tanya jawab bersama mereka, termasuk prinsip mereka dalam berijtihad. Sehingga sejarah kehidupan, ideologi, dan pemahaman mereka dikenang oleh masyarakat generasi setelahnya.
Dalam perjalanannya, para ulama generasi selanjutnya, berusaha meniru metodologi mereka dalam berijtihad dan mengambil kesimpulan hukum. Mereka lebih mengikuti pada prinsip para imam dalam menyimpulkan pendapat, ketimbang mengikuti pendapat sang imam. Sehingga terbentuklah metodologi menggali kesimpulan dalil yg membedakan mereka dengan madzhab yg lainnya. Mengingat 4 orang ini yg lebih banyak pengikutnya, jadilah madzhab 4 imam ini lebih dikenal dibandingkan ulama lain yg sezaman dengan mereka.
Ketiga, haruskah kita taqlid kepada madzhab?
Ketika menjelaskan tentang hukum taqlid madzhab, Dr. Abdullah al-Judai mengatakan,
أنَّ النَّاسَ صنفَانِ، عالمٌ مجتهدٌ، وَعَامِيٌّ مقلِّدٌ، فأمَّا المجتهدُ فقدْ امتنعَ عليهِ التَّقليدُ ما دامَ قادرًا على الاجتهادِ، وأمَّا المقلَّدُ فإنَّه مأمورٌ بسؤالِ من يقدرُ على سُؤالهِ من أهلِ العلمِ، ولا يتقيَّدُ بمذهبٍ من المذاهبِ الأربعَةِ، وإنَّما هو كما يقولُ بعضُ العلماءِ: (مذهبُهُ مَذهبُ من يسْتَفتِيهِ) ، وعلَى هذا أكثرُ أهلِ العلمِ.
Sesungguhnya manusia terbagi menjadi dua golongan: Alim mujtahid dan Awam yg taqlid. Seorang mujtahid, dia tidak diperbolehkan untuk taqlid selama dia masih mampu untuk berijtihad. Sementara orang yg taqlid, dia diperintahkan untuk bertanya kepada ulama yg mampu menjawab pertanyaannya. Dan tidak harus terikat dengan madzhab tertentu dari empat madzhab di atas. Statusnya sebagaimana yg dikatakan sebagian ulama: “Madzhabnya orang awam sama dengan madzhabnya orang yg dia mintai fatwa.” Inilah yg menjadi pegangan para ulama.
Kemudian beliau melanjutkan,
لكنَّ التَّتلمُذَ لمن يقصِدُ تحصيلَ آلَةِ الاجتهادِ على مذهبِ من هذهِ المذاهبِ لأجلِ ما وقعَ من العِنايَةِ بها مشروعٌ صحيحٌ؛ نظرًا لما يُحقِّقُ من المصالحِ العظيمَةِ في مراتِبِ العلمِ، ولا ضرُورَةَ لتسميَّتِهِ تقليدًا
Namun, orang yg berusaha menggali untuk mendapatkan metodologi berijtihad menurut salah satu madzhab dalam rangka memberikan perhatian kepadanya, hukumnya disyariatkan dan dibenarkan. Mengingat terwujudnya kemaslahatan yg besar dengan adanya penerapan tingkatan ilmu. Dan tidak masalah jika bentuk semacam ini disebut taqlid.
فإنْ كانَ في مراحِل العلمِ فلهُ بعضُ الحالِ يشبَهُ العامِّيَّ فيأخُذُ حُكمَهُ المذكُورَ آنفًا، ولهُ حالٌ يشبهُ المُجتهِدَ فيأخُذُ حُكمَهُ كذلكَ.
Kaitannya dengan tingkatan ilmu, ulama yg mengkaji madzhab terkadang pada satu keadaan sama dengan orang awam. Sehingga berlaku hukum baginya sebagaimana yg telah disebutkan. Dan terkadang dia berada pada keadaan seperti layaknya mujtahid, sehingga berlaku hukum mujtahid baginya. (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, 394 – 395).
Dari keterangan beliau, kita bisa mengambil kesimpulan
a. Manusia bertingkat-tingkat keilmuannya, ada yg awam, ada yg secara khusus belajar agama, ada yg ulama mujtahid, dan ada yg menjadi mujtahid mutlak.
b. Taqlid yg dilakukan seseorang, sesuai dengan tingkatan ilmunya. Taqlid yg dilakukan orang awam, jelas berbeda dengan taqlid yg dilakukan mereka yg sedang belajar. Demikian pula taqlidnya seorang penuntut ilmu, tentu berbeda dengan taqlidnya ulama di atasnya, dst.
c. Dari tingkatan keilmuan itu pula, ada orang yg taqlidnya mentahan. Dia hanya menerima hasil akhir, tanpa tahu dalilnya sepeserpun. Itulah model taqlid orang awam. Kemudian ada yg taqlid hanya pada bagian metodologi berfikir dan berijtihad, sehingga ketika mendapatkan kasus tertentu, dia bisa gunakan metodologi itu untuk mendapatkan jawabannya. Itulah tingkatan taqlid yg dilakukan ulama yg menisbahkan dirinya kepada madzhab tertentu.
Kemudian, tidak lupa Dr. Abdullah al-Judai memberikan persyaratan ketika seseorang hendak taqlid kepada madzhab tertentu,
أمَّا الانتِسابُ بسببِ التَّلقِّي إلى واحدٍ من هذهِ المذاهبِ، فشرْطُ جوازِهِ أنْ لا يقترِنَ بعصبيَّةٍ
“Adapun menisbahkan diri pada madzhab tertentu, disebabkan dia mengambil banyak ilmu dari salah satu madzhab, hukumnya boleh dengan syarat tidak diiringi dengan ta’asub (taqlid buta).” (Taisir Ilmi Ushul Fiqh, hlm. 395).
Yang dimaksud taqlid buta di sini adalah memegangi semua pendapat madzhab tersebut, tanpa peduli benar dan salahnya.
Adanya madzhab dalam fiqh islam terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Umat islam tidak perlu bermadzhab.
Usaha-usaha umat islam dalam melepaskan diri dari ikatan madzhab ini sudah lama di rintis oleh tokoh2 ulama-ulama yang anti madzhab, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Hazm, Ibnul Qoyyim dan ulama2 lain yg seangkatan dengan mereka. Kemudian semakin populer setelah di kumandangkan oleh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab di Nejed (saudi arabia), Muhammad abduh dan Rasyid Ridha di mesir dan Sayyid Jamaluddin Al-Afgani dari Afganistan.
Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa kemunduran umat islam berabad-abad sehingga menjadi bangsa terjajah adalah karena mereka telah kehilangan kebebasan berfikir dalam menghayati kemurnian ajaran Islam.
Menurut Syekh Muhammad abduh umat islam haram bermadzhab tidak boleh bertaklid kepada imam2 madzhab dan harus berani berijtihad, karena ijtihad itu adalah urusan yg mudah dan tidak seberat seperti yg di gambarkan oleh para ulama2 sebelumnya. Dengan kebebasan berfikir umat islam akan maju dan sanggup menghadapi tantangan dunia modern sebagaiman halnya orang2 barat.
b. Umat Islam wajib bermadzhab.
Kondisi umat di seluruh dunia juga di indonesia dalam penguasaan ilmu2 keislaman sangat berfariasi, baik dilihat dari segi kadar kemampuannya maupun dari subyeknya. Secara global dapat di gambarkan agama islam dianut oleh tiga strata social , diantaranya :
1. Golongan yg berpendidikan rendah
2. Golongan yg berpendidikan menengah
3. Golongan yg berpendidikan tinggi
1. Golongan yg berpendidikan rendah
2. Golongan yg berpendidikan menengah
3. Golongan yg berpendidikan tinggi
Umat islam yg dapat menduduki sebagai pemikir atau intelek masih sedikit jumlahnya dibanding dengan golongan pertama dan kedua. Dengan demikian maka umat islam wajib mengikuti mazhab2 dengan alasan:
1. Nash al-Qur’an
2. Ijma’
3. Rasio
2. Ijma’
3. Rasio
Lantas kenapa paham wahabi disebut paham liberal?
Di antara ciri khas pemikiran kaum liberal adalah menghilangkan otoritas ulama. Menurut kelompok liberal, kita tidak perlu taklid kepada para ulama, mereka tidak/anti madzhab bahkan mengharamkannya sebagaimana apa yg dikatakan Muhammad Abduh diatas. Mereka yg anti madzhab beranggapan bahwa para ulama itu manusia, mereka juga manusia dan sama2 bisa berpikir. Mengikuti pendapat para ulama berarti pengebirian akal yg mereka miliki.
Demikian kaum liberal atau kaum yg tidak/anti madzhab berpikir.
Sementara ciri khas kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama'ah adalah memberikan penghargaan yg tinggi terhadap para ulama serta otoritas penuh dalam penafsiran teks2 keagamaan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
العلماء ورثة اﻻنبياء
"Para ulama itu pewaris para nabi". (HR. Ibn Asakir dan Ibn al-Najjar).
Apabila para ulama berposisi sebagai pewaris para nabi, tentu saja otoritas mereka dalam penafsiran teks2 harus dijunjung tinggi dan diikuti oleh umat Islam. Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ليس منا من لم يعطى لعالمين حقه
"Bukan termasuk golongan kami, orang yg tidak memberikan otoritas terhadap ulama di antara kami". (HR. Ahmad dan al-Hakim dalam al-Mustadrak)
Kesimpulannya, jika saat ini penganut paham wahabi meneriakkan anti syi'ah dan anti liberalisme, maka ketahuilah bahwa mereka yg berpaham wahabi adalah paham liberal yg sesungguhnya. Wallahu a'lam bis-Shawab
Demikian Koordinator Sarkub Jakarta Timur Melaporkan, semoga bermanfa'at. Aamiin
Sumber : Ditulis oleh Dr Asimun Mas'ud, Mkub, Koordinator Sarkub Jakarta Timur
Simak di: http://www.sarkub.com/2015/paham-wahabi-anti-madzhab-adalah-paham-liberal/#ixzz3jPoFyr22
Powered by Menyansoft
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook