MELURUSKAN DUSTA WAHABI (FIRANDA) DALAM ARTIKELNYA “ASWAJA SUFI MENIRU-NIRU SYIAH..?? ATAUKAH SEBALIKNYA..??!!” (Part II).
Lanjutan dari bagian pertama. Pada bagian berikut ini, Firanda Andirja banyak mengutip perkataan Khumaini, pemimpin Syiah Imamiyah Iran, lalu menyamakannya dengan kaum Shufi Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal dalam masalah tersebut, Wahabi-lah (atau Firanda Andirja-lah) yang sesat, bukan pendapat Khumaini. Berikut dialognya:
WAHABI: “KETIGA : Ruh seseorang setelah mati maka semakin hebat dan semakin diberi kekuatan oleh Allah dan semakin tinggi kedudukannya. (Kemudian Firanda mengutip perkataan Khumaini dalam Kasyful Asroor hal 56). Lalu Firanda berkata:
Lihatlah bagaimana aqidah Khumaini, ia meyakini bahwa setelah kematian mayat-mayat lebih hebat???
Dalilnya apa ..??!! tidak satu ayatpun…apalagi hadits…, yang ada hanyalah keyakinan kaum ahli filsafat yunani yang tidak beragama, bukan yahudi dan juga bukan nasoro. Itulah landasan pijakan Khumaini !!!”
SUNNI: “Menurut Anda, Ibnu Qayyimil Jauziyyah itu bagaimana?”
WAHABI: “Beliau ulama terkemuka, murid utama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, panutan kami kaum Wahabi.”
SUNNI: “Ibnu Qayyimil Jauziyyah, telah menulis kitab ar-Ruh, dan isinya sama dengan apa yang disampaikan oleh Khumaini di atas, bahwa para nabi dan orang shaleh yang sudah wafat, kemampuannya lebih hebat. Dalam konteks ini Ibn al-Qayyim mengatakan:
فَالرُّوْحُ الْمُطْلَقَةُ مِنْ أَسْرِ الْبَدَنِ وَعَلاَئِقِهِ وَعَوَائِقِهِ مِنَ التَّصَرُّفِ وَالْقُوَّةِ وَالنَّفَاذِ وَالْهِمَّةِ وَسُرْعَةٍ مِنَ الصُّعُوْدِ إِلَى اللهِ وَالتَّعَلُّقِ بِاللهِ مَا لَيْسَ لِلرُّوْحِ الْمَهِيْنَةِ الْمَحْبُوْسَةِ فِيْ عَلاَئِقِ الْبَدَنِ وَعَوَائِقِهِ . . . وَقَدْ تَوَاتَرَتِ الرُّؤْيَا مِنْ أَصْنَافِ بَنِيْ آدَمَ عَلَى فِعْلِ اْلأَرْوَاحِ بَعْدَ مَوْتِهَا مَا لاَ تَقْدِرُ عَلَى مِثْلِهِ حَالَ اتِّصَالِهَا بِالْبَدَنِ مِنْ هَزِيْمَةِ الْجُيُوْشِ الْكَبِيْرَةِ بِالْوَاحِدِ وَاْلاِثْنَيْنِ وَالْعَدَدِ الْقَلِيْلِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَكَمْ قَدْ رُؤِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَمَعَهُ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ فِي الْيَوْمِ قَدْ هَزَمَتْ أَرْوَاحُهُمْ عَسَاكِرَ الْكُفْرِ وَالظُّلْمِ، فَإِذًا بِجُيُوْشِهِمْ مَقْلُوْبَةً مَكْسُوْرَةً مَعَ كَثْرَةِ عَدَدِهِمْ وَعُدَّتِهِمْ، وَضُعْفِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَقِلَّتِهِمْ. (ابن القيم، الروح، ص/171).
“Jiwa yang terlepas dari penjara raga, hubungan dan rintangannya, memiliki aktivitas, kekuatan, pengaruh, semangat dan kecepatan dalam berhubungan dan kebergantungan kepada Allah yang tidak dimiliki oleh jiwa yang hina dan terpenjara oleh hubungan dan rintangan raga… Mimpi-mimpi dari berbagai etnis anak manusia telah mutawatir tentang perbuatan jiwa setelah kematiannya, terhadap perbuatan yang tidak dapat dilakukan ketika ia bersambung dengan raga seperti mengalahkan bala tentara yang besar dengan satu orang, dua orang, jumlah kecil dan sesamanya. Telah sering diimpikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Bakar dan Umar dalam satu hari, jiwa-jiwa mereka mengalahkan bala tentara kafir dan zalim. Sehingga bala tentara mereka lari dan tercerai berai meskipun jumlah dan persenjataan mereka banyak, sedangkan bala tentara kaum beriman lemah dan sedikit”. (Al-Ruh, hal. 171).
Pernyataan Ibnu Qayyimil Jauziyyah tersebut diperkuat oleh oleh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi dalam Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
وَلِلْحَكِيْمِ التِّرْمِذِيِّ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَا شَبَّهْتُ خُرُوْجَ الْمُؤْمِنِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مِثْلَ خُرُوْجِ الصَّبِيِّ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ مِنْ ذَلِكَ الْغَمِّ وَالظُّلُمَةِ إِلَى رَوْحِ الدُّنْيَا، (ذكره محمد بن عبد الوهاب النجدي – مؤسس الفرقة الوهابية – في أحكام تمني الموت، ص/60).
“Diriwayatkan oleh al-Hakim al-Tirmidzi dari sahabat Anas secara marfu’: “Aku tidak mengumpamakan kematian seorang mukmin kecuali seperti anak kecil yang keluar dari perut ibunya yang sempit dan gelap gulita menuju dunia yang luas dan terang.” (Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 60).
WAHABI: “Bandingkanlah aqidah Al-Khumaini ini dengan aqidah kaum sufi. Dimana sebagian kaum sufi melegalkan untuk berdoa kepada wali (bahkan kepada wali yang sudah meninggal) dengan dalih bahwasanya wali telah diberi kekuasaan dengan izin Allah. (Kemudian Firanda mengutip dari kitab Jawaahirul Ma’aani fi Faydi Sayyidi Abil ‘Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi))
Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini ini dengan tokoh sufi zaman sekarang yang sangat digandrungi oleh aswaja Indonesia. Yaitu Muhammad Alwi Al-Maliki, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :
Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini ini dengan tokoh sufi zaman sekarang yang sangat digandrungi oleh aswaja Indonesia. Yaitu Muhammad Alwi Al-Maliki, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :
فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ
“Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta’aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya””
SUNNI: “Menurut Anda, Ibnu Taimiyah itu bagaimana?”
WAHABI: “Beliau Syaikhul Islam, ulama nomor satu sepanjang zaman. Pandangannya tidak pernah keliru, panutan kami kaum wahabi, yang tiada duanya.”
SUNNI: “Ibnu Taimiyah, menulis fatwa dalam kitabnya Majmu’ Fatawa juz 4 hal. 377, isinya mengakui pernyataan Khumaini dan Syaikhul Islam as-Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki, bahwa Allah memberi kekuasaan kepada para wali untuk berkata kun fayakun.
قد جاء في الأثر : { يا عبدي أنا أقول للشيء كن فيكون، أطعني أجعلك تقول للشيء: كن فيكون ، يا عبدي أنا الحي الذي لا يموت، أطعني أجعلك حيا لا تموت … : فهذه غاية ليس وراءها مرمى، كيف لا وهو بالله يسمع وبه يبصر وبه يبطش وبه يمشي…الخ
“Benar-benar datang dalam atsar, (bahwa Allah berfirman): “Wahai hambaku, Aku berkata kepada sesuatu, jadilah kamu maka jadilah ia. Taatlah kamu kepada-Ku, aku akan menjadikamu berkata kepada sesuatu, “Jadilah kamu, maka jadilah ia.” Wahai hambaku, Akulah Yang Maha Hidup yang tidak akan mati. Taatlah kamu kepada-Ku, maka aku jadikan kamu orang yang hidup yang tidak akan mati.” … Ini adalah tujuan puncak yang tidak ada lagi sesudahnya. Bagaimana tidak, ia mendengar dengan pertolongan Allah, melihat, menangkap dan berjalan hanya dengan pertolongan Allah.”
WAHABI: “KEEMPAT : Meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan
Al-Khumaini berkata :
“Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran” (Kasyful Asroor hal 65).
Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi’ah berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii’ di kota Madinah.
Aqidah ini juga tersebar di kalangan sebagian aswaja yang berebut-rebutan mengambili pasir dari kuburan Gus….!!!!
SUNNI: “Bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh, bukan ajaran Syiah, akan tetapi ajaran Islam, sebelum datangnya aliran Wahabi. Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:
حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).
“Hukum membawa tanah makam untuk tabaruk.
Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).
Nah, sekarang saya bertanya kepada Anda. Kumpulan fatwa Lajnah Daimah yang dipimpin oleh Syaikh Ibnu Baz, mengikuti madzhab apa?”
WAHABI: “Ya jelas, mengikuti madzhab Hanbali.”
SUNNI: “Anda harus tahu, bahwa bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh, dan membaca al-Qur’an di kuburan, itu tradisi madzhab Hanbali. Ibnu Abi Ya’la al-Hanbali, ketika menulis biografi al-Imam al-Syarif Abu Ja’far, berkata dalam Thabaqat al-Hanabilah, juz 2 hal. 240:
وحفر له بجنب قبر امامنا أحمد فدفن فيه وأخذ الناس من تراب قبره الكثير تبركا به ولزم الناس قبره ليلا ونهارا مدة طويلة ويقرؤون ختمات ويكثرون الدعاء ولقد بلغني أنه ختم على قبره في مدة الوف الختمات.
“Al-Syarif Abu Ja’far digalikan makam disamping makam Imam Ahmad, dan dimakamkan di sana. Masyarakat banyak mengambil tanah kuburannya dengan tujuan tabaruk. Mereka menunggui makamnya siang dan malam dalam waktu yang lama, dan membacakan banyak khataman al-Qur’an dan memperbanyak doa. Dan benar-benar telah sampai kepadaku, bahwa di makamnya telah dikhatamkan ribuan kali khataman al-Qur’an.”
Informasi Ibnu Abi Ya’la di atas memberikan kesimpulan, bahwa bertabaruk dengan tanah kuburan orang shaleh, adalah tradisi kaum madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia. Karena hal tersebut, termasuk tradisi Islam sejak masa silam, sebelum datangnya Wahabi.
WAHABI: “KELIMA : Aqidah Syia’h : meminta syafaat kepada mayat. (Lalu Firanda mengutip perkataan Khumaini dalam Kasyful Asror. Lalu Firanda tidak mampu membantah tulisan Khumaini secara ilmiah).
Dari pernyataan Al-Khumaini ini jelas bagi kita bahwa meminta syafaat kepada mayat merupakan aqidah orang syi’ah…. Ternyata aqidah ini sangat laris di kalangan kaum sufi !!!
SUNNI: “Meminta syafaat atau beristighatsah dengan nabi atau orang shaleh yang sudah wafat, bukan ajaran Syiah, akan tetapi ajaran Islam sejak masa sahabat dan ajaran ahli hadits. Terdapat sekian banyak bukti tentang hal ini wahai Wahabi. Antara lain, tiga orang hafizh dan muhaddits terkemuka pada masanya yaitu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani (260-360 H/874-971 M) pengarang al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausath, al-Mu’jam al-Shaghir dan lain-lain, al-Hafizh Abu al-Syaikh al-Ashbihani (274-369 H/897-979 M) pengarang Kitab al-Tsawab dan al-Hafizh Abu Bakar bin al-Muqri’ al-Ashbihani (273-381 H/896-991 M) melakukan tawassul dan istighatsah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kisah berikut:
قَالَ اْلإِمَامُ أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ الْمُقْرِئِ: كُنْتُ أَنَا وَالطَّبَرَانِيُّ وَأَبُو الشَّيْخِ فِيْ حَرَمِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَكُنَّا عَلَى حَالَةٍ وَأَثَّرَ فِيْنَا الْجُوْعُ وَوَاصَلْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ، فَلَمَّا كَانَ وَقْتُ الْعِشَاءِ حَضَرْتُ قَبْرَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْجُوْعَ الْجُوْعَ، وَانْصَرَفْتُ. فَقَالَ لِيْ أَبُو الْقَاسِمِ: اِجْلِسْ إِمَّا أَنْ يَكُوْنَ الرِّزْقُ أَوْ الْمَوْتُ، قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: فَنِمْتُ أَنَا وَأَبُو الشَّيْخِ وَالطَّبَرَانِيُّ جَالِسٌ يَنْظُرُ فِيْ شَيْءٍ فَحَضَرَ فِي الْبَابِ عَلَوِيٌّ فَدَقَّ فَفَتَحْنَا لَهُ فَإِذًا مَعَهُ غُلاَمَانِ مَعَ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَنْبِيْلٌ فِيْ شَيْءٍ كَثِيْرٍ، فَجَلَسْنَا وَأَكَلْنَا، قَالَ الْعَلَوِيُّ: يَا قَوْمُ أَشَكَوْتُمْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَحْمِلَ بِشَيْءٍ إِلَيْكُمْ. رواه الحافظ ابن الجوزي في الوفا بأحوال المصطفى (ص/818)، والحافظ الذهبي في تذكرة الحفاظ (3/973) وتاريخ الإسلام (ص/2808).
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, kami lapar, kami lapar”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki ‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ? Aku bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa (hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805).
Perhatikan wahai Wahabi, kitab-kitab di atas, semuanya kitab Sunni, bukan kitab Syiah.”
WAHABI: “KEENAM : Berdoa kepada Nabi atau Imam agar Allah mengampuni dosa merupakan aqidah Syi’ah.”
SUNNI: “Anda berbohong wahai Wahabi. Beristighatsah dan bertasyaffu’ dengan Nabi yang sudah wafat atau wali, agar dosa kita diampuni oleh Allah, adalah ajaran Islam Sunni, sebelum datangnya ajaran Wahabi. Al-Hafizh Ibnu Katsir (beliau Sunni, bukan Syiah wahai Wahabi), ketika menafsirkan ayat 64 Surah al-Nisa’ berkata:
يُرْشِدُ تَعَالَى الْعُصَاةَ وَالْمُذْنِبِيْنَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانُ أَنْ يَأْتُوْا إِلَى الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم فَيَسْتَغْفِرُوْا اللهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوْا ذَلكَ تَابَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُمْ . . . وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: السَّلامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ سَمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُ (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً) وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًا لِذَنْبِيْ مُسْتَشْفِعًا بِكَ إِلَى رَبِّيْ ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُوْلُ:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَاْلأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَـاكِنُهُ فِيْهِ الْعَـفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
ثُمَّ انْصَرَفَ اْلأَعْرَابِيُّ فَغَلَبَتْنِيْ عَيْنِيْ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي النَّوْمِ فَقَالَ يَا عُتْبِيُّ اِلْحَقِ اْلأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ انتهى، ذكره الحافظ ابن كثير في تفسيره (1/492) والحافظ النووي في الإيضاح (ص/498)، والإمام ابن قدامة المقدسي الحنبلي في المغني (3/556)، وأبو الفرج ابن قدامة في الشرح الكبير (3/495)، والشيخ منصور البهوتي الحنبلي في كشاف القناع (5/30).
“Allah SWT memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat maksiat dan berbuat dosa, apabila di antara mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan supaya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meminta ampun kepada Allah di sisinya dan memohon kepada beliau agar memohonkan ampun untuk mereka, karena apabila mereka melakukan hal itu, maka Allah akan mengabulkan taubatnya, mengasihinya dan mengampuninya. Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata: “Aku duduk di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,kemudian datang seorang a’rabi dan berkata: “Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman: “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64). Aku datang kepadamu dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian ia mengucapkan syair:
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Kemudian a’rabi itu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau berkata: “Wahai ‘Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan berita gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”. (Al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/492).
Kisah al-‘Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Nawawi dalam al-Idhah fi Manasik al-Hajj (hal. 498), Ibn Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam al-Mughni (3/556), Abu al-Faraj Ibn Qudamah dalam al-Syarh al-Kabir (3/495), al-Syaikh al-Buhuti dalam Kasysyaf al-Qina’ (5/30) dan lain-lain. Mereka semuanya ulama Sunni, bukan Syiah.
Perhatikan wahai Wahabi, anjuran dan kisah di atas ditulis dalam kitab-kitab Sunni, bukan kitab Syiah. Wallahu a’lam.
Wassalam
Muhammad Idrus Ramli