(Sumber : Facebook Persatuan Pemuda Pemudi Majelis Rasulullah)
• Pertanyaan:
...
Assalammu’alaikum Wr. Wb.
Habib tolong beri penjelasan mengenai hal ini, karena ini dalil dari orang Salafi untuk berhujjah. Semoga keberkahan ilmu dapat meninggikan derajat Habib di akhirat.
Mungkin banyak dari kalangan pengikut madzhab Syafi’i tidak menyadari bahwa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berdzikir, berdoa dan mengadakan hidangan makanan di rumah si mati atau keluarga si mati bukan saja Imam Syafi’i yang menghukuminya haram dan bid’ah, bahkan banyak para ulama madzhab Syafi’i turut berpendirian seperti Imam Syafi’i. Diantara meraka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam an-Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Katsir, Imam ar-Ramli dan banyak lagi para ulama mu’tabar dari kalangan madzhab Syafi’i, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafi’i rahimahullah:
وَاَكْرَهُ الْمَاْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ.
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, yakni berkumpul di rumah (si mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan).” (Al-Umm Juz 1 halaman 248).
Mengadakan majlis kenduri adalah dengan berkumpul bersama untuk berdzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid’ah yang mungkar oleh Imam Syafi’i rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafi’i:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si mati dan berkumpul bersama di rumah (si mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah.” (Mughni al-Muhtaj Juz 1 halaman 268).
Di dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 146 menyatakan pengharaman kenduri arwah:
وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang mengundang orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuk dalam hal ini berkumpul bersama di rumah keluarga si mati karena terdapat hadits shahih dari Jarir bin Abdullah berkata: “Kami menganggap berkumpul bersam (berkenduri arwah) di rumah si mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan.” (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih).
Fatwa Imam Syafi’i dan para ulama mu’tabar yang bermazhab Syafi’i telah mengharamkan berkumpul bersama dan menyediakan hidangan makanan di rumah si mati untuk tujuan kenduri arwah, tahlilan, yasinan dan menghadiahkan (mengirim) pahala bacaan al-Quran kepada arwah si mati. Mereka berdalilkan al-Quran, hadits dan atsar para sahabat yang shahih sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka melalui tulisan-tulisan di kitab-kitab mereka. Mereka tidak mungkin mengharamkan atau menghalalkan sesuatu berdasar akal fikiran, pendapat atau hawa nafsu mereka semata, pastinya cara mereka mengharamkan semua itu dengan berdalilkan kepada al-Quran, as-Sunnah dan atsar dari para ulama yang bermanhaj Salaf ash-Shaleh.
• Jawaban Habib Mundzir:
‘Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayangNya Swt. semoga selalu tercurah pada hari hari Anda. Saudaraku yang kumuliakan, hal itu merupakan pendapat orang-orang yang kalap dan gerasa-gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yang mau bersedekah pada muslimin?
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
“Dari Aisyah Ra. bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi Saw. seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?” Rasul Saw. menjawab: “Boleh”. (Shahih Muslim hadits no.1004).
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
“Dan dalam hadits ini (hadits riwayat Shahih Muslim di atas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma’ (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa-doa.” (Syarh Imam an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 halaman 90).
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang-orang yang kematian, mereka menjamu tamu-tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Mengenai makan di rumah duka, sungguh Rasul Saw. telah melakukannya. Dijelaskan dalam Tuhfat al-Ahwadziy:
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“Hadits riwayat Ashim bin Kulaib Ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki Anshar, berkata: “Kami keluar bersama Rasul Saw. dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul Saw. memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala. Ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi Saw. untuk bertandang ke rumahnya. Lalu Rasul Saw. menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul Saw. menaruh tangannya di makanan itu. Kami pun menaruh tangan kami di makanan itu lalu kesemuanya pun makan.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah). Demikian pula diriwayatkan dalam al-Misykat di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau Saw. akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum. Dan hal ini merupakan nash yang jelas bahwa Rasulullah Saw. mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau Saw. setelah penguburan dan makan.” (Tuhfat al-Ahwadziy juz 4 halaman 67).
Lalu mana dalilnya yang mengharamkan makan di rumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka pun tak mengharamkan itu:
1. Ucapan Imam an-Nawawi yang Anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu mustahibbah), bukan haram, tapi orang Wahabi mencapnya haram padahal Imam an-Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.
2. Imam Ibnu Hajar al-Haitsamiy menjelaskan:
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“Mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh (bukan haram).”
Semoga Anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang. Yang dilarang (makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
Entahlah para Wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna.
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin al-Hanafiy menjelaskan: “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini: Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yang dikatakan makruh oleh Imam Ibnu Abidin dan beliau tak mengatakannya haram. Inilah dangkalnya pemahaman orang-orang Wahabi yang membuat kebenaran diselewengkan.
4. Imam ad-Dasuqi al-Maliki berkata: “Berkumpulnya orang dalam hidangan makan makanan di rumah mayit hukumnya Bid’ah yang makruh (bukan haram tentunya).” Dan maksudnya pun sama dengan ucapan di atas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
5. Syaikh Nawawi al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul di malam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam-macam, hal ini makruh (bukan haram).
Dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yang dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu-tamu, ini yang ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh. Tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim di atas telah memperbolehkannya bahkan sunnah. Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yang pahalanya untuk mereka sendiri pun maka tak ada pula yang memakruhkannya.
Sebagaimana Rasul Saw. makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila Anda hadir jenazah lalu mereka hidangkan makanan dan Anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yang wafat. Lihat akhlak Rasulullah Saw., beliau tahu bahwa pembuatan makan makanan di rumah duka adalah hal yang memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya. Kenapa? Karena tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah! Itu sunnah Muhammad Saw.
Yang lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram... haram… di rumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan mereka, itulah yang makruh. Dan pelarangan atau pengharaman untuk tak menghidangkan makanan di rumah duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak? bila keluarga Anda wafat lalu Anda melihat orang banyak datang maka Anda tak suguhkan apa-apa? Datang dari luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasiun luar kota datang dengan lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk air pun? Tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.
Selama hal ini ada riwayat Rasul Saw. memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dengan sunnah Nabi Saw., karena hal itu diperbuat oleh Rasul Saw. Namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu haram.
Akhir dari jawaban saya adalah: Semestinya orang yang berhati suci dan menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada keluarga duka bila ada yang wafat di wilayahnya. Namun sebagian dari kita ini bukan menghibur mereka yang kematian, malah mengangkat suara dengan fatwa caci maki kepada muslimin yang ditimpa duka agar jangan memberi makan apa-apa untuk tamunya, mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka tembok pula pada tamu-tamunya tanpa menyuguhkan apapun.
Lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yang berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit. Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara-saudara kita, mereka ribut mengharamkan hal-hal yang makruh dan melupakan hal-hal yang haram, yaitu menyakiti hati orang yang ditimpa duka.
Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu. Maaf saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada Anda, namun pada mereka.
Mengenai ucapan Imam an-Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi haram. Entah karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua-duanya. Demikian saudaraku yang kumuliakan. Wallahu a’lam.
• Pertanyaan lanjutan serta bantahan dari Wahabi:
Assalammu’alaikum Wr. Wb.
Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Mundzir ditinggikan derajatnya di surga, Aamiin.
Habib, saya ini diistilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek ketika meminta bantuan. Daripada itu apa yang diutarakan oleh Habib di atas ternyata sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab:
Habib: Mengenai makan di rumah duka, sungguh Rasul Saw. telah melakukannya. Dijelaskan dalam Tuhfat al-Ahwadziy:
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“Hadits riwayat Ashim bin Kulaib Ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki Anshar, berkata: “Kami keluar bersama Rasul Saw. dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul Saw. memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala. Ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi Saw. untuk bertandang ke rumahnya. Lalu Rasul Saw. menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul Saw. menaruh tangannya di makanan itu. Kami pun menaruh tangan kami di makanan itu lalu kesemuanya pun makan.” (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah). Demikian pula diriwayatkan dalam al-Misykat di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau Saw. akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum. Dan hal ini merupakan nash yang jelas bahwa Rasulullah Saw. mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau Saw. setelah penguburan dan makan.” (Tuhfat al-Ahwadziy juz 4 halaman 67).
Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di no. 3332:
حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfat al-Ahwadziy tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam nukilan Pak Habib ditulis dengan imra-atihi yang berarti istrinya/perempuan dari kalangan keluarga si mayit; sedangkan lafadz asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis imra-ah yang berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita menggunakan nukilan lafadz Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau bahkan disyari’atkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadz asli di Sunan Abi Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata imra-ah saja):
“Kami keluar bersama Rasul Saw. dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul Saw. memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala. Ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi Saw. untuk bertandang ke rumahnya. Lalu Rasul Saw. menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul Saw. menaruh tangannya di makanan itu. Kami pun menaruh tangan kami di makanan itu lalu kesemuanya pun makan.” [selesai].
Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang mengundang makan. Perhatikan itu!! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan, maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu Dawud. Lafadznya adalah sebagaimana ana bawakan.
Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit. Jarir bin Abdillah al-Bajaly Ra., ia berkata:
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para sahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ahmad no. 6905 dan Ibnu Majah no. 1612).
Dari Thalhah Ra., ia berkata:
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
“Jarir mendatangi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit?” Jarir menjawab: “Tidak.” Umar berkata: “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya?” Jarir menjawab: “Ya.” Umar berkata: “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Abi Syaibah juz 2 halaman 487).
Dari Sa’id bin Jubair Ra., ia berkata:
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah: An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit.” (HR. Abdurrazzaq juz 3 halaman 550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadz yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah Saw. bersabda:
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur: Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah).” (HR. Muslim no. 67).
Tolong riwayat-riwayat ini sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya. Atau malah belum pernah membacanya?
Habib: Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka pun tak mengharamkan itu: 1. Ucapan Imam an-Nawawi yang Anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu mustahibbah), bukan haram, tapi orang Wahabi mencapnya haram padahal Imam an-Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.
Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadz aslinya:
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juz 5 halaman 186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
Habib: 2. Imam Ibnu Hajar al-Haitsamiy menjelaskan: “Mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh (bukan haram).” Semoga Anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang. Yang dilarang (makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
Abu Al-Jauza: Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas!!
Perkataan [وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه ] sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui: “Membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.” Padahal artinya secara jelas adalah: “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat.” Tidak ada pengkhususan “harus banyak” dan “meramaikan rumah”. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya makna tahrim (bermakna haram).
Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak ilmiah sama sekali… Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata makruh dalam syari’at itu dapat bermakna haram. Tolong dibuka mushafnya dalam QS. al-Israa’ banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram. Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung-itung hemat energi.
Habib, di bawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya, tetapi sama bermanhajkan Salaf:
KENDURI ARWAH
Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, di hari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si mati. Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafi’i rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan madzhab Syafi’i telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.
Di dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 146, tercatat pengharaman Imam Syafi’i rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْر
“Dan dilarang (dicegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan.”
Imam Syafi’i dan jumhur ulama-ulama besar madzhab Syafi’i, dengan berlandaskan kepada hadits-hadits shahih, mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si mati adalah tentangga, kerabat si mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga si mati) sebagaimana fatwa Imam Syafi’i:
وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.
“Aku suka kalau tetangga si mati atau kerabat si mati menyediakan makanan untuk keluarga si mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah.”
Fatwa Imam Syafi’i di atas ini adalah berdasarkan hadits shahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)
“Abdullah bin Ja’far berkata: “Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi Saw. bersabda: “Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan).” Dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Hakim.”
Menurut fatwa Imam Syafi’i, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si mati, terutama jika si mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar. Tentunya tidak dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram.
Telah dinyatakan juga di dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 146:
وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ
“Imam Syafi’i berkata lagi: “Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si mati karena ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah.”
Seterusnya di dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 146-147, Imam Syafi’i rahimahullah berfatwa lagi:
وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ
“Dan diantara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul bersama melalui upacara (kenduri arwah) di hari keempat puluh (empat pulu harinya) padahal semuanya ini adalah haram.”
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan bersama) di hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun kematian dan seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafi’i. Oleh itu, mereka yang mengaku bermadzhab Syafi’i seharusnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini mematuhi wasiat imam yang agung ini.
Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 145-146, Mufti yang bermadzhab Syafi’i, al-‘Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafi’i yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .
“Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram.”
Kenduri arwah atau lebih dikenal sebagai majelis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di kuburan terutama di hari haul. Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, dicegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ
“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul di rumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar.” (Lihat I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 145).
Di dalam kitab Hasyiyat al-Qulyubiy juz 1 halaman 353 atau di kitab Hasyiyatan Qulyubiy ‘Amirah juz 1 halaman 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: “Diantara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab ar-Raudah yaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si mati, baik sebelum atau sesudah kematian. Termasuk (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si mati atau harta yang masih dalam hutangan atau semacamnya.”
Di dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah juz 1 halaman 539, dijelaskan:
وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ .
“Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga ke kuburan atau menyediakan makanan kepada orang yang datang berkumpul untuk takziyah.”
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan al-Fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, dzikir dan berdoa bersama yang ditujukan kepada arwah si mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau ranting oleh sebagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi’ (pembuat atau aktivis bid’ah) sehingga amalan ini tidak dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangan dari Imam Syafi’i rahimahullah dan para ulama yang bermadzhab Syafi’i.
Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan sesuai hawa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, karena Allah Swt. telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara’ sebagaimana firmanNya:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. al-An’am ayat 116).
Begitu juga suatu amalan yang diangap ibadah bahkan dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu. Diantara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran banyaknya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, dzikir, doa dan sebagainya, maka karenanya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah.” (QS. al-Jasiyah ayat 18-19).
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dzann mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau banyaknya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan atsar yang shahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara’ sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah.
Memandang polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syar’i (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan Salaf ash-Shaleh yang mu’tabar. Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama dari madzhab Syafi’i karena mereka yang bermadzhab Syafi’i menyangka bahwa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafi’i dan para ulama yang berpegang dengan madzhab Syafi’i.
Insya Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasukl mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenarnya kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahlussunnah wal Jama’ah.
• Tanggapan Habib Mundzir:
Telah dijelaskan di dalam Tuhfat al-Ahwadziy, bahwa dalam al-Misykaat disebutkan dhamir dengan dhamir dhiyafah, maka dalam hal ini shohibul Misykaat mempunyai hujjah pula dalam riwayatnya, tidak bisa kita menafikan hadits begitu saja dengan mengambil satu riwayat dan menghapus yang lainnya. Tentang “ijtima’ ila ahlil mayyit” disebutkan:
وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة
“Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi Saw. menerima undangan wanita yang wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada Sunan Abi dawud. Namun bila untuk orang-orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.” (Syarh Sunan Ibn Majah juz 1 halaman 116).
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
“Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru-niru perbuatan jahiliyah.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 215). (Makruh, bukan haram).
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan:
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه
“Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit, mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat ygan jauh, dan menginap di rumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 215). (Di sini hukumnya berubah menjadi mubah karena ada hajat, bukan jamuan untuk mengundang orang banyak).
Nah... inilah kebodohan para Wahabi, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah dan adalah Bid’ah” bisa dirubah jadi haram? Sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dengan makna sunnah secara istilahi, yaitu yutsab ‘ala fi’lihi walaa yu’aqabu ‘ala tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
Di dalam Ushul dijelaskan bahwa mandub, hasan, an-nafl, sunnah, mustahab fiih (mustahibbah) dan muraghghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ‘ala fi’lihi walaa yu’aqabu ‘ala tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
Nah, Imam an-Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yang bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh. Imam an-Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah-payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb. Beliau akan berkata haram muthlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya.
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam an-Nawawi, fahamilah bahwa Bid’ah menurut Imam an-Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. (Lihat dalam Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 6 halaman 164-165).
Maka sebelum mengambil dan menggunting ucapan Imam an-Nawawi, fahami dulu apa maksud bid’ah dalam ta’rif Imam an-Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam an-Nawawi. Bila Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yang mubah dan makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna bid’ah yang mubah atau yang makruh, kecuali bila Imam an-Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (bid’ah yang haram). Namun kenyataannya Imam an-Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara mubah dan makruh.
Untuk ucapan Imam Ibnu Hajar ini pun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah (bid’ah yang tercela yang makruh), karena bid’ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yang padanya terdapat hiasan-hiasan warna-warni membentuk pemandangan atau istan-istana dan burung-burung misalnya, ini adalah bid’ah munkarah yang makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun bid’ah munkarah yang makruh, tidak haram.
Hukum dari mana makruh dibilang haram? Makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ‘alatarkhi walaa yu’aqabu ‘ala fi’lihi (diberi pahala bila ditinggalkan dan tidak berdosa jika dikerjakan). Dan yang dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Dijelaskan bahwa yang dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya. Namun berbeda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibul bait menyuguhi ala kadarnya, bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
Mengenai fatwa Imam Syafi’i di dalam kitab I’anat ath-Thalibin itu wahai saudaraku, yang diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan oleh tulisan Anda sendiri dari ucapan itu karena hal itu “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk kematian.
Nah... adat orang jahiliyah masa lalu mereka menjamu tamu-tamu dengan jamuan besar bila ada yang mati di antara mereka, ada yang menyembelih kerbau, ada yang menyembelih kambing, ada yang menyembelih kerbau di atas kuburan si mayyit. Hal semacam itu yang diharamkan oleh Imam Syafi’i, dan Imam Syafi’i mengatakan makruh apabila keluarga duka membuat hidangan-hidangan (bukan haram).
Yang diharamkan oleh Imam Syafi’i adalah menyembelih kerbau dan perayaan setelah kematian hingga 40 hari. Sebagaimana dijelaskan di dalam al-Mughniy dalam penjelasan saya yaang terdahulu. Bila ia menyiapkan makanan untuk tamu yang datang dari jauh, maka hal itu tentunya diperbolehkan.
Kesimpulannya, selama hal itu berupa suguhan-suguhan ala kadarnya, sekedar kopi dan teh, maka hal itu mubah, dan bila menjadi jamuan makan maka hukumnya makruh, bila dibikin pesta maka hukumnya haram. Namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.
Wahabi ini barangkali pelit saja, saya lebih suka orang yang kematian itu bersedekah, pahalanya untuk mayyit, itu mestinya yang diangkat ke permukaan ummat, umumkan dan buat selebaran dan bagikan ke barat dan timur, bagi mereka yang mau bikin kenduri kematian silakan buat sebanyak-banyaknya makanan, tapi niatkan untuk sedekah dan pahalanya untuk mayyit. Dan setiap tetangga keluarga yang kematian, disarankan mengumpulkan sedekah atau uang untuk keluarga mayyit. Nah... itu kan lebih baik, daripada nakal-nukil gunting-tambal ucapan para imam dan mereka sendiri tidak menganut madzhab Syafi’i.
Kok anti amat sih pada orang berdzikir, masih untung mereka kumpul dzikir, saya sangat mendukung upacara tahlil 3 hari, 7 hari, 40 hari, kalau perlu setiap hari bagi keluarga mayyit, karena di situ ajang dakwah, banyak teman-teman mayyit yang taubat, mereka para narkoba atau koruptor atau preman atau kelompok gelap lainnya, bila hadir di acara tahlilan kematian temannya kulihat mereka nunduk, ada yang menangis, ada yang menyesal, ada yang taubat.
Demi Allah berkali-kali saya hadir di rumah duka tempat pemuda yang mati sebab narkotika, saya datang dan pastilah teman-temannya hadir, maka sudah bisa dipastikan ada beberapa orang temannya yang taubat, mereka gentar melihat temannya sudah dihadiahi surat Yasin, mereka risau mati seperti itu, mereka ingat kematian. Duh... sungguh hal seperti ini mesti dimakmurkan, bukan dimusnahkan, na’udzubillah dari dangkalnya pemahaman tentang maslahat muslimin.
Kini saya ulas dengan kesimpulan:
1. Membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada yang mengatakan haram, namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya makruh.
2. Membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun.
3. Membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari bahwa seorang wanita mengatakan pada Nabi Saw.: “Ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?” Rasul Saw. menjawab: “Betul.” (Shahih Bukhari hadits no.1322).
4. Menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yang datang saat kematian adalah hal yang mubah, bukan makruh, misalnya sekedar teh pahit atau kopi sederhana.
5. Sunnah muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dengan tangan kosong, namun bawalah sesuatu berupa buah atau uang atau makanan.
6. Makan makanan yang dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yang mengharamkanny. Bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul Saw.
• Tanggapan dari pembaca lain:
Assalamu’alaikum ya Sayyidi, ana membaca tulisan-tulisan di atas hanya menjelaskan tentang acara Kenduri Arwah, Tahlilan & Yasinan Menurut Ulama namun tidak menjelaskan satu pun mengenai sampai tidaknya pahala yang dikirimkan kepada si mayit dari bacaan yang dibaca pada acara tersebut. Wassalam.
• Jawaban Habib Mundzir:
‘Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.
Rahmat dan kesucian hari-hari Ramadhan semoga selalu menerangi hari-hari Anda. Saudaraku yang kumuliakan, maaf kalau saya tak memperjelas, sungguh pembahasan ini telah saya jelaskan di forum ini dengan sejelas-jelasnya. Ucapan di atas adalah memperjelas masalah tahlilan yang telah saya ulas di artikel di halaman depan, dan di atas telah disebutkan bahwa hadits-hadits shahih telah memperjelas sampainya pengiriman amal, sedekah, dan para ulama telah sepakat sampainya doa-doa, dan tahlilan itu adalah doa.
Namun jika anda perlu penjelasan lebih gamblang, maka saya tampilkan jawaban saya sebelumnya di website ini sebelum tanya jawab di atas.
Saudaraku yang kumuliakan, pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah Swt. dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit?
Menghadiahkan surat al-Fatihah, atau Yasin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa: “Seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul Saw.”
Dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa: “Seorang sahabat menghajikan untuk ibunya yang telah wafat.” Dan Rasulullah Saw. pun menghadiahkan sembelihan beliau Saw. saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya: “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad.” (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya. Dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz: “Kuhadiahkan”, atau “Wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian ulama Syafi’i mengatakan pahalanya tak sampai. Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayit, tapi berikhtilaf adalah pada lafadznya.
Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalil ghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat: “Dan tiadalah bagi seseorang kecuali apa yg diperbuatnya, maka Ibn Abbas Ra. menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh denga ayat: “Dan orang-orang yang beriman yang diikuti keturunan mereka dengan keimanan.”
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan Adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang-orang lain yang mengirim amal, dzikir dll. untuknya ini jelas-jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah Saw. menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam al-Quran untuk mendoakan orang yang telah wafat: “Wahai Tuhan kami ampunilah dosa-dosa kami dan bagi saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam keimanan.” (QS. al-Hasyr ayat10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun ulama dan imam-imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir? Hanya setan yang tak suka dengan dzikir.
Di dalam acara tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat al-Quran, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum al-Quran dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silakan klik awal ayat, bila Anda ingin ayat ‘adzab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, al-Quran dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya? Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara tahlil (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat)! Tidak di al-Quran, tidak pula di hadits, tidak pula di qaul sahabat, tidak pula di kalam imamul madzahib, hanya mereka saja yang mengada-ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. Justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah? Siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya? Siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah? Muslimkah?
Semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang Hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid-masjid pun adalah adat istiadat gereja. Namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syari’ah maka boleh-boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul Saw. meniru adat Yahudi yang berpuasa pada hari 10 Muharram, bahwa: RASUL Saw. menemukan orang Yahudi puasa di hari 10 Muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa As. Dan Rasul Saw. bersabda: “Kami lebih berhak dari kalian atas Musa As.” Lalu beliau Saw. memerintahkan muslimin agar berpuasa pula.” (Shahih Bukhari hadits no. 3726 dan 3727)
Kita bisa melihat bagaimana para huffadz dan para imam mengirim hadiah pada Rasul Saw.:
a. Berkata al-Imam al-Hafidz al-Muhaddits Ali bin al-Muwaffiq rahimahullah: “Aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah Saw.”
b. Berkata al-Imam al-Hafidz al-Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq ats-Tsaqafi as-Siraaj: “Aku mengikuti Ali bin al-Muwaffiq, aku lakukan 7 kali haji yang pahalanya untuk Rasulullah Saw. dan aku menyembelih qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah Saw., dan aku khatamkan 12.000 kali khatam al-Quran untuk Rasulullah Saw., dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah Saw.” Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313 H.
c. Berkata al-Imam al-Hafidz Abu Ishaq al-Muzakkiy: “Aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7 kali untuk Rasulullah Saw., dan aku mengkhatamkan al-Quran 700 kali khatam untuk Rasulullah Saw.” (Tarikh Baghdad juz 12 halaman 111).
Demikian saudaraku yang kumuliakan. Walillahittaufiq.
• Balasan penanya:
Assalamu’alaikum ya Sayyidi, ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan:
1. Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim juz 1 halaman 90 dan kitab Taklimatul Majmu’ juz 10 halaman 426, membantah bahwa pahala bacaan dan sholat yang digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak salah Imam an-Nawawi ini bermadzhab Syafi’i (koreksi jika ana salah).
2. Al-Haitami dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah juz 2 halaman 9.
3. Imam Muzani dalam Hamisy al-Umm asy-Syafi’i juz 7 halaman 269.
4. Imam al-Khazin dalam tafsirnya al-Khazin, al-Jamal juz 4 halaman 236, lebih jelas mengatakan: “Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi’i bahwa bacaan al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi.”
Dan masih ada beberapa kitab ulama Ahlussunnah yang menjelaskan kurang lebih sama dengan yang ada di atas. Dari pengamatan ana, kalau dilihat betul dari beberapa literatur kaum Ahlussunnahnya para ‘Alawiyin dan Syia’h, bahwa tradisi kaum Ahlusunnahnya para ‘Alawiyin (habaib) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syi’ah (cuman di Syi’ah sahabat yang dianggap mursal dibuang/dicoret dari daftar mereka) daripada dengan mereka yang ada di ke 4 madzhab Sunni. Wassalam.
• Jawaban Habib Mundzir:
Saudaraku yang kumuliakan, saran saya Anda belajarlah dengan guru yang mempunyai sanad yang jelas, mengutip dari sana sini merupakan hal yang menyesatkan. Anda berbicara dengan menukil ucapan orang Wahabi, saya ragu Anda membaca buku-buku itu sendiri, Anda hanya mengambil saja dan barangkali Anda belum pernah melihat buku-buku itu. Kami mengenal siapa Imam an-Nawawi, kami mempunyai sanad kepada Imam an-Nawawi, kami mengenal Imam Syafi’i dan kami mempunyai sanad kepada Imam Syafi’i. Demikian pula pada Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga Imam-imam Muhadditsin lainnya, kami mempunyai sanad ysng bersambung kepada mereka. Kami tidak menukil dan meraba-raba dengan buku-buku terjemah. Pertanyaan Anda sudah pernah saya jawab di web ini. Pertanyaan dari Wahabi, Anda jangan tersinggung dengan jawaban di bawah ini karena merupakan nukilan ulang dari jawaban saya yang lalu, dan saya jawab sebagai berikut:
Tiga hal yang akan saya jawab dari ucapan mereka ini, dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua-duanya, licik bagaikan missionaris Nasrani dan ingin mengembalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah:
1. Ucapan Imam an-Nawawi dalam Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 1 halaman 90 menjelaskan:
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik. Mengenai apa apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan al-Mawardiy al-Bashriy al-Faqiihi asy-Syafi’i mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam Wahabi yang hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini batil secara jelas dan kesalahan yang diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash-nash dari al-Quran dan al-Hadits dan Ijma’ ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafi’i dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh diqadha oleh walinya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya. Maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam madzhab Syafi’i, yang lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di bab puasa insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala al-Quran menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafi’i yang mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan al-Quran, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari pada Bab “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (mengqadha’) shalatnya. Dan dihikayatkan oleh penulis kitab al-Hawiy, bahwa Atha’ bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit.
Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam an-Nawawi dengan ucapan “kalangan kita” maksudnya dari madzhab Syafi’i) yang muta’akhir (di masa Imam an-Nawawi) dalam kitabnya al-Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini (sebagaimana pembahasan di atas). Berkata Imam Abu Muhammad al-Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya at-Tahdzib: “Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu mud untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadits-hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama.
Dan dalil Imam Syafi’i adalah bahwa firman Allah: “Dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri,” dan sabda Nabi Saw.: “Bila wafat keturunan Adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 1 halaman 90).
Maka jelaslah sudah bahwa Imam an-Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai. Tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur.
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai, berarti yang masyhur itu dha’if dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai. Maka dari kesimpulannya Imam an-Nawawi menukil bahwa sebagian ulama Syafi’i mengatakan semua pengiriman amal sampai.
Inilah liciknya orang orang Wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting-gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web-web. Inilah bukti kelicikan mereka. Saya akan buktikan kelicikan mereka:
2. Ucapan Imam Ibnu Katsir:
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما
“Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalannya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (QS. an-Najm ayat 39). Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah Saw. tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (sahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkannya, padahal amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Quran dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.”
Mereka memutusnya sampai di sini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah: “Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada nash-nash yang jelas dari syariah yang menjelaskan keduanya.” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 halaman 259).
Nah... telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa: “Wahai Allah, sampaikanlah apa yang kami baca, dari…. dst, hadiah yang sampai, dan rahmat yang turun, dan keberkahan yang sempurna, kehadirat…” Bukankah ini doa? Maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yang memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam an-Nawawi:
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل
“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma’ (sepakat) para ulama. Demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa-doa dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash-nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim, demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah. Demikian pendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafi’i), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Dan yang masyhur di kalangan madzhab kita bahwa bacaan al-Quran tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya. Dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya.” (Syarh Imam Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 halaman 90).
Dan dijelaskan pula dalam al-Mughniy:
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca al-Quran di kuburan. Dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah Ayat Kursiy, lalu al-Ikhlas 3 kali, lalu katakanlah: “Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur.”
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan al-Quran di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudamah: “Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits)?”
Imam Ahmad menjawab: “Ia tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya).”
Maka berkata Muhammad bin Qudamah: “Sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat al-Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”
Maka berkata Imam Ahmad: “Katakan pada orang yang tadi kularang membaca al-Quran di kuburan agar ia terus membacanya lagi.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 225).
Dan dikatakan dalam Syarh al-Kanz:
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau bacaan al-Quran, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafi’i dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan al-Quran tidak sampai. Namun Imam Ahmad bin Hanbal dan kelompok besar dari para ulama dan kelompok besar dari ulama Syafi’i mengatakann pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar.
Dan dijelaskan dalam Syarh al-Minhaj oleh Ibn an-Nahwiy: “Tidak sampai pahala bacaan al-Quran dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu. Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa. Karena bila dibolehkan doa untuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yang lebih baik, dan ini boleh untuk seluruh amal. Dan doa itu sudah muttafaq ‘alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup, keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat. Dan dalil ini dengan hadits yang sangat banyak.” (Nail al-Authar juz 4 halaman 142).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman bacaan al-Quran tidak sampai. Namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi. Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan: “Allahumma aushil tsawaba ma qara’na minalquranilkarim… dst. (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa-apa yang kami baca, dari al-Quran al-Karim…dst).
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafi’i dan seluruh Imam Ahlussunnah wal Jama’ah tak ada yang mengingkarinya dan tak ada pula yang mengatakannya tak sampai. Dan sungguh hal yang lucu bila kalangan Wahabi ini merancau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni, mereka kena batunya di website MR, he...he...
Jawaban saya yang pertama telah jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yang menghadiahkan pahala bacaan al-Qurannya pada Rasul Saw. dll. Wallahu a’lam.
Pendapat saya, justru Syi’ah yang banyak mencuri cara-cara Imam-imam Ahlul Bait untuk kelicikan mereka. Dan mereka adalah pengkhianat Ahlul Bait, merekalah musuh Ahlul Bait namun mereka berkedok dengan mencintai Ahlul Bait, na’udzubillah dari akidah yang memusuhi Khalifah Abubakar ash-Shiddiq Ra., Khalifah Umar bin Khattab Ra., Khalifah Utsman bin Affan Ra. Mereka yang memusuhi para Khulafaur Rasyidin adalah musuh kaum muslimin, mereka musuh Allah dan RasulNya, dan akan mati dalam su’ul khatimah jika tidak bertaubat. Demikian saudaraku yang kumuliakan. Wallahu a’lam.
Pertanyaan pengirim baru:
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Alhamdulillaahirabbil’aala
Habib Mundzir yang dimuliakan Allah, ana ingin bertanya tentang keterangan Ibnu Abbas Ra. tentang dimansukhkannya ayat: “Dan tiadalah bagi seseorang kecuali apa yang diperbuatnya” dengan ayat: “Dan orang-orang yang beriman yang diikuti keturunan mereka dengan keimanan”.
Mohon Habibana dapat memberikan penjelasan atau syarah dari kitab tafsir, juga hadits dan atsar yang dapat ana gunakan untuk pedoman kaitannya dengan kaum tertentu di zaman ini yang mereka banyak menentang ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya tentang mendoakan dan hadiah pahala bagi orang yang telah meninggal dunia.
Terusterang Bib, ana beberapa hari yang lalu berdebat dengan orang Wahabi yang mengaku Ahlussunnah wal Jama’ah yang bersikukuh dengan pendapatnya bahwa hal mengirim doa dan pahala bagi orang yang telah meninggal (tahlilan) itu bid’ah dhalalah dan pahala yang dikirimkan tidak akan pernah sampai siapapun yang mendoakan. Mereka berpendapat dengan keterangan Imam an-Nawawi dengan pendapat yang masyhur di kalangan ulama, bukan pendapat yang shahih. Kemudian berpendapat bahwa di yaumul hisab nanti setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing, lalu bagaimana dengan kiriman doa dan pahala untuk orang yang meninggal tadi?
Itulah Bib yang jadi pendapat mereka. Ana mohon penjelasannya Bib. Terimakasih sebelumnya ana ucapkan untuk Habibana dan saudara-saudara ana di MR yang akan dan telah membantu ana. Insya Allah semua yang ana ingin lakukan adalah untuk menjaga dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah dakwah dengan akhlaqul karimah wa mau’idzatul hasanah. Insya Allah. Mudah-mudahan kita semua selalu dalam penjagaan Allah Swt. dan juga ridhaNya Swt. Aamiin. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Jawaban Habib Mundzir:
‘Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh.
Rahmat dan kebahagiaan semoga selalu terlimpah pada hari-hari Anda dan keluarga. Saudaraku yang kumuliakan, mengenai ucapan Ibn Abbas Ra. yang mengatakan ayat itu mansukh dijelaskan pada Muharrar al-Wajiiz juz 6 halaman 233.
Jelaslah sudah bahwa Imam an-Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang lebih masyhur adalah yang mengatakan tak sampai, namun yang lebih shahih mengatakannya sampai. Tentunya kita mesti memilih yang lebih shahih, bukan yang lebih masyhur. Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa yang shahih adalah yang mengatakan sampai, walaupun yang masyhur mengatakan tak sampai. Berarti yang masyhur itu dha’if dan yang shahih adalah yang mengatakan sampai. Maka dari kesimpulannya Imam an-Nawawi menukil bahwa sebagian ulama Syafi’i mengatakan semua pengiriman amal sampai.
Ucapan Imam Ibnu Katsir: “Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalannya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (QS. an-Najm ayat 39). Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah Saw. tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (sahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkannya, padahal amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Quran dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat.”
Mereka memutusnya sampai di sini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah: “Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada nash-nash yang jelas dari syariah yang menjelaskan keduanya.” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 halaman 259).
Nah... telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa: “Wahai Allah, sampaikanlah apa yang kami baca, dari…. dst, hadiah yang sampai, dan rahmat yang turun, dan keberkahan yang sempurna, kehadirat…” Bukankah ini doa? Maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yang memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam an-Nawawi: “Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma’ (sepakat) para ulama. Demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa-doa dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash-nash yang teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim, demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yang sunnah. Demikian pendapat yang lebih shahih dalam madzhab kita (Syafi’i), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yang lebih benar adalah yang membolehkannya sebagaimana hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Dan yang masyhur di kalangan madzhab kita bahwa bacaan al-Quran tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya. Dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yang membolehkannya.” (Syarh Imam Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 halaman 90).
Dan dijelaskan pula dalam al-Mughniy: “Tidak ada larangannya membaca al-Quran di kuburan. Dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah Ayat Kursiy, lalu al-Ikhlas 3 kali, lalu katakanlah: “Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur.”
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan al-Quran di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudamah: “Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits)?”
Imam Ahmad menjawab: “Ia tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya).”
Maka berkata Muhammad bin Qudamah: “Sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat al-Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”
Maka berkata Imam Ahmad: “Katakan pada orang yang tadi kularang membaca al-Quran di kuburan agar ia terus membacanya lagi.” (Al-Mughniy juz 2 halaman 225).
Dan dikatakan dalam Syarh al-Kanz: “Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau bacaan al-Quran, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafi’i dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan al-Quran tidak sampai. Namun Imam Ahmad bin Hanbal dan kelompok besar dari para ulama dan kelompok besar dari ulama Syafi’i mengatakann pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar.”
Dan dijelaskan dalam Syarh al-Minhaj oleh Ibn an-Nahwiy: “Tidak sampai pahala bacaan al-Quran dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu. Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa. Karena bila dibolehkan doa untuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yang lebih baik, dan ini boleh untuk seluruh amal. Dan doa itu sudah muttafaq ‘alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup, keluarga dekat atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat. Dan dalil ini dengan hadits yang sangat banyak.” (Nail al-Authar juz 4 halaman 142).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa pengiriman bacaan al-Quran tidak sampai. Namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi. Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan: “Allahumma aushil tsawaba ma qara’na minalquranilkarim… dst. (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa-apa yang kami baca, dari al-Quran al-Karim…dst).
Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga sukses dengan segala cita-cita, semoga dalam kebahagiaan selalu. Wallahu a’lam.
Link asal klik di sini:
• http://
• http://