Saat ini kita berada di bulan Sya’ban atau orang jawa menyebutnya dengan bulan Ruwah. Pada bulan ini ada tradisi yang dilestarikan sampai sekarang dan masih dijalankan terutama di daerah pinggiran atau pedesaan. Orang mengenalnya sebagai tradisi Ruwahan atau Arwahan yaitu tradisi yang berkaitan dengan pengiriman kepada arwah orang-orang yang telah meninggal dengan cara dido’akan bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbol rasa terima kasih. Oleh karena itu, jika bulan Ruwah tiba pasar-pasar tradisional akan kebanjiran order untuk selamatan ruwahan, diantaranya beras, bumbu dapur, lauk semuanya laris untuk kebutuhan selamatan Ruwahan.
Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yg hidup kepada orang-orang yang telah mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa:
“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“
(QS. Al Hasyr: 10).
Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.
Dari Ummu Darda’, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata:
“Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim).
Dalam kamus bahasa Indonesia, tradisi berarti suatu adat kebiasaan yang diturunkan oleh nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat sampai sekarang, sesuatu yang dianggap bermakna baik atau luhur sampai dengan saat ini. Nah, demikian pula untuk tradisi Ruwahan. Tradisi ruwahan sebenarnya merupakan tradisi peninggalan nenek moyang kita. Ritualnya sendiri meliputi ritual keliling desa, ritual bersih desa hingga bersih kubur, ritual kenduri, ritual ziarah kubur dan berakhir dengan ritual padusan/mandi. Dalam tradisi tersebut yang diagungkan adalah roh nenek moyang dan para dewa.
Ketika islam pertama kali diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh para wali, tradisi ruwahan ini tetap dipertahankan khususnya nilai-nilai luhur yang sejalan dengan ajaran Islam secara ibadah horizontalnya, namun sudah dibedakan NIAT-nya untuk bukan lagi mengagungkan roh atau dewa, namun semata-mata ibadah karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk ukhuwah, shodaqoh, ziarah kubur, doa anak shaleh, dan sebagainya.
Dalam ajaran para wali songo tradisi ruwahan tersebut telah banyak bergeser ke ajaran Islam dengan pemaknaan tertentu, misalnya
1. Tradisi nyadran (ziarah kubur), dimanifestasikan untuk mengingat kepada datangnya kematian dan memicu kesiapan bekal kita untuk masa hidup setelah kematian tersebut.
2. Tradisi nyadran juga dimanifestasikan sebagai wujud amalan bakti anak yang shaleh kepada orangtuanya, sebagai amal yang tak putus-putus (birul walidain).
3. Bersih desa, lebih menitikberatkan kepada kegotong royongan dan guyub rukunnya warga untuk memelihara lingkungannya (ukhuwah) agar jadi bersih dan lebih indah ketika bulan puasa nantinya. Kebersihan sendiri merupakan salah satu wujud keimanan, bukan?
4. Kenduri dan megengan (kirim2 hantaran makanan; yang di tradisi Aceh harus dengan daging = “meugang”) adalah manifestasi dari paktik do’a bagi semua keluarga sanak saudaranya yang masih hidup dengan saling bersilaturahmi, saling memaafkan dan membantu untuk siap memasuki ibadah puasa dengan rasa yang suci penuh suka cita menjadi kesadaran orang Islam Jawa.
5. Pada acara nyadran bebungaan ditaburkan di atas pusara mereka yang kita cintai, karena itu nyadran juga disebut nyekar (menghantarkan bunga). Indahnya warna-warni bunga dan keharumannya menjadi simbol bagi orang Jawa untuk selalu mengenang semua yang indah dan yang baik dari diri mereka yang telah mendahului.
6. Mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.
6. Mandi untuk mensucikan diri dari hadats besar, sehingga lengkaplah kesiapannya menapaki ibadah puasa nantinya.
Dengan demikian, ritus itu memberikan semangat bagi yg masih hidup untuk terus berlomba-lomba demi kebaikan (fastabiqul khoirat). Bahkan di daerah kota santri di pantura, Tradisi megengan di bulan Ruwah yang bisa jadi berlangsung seminggu sebelum Puasa tidak hanya menciptakan relasi kesalehan sosial di masyarakat Jawa, namun tradisi ini juga menumbuhkan relasi putaran perekonomian. Pasar kaget ruwahan seperti halnya Dugderan di Semarang atau Dhandangan di Kudus, muncul sebagai dampak kebutuhan masyarakat pada waktu itu untuk menyemangati anak-anak dan keluarganya, misalnya untuk membelikan sarung, mukena, jilbab dan peci yang baru, kitab Qur’an yang baru, dan kain-kain untuk mengganti mihrab di surau dan masjid desa, atau agar dapat membeli bahan2 kebutuhan selama awal-awal minggu di bulan puasa. (Masih ingat kan dulu pasar tak setiap hari atau setiap jam buka seperti sekarang?)
Di dalam masyarakat Jawa sendiri setiap tindakannya erat sekali dengan simbol-simbol, dalam rangka untuk lebih memaknai suatu ibadahnya. Sebagai misal dalam tradisi megengan biasanya ada hantaran ke tetangga atau kerabat saudara, isi hantaran tradisi megengan di Jawa ini tidak pernah meninggalkan tiga sajian makanan yakni ketan, kolak, dan apem. Makna dari ketiga makanan itu adalah :
1. Ketan yang lengket merupakan simbol mengeratkan tali silaturahmi,
2. Kolak yang manis bersantan mengajak persaudaraan bisa lebih ‘dewasa’ dan barokah penuh kemanisan, dan
3. Apem berarti jika ada yang salah maka sekiranya bisa saling memaafkan. Apem dari kata afwan minhum (arab) yang berarti kata maaf dari mereka. Bahkan di beberapa tempat yang mayoritas warganya bekerja atau bertempat tinggal di luar daerahnya, di dalam tradisi ruwahan juga mengenal Mudik Ruwahan. Mudiknya orang Jawa untuk ruwahan tak ubahnya sedang mereplika sirah Nabi Muhammad ketika beliau dan para sahabatnya hijrah ke Yatsrib atau Madinah, yakni mudik untuk melakukan tiga hal yang dibangun untuk mengukuhkan iman keislaman yakni mendirikan masjid, pasar, dan mengikat tali persaudaraan.
Nah, begitu kiranya dasar pelaksaan tradisi ruwahan tersebut dalam kaca mata islam. Selama ibadah tersebut berarah horizontal, perbedaan pelaksanaan antara daerah satu dengan lainnya tentu tak layak jika serta merta dituding sebagai penyakit TBC (Takhayul, Bidáh dan Churafat). Ingat kan bahwa kunci dari semua amalan adalah NIATNYA?
Dari ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Beberapa faedah fikih yg bisa ditarik:
1. Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Oleh karenanya, Ibnu Qudamah mengatakan,
لو كلَّفنا الله عملاً بلا نيَّة لكان من تكليف ما لا يُطاق
“Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui. [Kitab Dzammul Muwaswisin karya Ibnu Qudamah, hal. 15].
2. “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud hadits ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala sesuai kadar niatnya. Jika niatannya baik, maka diganjar dengan kebaikan. Sebaliknya, jika niatannya jelek, diganjar pula dengan kejelekan.
3. Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Niat tidak perlu dilafazhkan untuk amalan apa pun berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’). Sebagian ulama Syafi’iyah belakangan menganjurkan melafazhkan niat.
4. Niat ada dua macam: (1) niat amalan, (2) niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut.
Niat amalan ada dua fungsi: (1) membedakan ibadah dan non-ibadah, (2) membedakan ibadah yang satu dan ibadah lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan niat jenis kedua adalah niat tersebut ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas.
5. Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya.
6. Jika manusia dalam keadaan udzur untuk beramal, ia akan tetap diganjar. Karena seandainya ia tidak ada udzur atau halangan, tentu ia akan beramal. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bersafar, maka dicatat baginya amalan seperti ia dalam keadaan mukim dan sehat” (HR. Bukhari no. 2996).
7. Jika berbeda antara yang diucap dengan yg diniatkan dalam hati, maka yang jadi patokan adalah niatan di hati.
8 Masalah niat pada masuk dalam setiap bab fikih karena niat adalah syarat untuk setiap amalan. Sehingga sebagian ulama berkata,
لو صنَّفتُ الأبوابَ ، لجعلتُ حديثَ عمرَ في الأعمالِ بالنِّيَّةِ في كلّ بابٍ
“Seandainya aku menulis berbagai bab, maka aku akan jadikan hadits ‘Umar ini di awal setiap bab.” Inilah perkataan ‘Abdurrahman bin Mahdi sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab Jami’ul wal Hikam.
Oke kalau begitu, kita harus bisa membedakan mana yang termasuk niat (ibadah) ruwahan dan mana tradisi dan budaya (non ibadah) yang hanya menjadi simbol atau kiasan dari sebuat amalan ibadah seperti kue apem, kolak dan ketan yang telah saya sebutkan diatas, dan mari kita sambut Ramadhan dengan suasana yang lebih maju dan modern lagi. Yuk beli ipad atau gadget lain untuk memudahkan menghafal Qur’an, minimal Juz Amma lah. Atau beli Quran yang lengkap dengan terjemah per-kata dan asbabun nuzul dan haditsnya yang sesuai. Hantaran ke tetangga pakai Bebek Goreng pak Slamet, gudheg Yu Jum, atau Kepiting Cak Gundul pun boleh. Yang penting, lillahi taálla.
Demikian Ibnu Mas’ud At-Tamamini menjelaskan dalam kajiannya dan semoga bermanfa’at. Aamiin
والله الموفق الى اقوم الطريق
Sumber : Kontributor Sarkub Kiyai Ibnu Mas’ud At-Tamanmini, MKub
Simak di: http://www.sarkub.com/kajian-tentang-tradisi-ruwahan/#ixzz48tX7iNpc
Powered by Menyansoft Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebookr