Istilah 'salaf' artinya adalah sesuatu
yang lampau atau terdahulu. Terjemahan salaf dalam bahasa Indonesia bisa
bermacam-macam, seperti lampau, kuno, konservatif, konvensional, ortodhox,
klasik, antik, dan seterusnya.
Kalau kita lihat dari sisi ilmu hukum dan
syariah, istilah salaf sebenarnya bukan nama yang baku untuk menamakan sebuah
medote istimbath hukum. Istilah salaf hanya menunjukkan keterangan tentang
sebuah kurun waktu di zaman yang sudah lampau.
Kira-kira perbandingannya begini, kalau
kita ingin menyebut skala panjang suatu benda dalam ilmu ukur, maka kita
setidaknya mengenal ada dua metode atau besaran, yaitu centimeter dan inchi. Di
Indonesia biasanya kita menggunakan besaran centimeter, sedangkan di Amerika
sana biasa orang-orang menggunakan ukuran inchi. Nah, tiba-tiba ada orang
menyebutkan bahwa panjangnya meja adalah 20 'masa lalu'.
Lho? Apa maksudnya '20 masa lalu' ?
Apakah istilah 'masa lalu' itu adalah
sebuah besaran atau ukuran dalam mengukur panjang suatu benda? Jawabannya pasti
tidak. Yang kita tahu hanya besaran 20 centimeter atau 20 inchi, tapi kalau '20
masa lalu', tidak ada seorang pun yang mengenal istilah itu.
Ya bisa saja sih segelintir orang
menggunakan istilah besaran 'masa lalu' sebagai besaran untuk mengukur panjang
suatu benda, tetapi yang pasti besaran itu bukan besaran standar yang diakui
dalam dunia ilmu ukur. Jadi kalau kita ke toko material bangunan, lalu kita
bilang mau beli kayu triplek ukuran 20 'masa lalu', pasti penjaga tokonya bingung
dan dahinya berkerut 10 lipatan.
Mazhab Fiqih Yang Empat Adalah Salaf
Sementara kita memperbincangkan bahwa
salaf itu bukan nama sebuah sistem, sebenarnya justru keempat mazhab yang kita
kenal itu hidupnya malah di masa salaf, alias di masa lalu.
Al-Imam Abu Hanifah (80-150 H) lahir
hanya terpaut 70 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalah seorang Abu Hanifah
bukan orang salaf? Al-Imam Malik lahir tahun 93 hijriyah, Al-Imam Asy-Syafi'i
lahir tahun 150 hijriyah dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 hijriyah.
Apakah mereka bukan orang salaf?
Maka kalau ada yang bilang bahwa mazhab
fiqih itu bukan salaf, barangkali dia perlu belajar sejarah Islam terlebih
dahulu. Sebab mazhab yang dibuangnya itu ternyata lahirnya di masa salaf. Justru keempat mazhab fiqih itulah the real salaf.
Sedangkan Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Ibnu Hazm, kalau dilihat
angka tahun lahirnya, mereka juga bukan orang salaf, karena mereka hidup jauh
ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Apalagi Syeikh Bin Baz, Utsaimin
dan Al-Albani, mereka bahkan lebih bukan salaf lagi, tetapi malahan orang-orang
khalaf yang hidup sezaman dengan kita.
Sayangnya, Ibnu Taymiyah, Ibnul Qayyim, apalagi Bin Baz, Utsaimin
termasuk Al-Albani, tak satu pun dari mereka yang punya manhaj, kalau yang kita
maksud dengan manhaj itu adalah arti sistem dan metodologi istimbath hukum yang
baku. Bahasa mudahnya, mereka tidak pernah menciptakan ilmu ushul fiqih. Jadi
mereka cuma bikin fatwa, tetapi tidak ada kaidah, manhaj atau polanya.
Kalau kita ibaratkan komputer, mereka
memang banyak menulis file word, tetapi mereka tidak menciptakan sistem
operasi. Mereka punya banyak fatwa, mungkin ribuan, tetapi semua itu levelnya
cuma fatwa, bukan manhaj apalagi mazhab.
Wahabi Bukan Salaf Tetapi Dzahihiri
Sebenarnya kalau kita perhatikan
metodologi istimbath mereka yang mengaku-ngaku sebagai salaf, sebenarnya metode
mereka itu tidak mengacu kepada masa salaf. Kalau dipikir-pikir, metode
istimbah yang mereka pakai itu lebih cenderung kepada mazhab Dzhahiriyah. Karena
kebanyakan mereka berfatwa hanya dengan menggunakan nash secara Dzhahirnya
saja.
Mereka tidak menggunakan metode istimbath
hukum yang justru sudah baku, seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan,
istishhab, mafhum dan manthuq. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak pandai
tidak mengerti adanya nash yang sudah dinasakh atau sudah dihapus dengan adanya
nash yang lebih baru turunnya.
Mereka juga kurang pandai dalam mengambil
metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam'i) bila ada dalil-dalil
yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan. Lalu
mereka semata-mata cuma pakai pertimbangan mana yang derajat keshahihannya
menurut mereka lebih tinggi. Kemudian nash yang sebenarnya shahih, tapi menurut
mereka kalah shahih pun dibuang.
Padahal setelah dipelajari lebih dalam,
klaim atas keshahihan hadits itu keliru dan kesalahannya sangat fatal. Cuma apa
boleh buat, karena fatwanya sudah terlanjur keluar, ngotot bahwa hadits itu
tidak shahih. Maka digunakanlah metode menshahihan hadits yang aneh bin ajaib
alias keluar dari pakem para ahli hadits sendiri.
Dari metode kritik haditsnya saja sudah
bermasalah, apalagi dalam mengistimbath hukumnya. Semua terjadi karena belum
apa-apa sudah keluar dari pakem yang sudah ada. Seharusnya, yang namanya ulama
itu, belajar dulu yang banyak tentang metode kritik hadits, setelah itu belajar
ilmu ushul agar mengeti dan tahu bagaimana cara melakukan istimbath hukum. Lah
ini belum punya ilmu yang mumpuni, lalu kok tiba-tiba bilang semua orang salah,
yang benar cuma saya seorang. Waduh, minum dimana mabok dimana nih orang...
Wahabi Bukan Salaf Tapi Taklid Kepada Ulama
Dengan Sistem Tebang Pilih
Dan dalam kenyatanyaannya, sebenarnya
yang mereka lakukan pada hakikatnya hanyalah sekedar bertaklid buta kepada tokoh
yang mereka anggap sebagai ulama. Namun sayangnya, ketika mereka bilang ikut
para ulama, ternyata dengan cara tebang pilih. Kalau ada ulama yang sekiranya
punya pendapat cocok dengan 'selera' mereka, maka pendapatnya itu diikuti
bagaikan wahyu yang turun dari langit, sambil mencaci maki semua ulama yang
lain.
Ulama yang pandangannya agak berbeda
dengan pendapat mereka, maka tanpa ampun lagi ulama itupun dicaci maki, bahkan
dikatakan bodoh, tidak mengerti agama, bahlul dan kadang dianggap keluar dari
agama. Padahal ulama yang mereka caci maki itu justru hidupnya di masa salaf,
masa yang mereka bangga-banggakan sebagai masa yang paling suci dan murni. La
haula wala quwwata illa billah.
Jadi mereka sih memang ikut pendapat
ulama, tetapi hanya terbatas pada ulama yang pendapatnya sesuai dengan selera
mereka sendiri saja. Kalau pendapat seorang ulama ternyata tidak sesuai dengan
selera, pendapat ulama itu pun dibuang jauh-jauh.
Lucunya, seringkali dalam beberapa
pendapat, si ulama yang ditaklidi ini ternyata punya pendapat yang tidak sesuai
dengan 'selera' mereka, maka tulisan para ulama ini pun disembunyikan. Kalau
perlu, mereka bisa cetak kitabnya, tetapi materi yang sekiranya kurang sesuai
dengan 'selera' mereka pun bisa dihapus.
Maka kita menemukan begitu banyak kitab
para ulama dicetak dan beredar, tetapi isinya sudah diputar-balik sedemikian
rupa, sehingga seolah-olah penulisnya itu 100% cocok dengan 'selera' mereka.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah kitmanul-haq, atau setidaknya sebuah
pengkhianatan. Dalam istilah ilmu hadits, namanya tadlis.
Sumber : http://www.manhajsalaf.net/