Ini Enam Tingkat Keimanan Manusia di Hadapan Allah
Iman kepada Allah merupakan rukun iman pertama. Kepercayaan atas keberadaan Allah, sebagai zat yang melebihi segala makhluk-Nya, mengangkat derajat seseorang yang membuat hatinya lapang karena batin orang yang beriman adalah samudera tak bertepi dan cakrawala tak berbatas. Namun, demikian tingkat keimanan seseorang berbeda-beda.
Syekh M Nawawi Banten menyebut lima tingkat keimanan anak Adam. Ia menjelaskan secara rinci sebagai berikut ini:
مراتب الإيمان خمسة
Artinya, “Derajat keimanan ada lima,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], halaman 9).
Pertama, iman taklid. Keimanan ini didasarkan pada ucapan orang lain (ulama biasanya) tanpa memahami dalilnya. Keimanan orang ini sah-sah saja meski ia terbilang bermaksiat karena meninggalkan upaya pencarian dalil sendiri bila ia termasuk orang yang dalam kategori mampu melakukan pencarian dalil.
Kedua, iman ilmu atau ilmul yaqin. Keimanan ini didasarkan pada pemahaman aqidah berikut dalil-dalilnya.
“Orang dengan kategori keimanan pertama dan kedua terhijab dari zat Allah,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], halaman 9).
Ketiga, iman ‘iyan atau ainul yaqin. Dengan keimanan ini seseorang mengetahui Allah (makrifatullah) dengan jalan pengawasan batin. Dengan keimanan ini, Allah tidak ghaib sekejap pun dari mata batinnya. Bahkan “gerak-gerik” Allah selalu hadir di dalam batinnya seakan ia memandang-Nya. Ini maqam muraqabah.
Keempat, iman haq atau haqqul yaqin. Dengan keimanan ini, seseorang memandang Allah melalui batinnya. Ini yang dibilang oleh para ulama bahwa “arif (orang dengan derajat makrifat) memandang Tuhannya pada segala sesuatu.” Ini maqam musyahadah.
“Orang dengan kategori keimanan ini terhijab dari makhluk Allah,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], halaman 9). Dengan demikian, yang tampak padanya hanya Allah belaka.
Kelima, iman hakikat. Dengan keimanan ini, orang menjadi lenyap karena Allah dan dimabuk oleh cinta kepada-Nya. Ia tidak menyaksikan apapun selain Allah. Bahkan ia sendiri tidak menyaksikan dirinya. Seperti tenggelam di laut, ia tidak melihat adanya pantai. Orang ini berada di maqam fana.
Semua keimanan ini mulia di level mana pun itu. Tetapi memang derajat dari semua keimanan itu berbeda di sisi Allah. Hanya saja, kita sebagai manusia biasa tidak perlu menilai tingkat keimanan orang lain karena semua mendapatkan petunjuk dari sumber yang sama, yaitu Allah.
Keimanan dua kategori pertama dapat diupayakan (wilayah ikhtiar manusia). Oleh karena itu, seseorang wajib mendalami keimanan melalui pencarian dalil dan wajib mempelajari sedapat mungkin sifat-sifat Allah.
Sementara keimanan pada tingkatan berikutnya merupakan laduni, wahbi, atau anugerah ilahi yang tidak bisa diikhtiarkan karena didasarkan pada kehendak Allah.
والواجب على الشخص أحد القسمين الأولين أما الثلاثة الآخر فعلوم ربانية يخص بها من يشاء من عباده
Artinya, “Seseorang wajib berada di dua level pertama. Sedangkan tiga level setelah itu adalah ilmu rabbani [anugerah ilahi] yang Allah berikan secara khusus kepada sejumlah hamba-Nya yang dikehendaki,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah], halaman 9).
Dari lima tingkatan ini, kita menjadi teringat pada keimanan pada maqam baqa sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam-nya. Jadi keimanan seseorang kepada Allah terdapat enam tingkatan.
Keenam, iman pada tingkat maqam baqa. Dengan keimanan ini, seseorang memandang Allah dan makhluk-Nya sekaligus tanpa terkecoh. Dengan keimanan ini, seseorang memandang dua entitas berbeda, yaitu Allah sebagai ujud hakiki dan makhluk-Nya sebagai ujud majazi.
Tingkatan keimanan keenam ini yang disebut juga maqam akmal atau maqam lebih sempurna karena ia tetap menjaga hubungan dengan alam, manusia, hewan, selain menjaga hubungan dengan Allah.
وقد قال أبو بكر الصديق رضي الله عنه لعائشة رضي الله عنها لما نزلت براءتها من الإفك على لسان رسول الله صلى الله عليه و سلم : يا عائشة اشكري رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت : والله لا أشكر إلا الله دلها أبو بكر رضي الله عنه على المقام الأكمل مقام البقاء المقتضي لإثبات الآثار وقد قال الله تعالى أن اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ. وقال صلى الله عليه و سلم لا يشكر الله من لا يشكر الناس. وكانت هي في ذلك الوقت مصطلمة عن شاهدها غائبة عن الآثار فلم تشهد إلا الواحد القهار
Artinya, “Sahabat Abu Bakar al-Ṣiddîq RA memerintahkan Aisyah RA ketika turun ayat pembebasannya dari fitnah melalui lisan Rasulullah, ‘Wahai A‘isyah, sampaikan ucapan terima kasih kepada Rasulullah!” “Demi Allah, aku tidak akan berterima kasih kecuali kepada Allah,’ jawab Aisyah RA. Sahabat Abu Bakar al-Ṣiddîq RA lalu menunjukinya dengan maqam yang lebih sempurna, yaitu maqam baqa yang menuntut ketetapan eksistensi ciptaan-Nya. Allah berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan bersyukurlah kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku tempat kembali,” (Surat Luqman ayat 14), Rasulullah SAW bersabda, “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah kalau tidak berterima kasih kepada orang lain.” Tentu saja ketika itu Siti Aisyah sedang tercabut dari penglihatannya dan lenyap dari ciptaan-Nya sehingga ia hanya menyaksikan Allah yang maha esa dan maha perkasa.”
Kutipan dari Al-Hikam ini menunjukkan tingkatan keimanan keenam, yaitu maqam baqa. Pada maqam ini, seseorang yang semakin tenggelam dalam fana justru bertambah baqa. Semakin mabuk cinta kepada Allah, orang ini semakin sadar. Semakin mengakui keesaan Allah, orang ini bertambah adab kepada makhluk-Nya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)