Ada sebuah hadits :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
َقالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ
أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنْ اللَّهِ فِي حِلٍّ
وَلَا حَرَامٍ
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dalam shalatnya karena ANGKUH / SOMBONG maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya.”(HR. Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dalam shalatnya karena ANGKUH / SOMBONG maka orang itu tidaklah menuju Allah dan juga tidak menjalankan kewajiban-Nya.”(HR. Abu Dawud)
Hadits di atas
menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan menjulurkan pakaian / celananya
melebihi betis untuk kesombongan. Bila hal itu dilakukannya dalam sholat maka
orang tersebut dianggap tidak menjalankan sholat karena Allah. Potongan
terakhir dari hadits di atasfa laisa min Allah fi hillin wa laa haraaminoleh
Imam Nawawi ditafsiri sebagai orang tersebut membebaskan diri dari Allah dan
melepaskan diri dari agama Allah. Sebagian ulama yang lain menafsiri bahwa
orang tersebut tidak mengimani kehalalan dan keharaman (yang ditentukan) Allah.
Lebih jelas baca Faidul QodirJuz 6 halaman 68.
Namun dengan hadits di
atas, kita tidak bisa serta merta menuduh orang yang menjulurkan bajunya ketika
shalat atau dalam keadaan yang lain sebagai orang yang melepaskan dirinya dari
agama Allah, atau menganggap orang itu melanggar larangan Rasulullah. Karena
dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي
يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ
(صحيح البخاري، 3392)
Dari
Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang
memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak
akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar
bertanya, sesungguhnya bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model
seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak
melakukannya karena sombong”(Shahih a-l-Bukhari, 3392)
Hadits
ini harus dilihat dari konteksnya, begitu pula dengan urutan dari sabda Nabi
SAW tersebut. Dengan jelas Nabi SAW menyebutkan kata karena sombong bagi
orang-orang yang memanjangkan bajunya. Hal ini berarti bahwa larangan itu bukan
semata-mata pada model pakaian yang memanjang hingga menyentuh ke tanah, tetapi
sangat terkait dengan sifat sombong yang mengiringinya.
Hadits ini menjelaskan
bahwa keharaman menjulurkan baju/celana/sarung melebihi mata kaki adalah bila
hal itu dilakukan karena kesombongan atau kepongahan seperti bila kita melihat
mempelai pengantin yang bajunya dibuat menjulur hingga beberapa meter. Bila
seseorang menggunakan pakaian/celana/sarung yang panjangnya melebihi mata kaki
bukan karena sombong tetapi lebih ditujukan pada keindahan, maka hal itu
tidaklah haram, bahkan dia menjalankan kesunnahan yang lain. Hal ini diperkuat
oleh hadits riwayat Muslim yang menyatakan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي
قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ
أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Dari Rasulullah
bersabda,”Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi”. Seseorang berkata,”Sesungguhnya ada seseorang yang menyukai
bajunya bagus dan alas kakinya bagus.”Rasulullah menjawab,“Sesungguhnya Allah
itu indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah penyalahgunaan
kebenaran dan meremehkan manusia.”
berkata AL Hafidh Imam
Ibn Hajar mengenai syarah hadits ini : “kesaksian Nabi saw menafikan makruh
perbuatan itu pada ABubakar ra” (Fathul Baari bisyarh shahih Bukhari Bab
Manaqib).
Jelaslah sudah bahwa
perbuatan itu tidak makruh apalagi haram, kecuali jika diperbuat karena
sombong.
Sifat sombong inilah
yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun
model baju yang dikenakan bisa menjadi haram manakala disertai sifat sombong,
merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa. Al-Syaukani
menjelaskan, ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan
pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.” Imam
al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i,
”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi
orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan
berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112) Imam
Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata, ”Memanjangkan pakaian dalam
shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong” (Kasysyaf al-Qina`, juz
I hal 276)
Oleh
karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang.
Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu
Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana
dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas
saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai
baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka
merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang
lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.
Dari
sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak
tepat karena nabi menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara
pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya.
Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua
jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi
ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah
menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah
perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits.
Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian
yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul
Awthar, juz II hal 114)
Dari
sinilah, maka larangan isbal seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana,
tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa
sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal
terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama.
Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat
ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki
namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama
berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.
Wallahu a’lam bishowab
Simak di: http://www.sarkub.com/2011/wajibkah-bercelana-cingkrang/#ixzz2ZHQeMCbY
Salam Aswaja by Tim Menyan United
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook