Fatwa-Fatwa Ulama Tentang Tarawih 20 Rakaat
1. Fatwa Syaikh Jalaluddin al-Suyuthi
(al-Hawi lil Fatawa II/13. Tema: al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih)
Segala puji bagi Allah. Semoga kedamaian selalu dilimpahkan kepada para hamba pilihan-Nya. Wa ba’du:
Saya telah ditanya berkali-kali tentang apakah Nabi Muhammad Saw melakukan salat tarawih sebanyak 20 rakaat seperti yang ada saat ini? Saya akan menjawab dengan penuh kemantapan dalam masalah ini.
Menurut pendapat saya (al-Suyuthi),
yang pertama, hadis-hadis yang bernilai sahih, hasan atau dlaif kesemuanya menganjurkan untuk melakukan ibadah di malam bulan Ramadlan tanpa menyebut bilangan rakaatnya. Tidak ada penjelasan dari hadis sahih yang menyatakan Rasulullah Saw salat sebanyak 20 rakaat, beliau hanya salat beberapa malam saja tanpa menyebut bilangan rakaatnya, kemudian pada malam yang keempat beliau tidak datang ke masjid karena khawatir salat tersebut dianggap wajib, sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya.
Sebagian ulama ada yang menggunakan sebuah hadis sebagai penguat bilangan tarawih 20 rakaat, sementara hadis tersebut tidak layak untuk dijadikan dalil. Hadis tersebut akan saya tampilkan dan saya jelaskan kedlaifannya. Hadis tersebut adalah:
رَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ فِي مُصَنَّفِهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيْدُ أَنْبَأَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ مِقْسَمٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.
“Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw salat di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat, dan (ditambah) salat witir.”
(Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya (No. Hadis 7692), juga oleh Abd bin Hamid dalam musnadnya (No. Hadis 653), juga oleh al-Baghawi dalam kitab al-Mu’jamnya, juga oleh al-Thabrani (al-Mu’jam al-Kabir No. Hadis 11934 dan al-Ausath No. Hadis 5440), kesemuanya dari jalur Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman).
Saya (al-Suyuthi) berpendapat bahwa hadis ini sangat lemah dan tidak dapat dijadikan dalil. Al-Dzahabi berkata dalam kitab Mizan al-I’tidal: Ibrahim bin Utsman dinilai dusta oleh Syu’bah, Yahya bin Ma’in menilainya: Dia bukan orang yang bisa dipercaya, Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai perawi yang dlaif, Imam Bukhari berkata: Ulama mendiamkannya, al-Nasa’i berkata: Dia hadisnya ditinggalkan. Al-Dzahabi dan al-Muzani menilai sebuah hadis dari Ibrahim bin Utsman yang menyatakan bahwa ‘Rasulullah Saw melakukan salat 20 rakaat di luar jamaah’ sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, jika seorang perawi sudah disepakati penilaiannya sebagai perawi dlaif oleh para ulama, maka perawi tadi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Yang kedua, telah termaktub dalam sahih al-Bukhari bahwa Aisyah ditanya mengenai ibadah malam yang dilakukan oleh Rasulullah selama Ramadlan, Aisyah menjawab:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
‘Nabi Saw tidak pernah menambah dari bilangan 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’ (HR al-Bukhari No. Hadis 2013 dan 3569).
Yang ketiga, telah termaktub pula dalam kitab sahih al-Bukhari dari Umar bin Khattab, beliau berkata: ‘Salat Tarawih ini adalah sebaik-baiknya bid’ah, dan salat yang dilakukan setelah tidur hukumnya lebih utama.’ (HR al-Bukhari No. Hadis 2010).
Sayidina Umar menyebut salat Tarawih ini dengan ‘bid’ah’ dikarenakan tata cara salat Tarawih secara berjamaah di masjid dengan satu imam tidak dilakukan di masa Rasulullah Saw. Para ulama termasuk Imam Syafi’i dan ‘Izzuddin bin Abd al-Salam membagi bid’ah menjadi 5 macam, yaitu bid’ah wajib, haram, mubah, sunah dan makruh, sedangkan salat tarawih tersebut masuk kategori bi’dah yang sunah.
Dalam kitab Manaqib al-Syafi’i (biografi Imam Syafi’i), al-Baihaqi berkata: Sesuatu yang baru ada dua macam. Pertama, sesuatu tersebut bertentangan dengan al-Quran, al-Hadis, atsar sahabat, atau ijma’ (konsensus) ulama, inilah yang disebut bid’ah yang menyesatkan. Kedua, sesuatu yang baru namun memiliki nilai kebaikan, ini adalah bid’ah yang tidak tercela. Oleh sebab itu, Sayidina Umar menyebut salat Tarawih sebagai bid’ah.
Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya (No. Hadis 4801) dengan sanad yang sahih bahwa:
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ
فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً
‘Diriwayatkan dari Saib bin Yazid (seorang sahabat Rasul), ia berkata bahwa umat Islam di masa Umar bim Khattab melaksanakan ibadah malam di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat’.
Yang keempat, para ulama berbeda pendapat mengenai bilangan rakaat salat Tarawih. Seandainya bilangan rakaat Tarawih telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka tidak akan terjadi perbedaan pendapat sebagaimana Nabi Saw. menjelaskan bilangan rakaat salat witir, salat sunah Rawatib dan sebagainya. Menurut riwayat Aswad bin Yazid jumlah rakaat Tarawih adalah 40 rakaat. Sementara menurut Imam Malik jumlah Tarawih adalah 36 rakaat selain salat witir. Hal ini didasarkan pada riwayat Nafi’:
أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يَقُوْمُوْنَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً يُوْتِرُوْنَ مِنْهَا بِثَلَاثٍ.
‘Saya menjumpai umat Islam melakukan ibadah malam di bulan Ramadlan sebanyak 39 rakaat, dan yang 3 rakaat adalah salat witir.’
Yang kelima, disunahkan bagi penduduk Madinah untuk melakukan salat Tarawih sebanyak 36 rakaat, untuk menyamai pahala penduduk Makkah. Bagi umat Islam yang melakukan Tarawih di Makkah, mereka bisa melakukan Tawaf setiap selesai 2 kali salam sekaligus dapat melakukan salat sunah Tawaf 2 rakaat. Kemudian umat Islam yang berada di Madinah ingin mendapatkan pahala yang sama dengan yang ada di Makkah, maka mereka mengganti posisi setiap Tawaf dengan 4 rakaat salat (sehingga mereka menambah 16 rakaat, yang secara keseluruhan menjadi 36 rakaat). Dan seandainya bilangan salat Tarawih ditentukan dalam sebuah hadis, maka sudah pasti penduduk Madinah tidak akan menambah rakaat Tarawih menjadi 36 rakaat. Padahal masyarakat di Madinah saat itu adalah orang-orang menjauhkan diri dari hal-hal yang terlarang (wira’i).
Siapapun yang telah menelaah kitab-kitab madzhab, khususnya kitab Syarh al-Muhadzdzab (al-Majmu’ karya Imam al-Nawawi), menganalisa alasan-alasan yang terdapat dalam salat Tarawih, seperti tentang bacaannya, waktu pelaksanaannya, dan kesunahan melakukan Tarawih secara berjamaah, maka ia akan memperoleh ilmu yang mantap bahwa seandainya ada sebuah hadis marfu’ tentang Tarawih tentu akan dipakai sebagai dalil Tarawih. Inilah jawaban saya mengenai salat Tarawih, Wallahu A’lam.
2. Fatwa Ulama al-Azhar Kairo, Mesir
(Juz I hal. 48. Fatwa dikeluarkan pada 8 September 1955)
Mufti: Syaikh Hasan Ma’mun
Pertanyaan:
Berapakah bilangan rakaat salat Tarawih, dan manakah yang lebih utama antara membaca al-Quran atau membaca pujian bagi para khalifah di setiap sela-sela duduk istirahat 4 kali rakaat?
Jawaban:
Sebagaimana termaktub dalam kitab sahih al-Bukhari dan Muslim, Aisyah berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
‘Nabi Saw tidak pernah menambah dari bilangan 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau bulan lainnya’
Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa “Rasulullah Saw salat di bulan Ramadlan sebanyak 20 rakaat selain salat witir” adalah hadis dlaif. Adapun penetapan 20 rakaat salat Tarawih adalah berdasarkan konsensus para sahabat di masa Sayidina Umar. Sementara alasan yang dikemukakan bahwa tidak ada dalil sahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. melakukan salat Tarawih 20 rakaat, tidak bisa dijadikan sebagai penghalang untuk meniadakan hukum sunah melakukan Tarawih 20 rakaat. Sebab Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk mengikuti Khulafa’ al-Rasyidin, sebagaimana dalam sabdanya:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِىْ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
‘Berpeganglah dengan sunahku dan sunah Khulafa al-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku, berpeganglah dengan sangat erat’
(HR Turmudzi No. 2891, Abu Daud No. 4609, Ibnu Majah No. 44, dan Ahmad No. 17608 dari ‘Irbadl bin Sariyah)
Rasulullah Saw juga bersabda:
سَتُحْدَثُ بَعْدِىْ أَشْيَاءُ فَأَحَبُّهَا إِلَىَّ أَنْ تَلْزَمُوْا مَا أَحْدَثَ عُمَرُ
‘Akan ada banyak hal-hal yang baru sesudahku, dan yang paling saya senangi untuk kalian ikuti adalah hal-hal baru yang dilakukan oleh Umar’
(HR. Abu Nuaim dalam kitab Ma’rifah al-Shahabah No. 4968 dan Ibnu ‘Asakir, 44/280 dari ‘Arzab al-Kindy)
Diriwayatkan dari Abu Yusuf (santri Abu Hanifah): “Saya bertanya kepada Abu Hanifah tentang salat Tarawih dan yang dilakukan oleh Umar. Abu Hanifah menjawab: Tarawih hukumnya adalah sunah muakkad. Umar tidaklah melakukannya berdasarkan inisiatifnya sendiri, dia tidak melakukan perbuatan bid’ah dalam salat Tarawih ini. Umar tidak akan memberi perintah (kepada Ubay bin Ka’b untuk menjadi imam salat Tarawih 20 rakaat) kecuali berdasarkan sebuah dalil yang dia ketahui dari Rasulullah Saw.”
Selama kita diperintah untuk mengikuti hal-hal baru yang diperbuat oleh para khalifah, khususnya Sayidina Umar, maka salat Tarawih 20 rakaat hukumnya adalah sunah. Dalam hal ini seolah yang memberi perintah adalah Rasulullah, bahkan menurut ulama Ushul Fiqih yang disebut dengan ‘sunah’ adalah setiap hal yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, atau salah seorang dari sahabat Rasulullah. Sebab Ijma (konsensus) ulama merupakan bagian dari dalil agama yang harus dipegang.
Kesimpulannya, Tarawih 20 rakaat adalah sunah Rasulullah Saw. Siapa yang mengatakan bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunah perbuatan Umar, maka pendapat ini ditolak dengan argument di atas. Sebagaimana yang termaktub dalam Fatawa al-Hindiyah, bahwa Tarawih 20 rakaat adalah sunah Rasulullah Saw. Ada juga yang mengatakan sebagai sunah Umar. Dan yang kuat adalah pendapat yang pertama. Ini adalah kesimpulan yang dikutip dari mayoritas ulama Hanafiyah.
Hal yang wajib dipahami bahwa salat Tarawih tidak wajib, agama adalah mudah dan Allah tidak memberikan beban kepada makhluknya kecuali memberikan keleluasaan. ‘Kemudahan’ dari syariat menuntut kepada umat Islam untuk tidak terjerumus ke dalam perselisihan yang mengarah pada sikap merasa ‘paling benar’ dan perilaku keras yang meningkat ke arah keyakinan dan iman. Dengan demikian siapapun yang mampu melakukan salat Tarawih 20 rakaat maka dia telah melakukan hal yang sempurna dan telah melakukan ibadah dengan mendapatkan pahala yang sempurna. Barangsiapa yang tidak mampu melakukan 20 rakaat maka dia boleh melakukan salat Tarawih sesuai kesanggupannya, ia juga akan mendapatkan pahala tetapi tidak secara sempurna, namun orang tersebut tidak menginggalkan hal-hal yang wajib dalam agama.
Dan disunahkan untuk duduk sejenak setiap selesai 4 rakaat, begitu pula antara Tarawih dan Witir. Inilah tatacara yang telah dilakukan oleh ulama salaf sebagaimana salat yang dilaksanakan oleh Ubay bin Ka’b. diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa kata ‘Tarawih’ diambil dari kata istirahat yang dilakukan di sela-sela antara 4 rakaat Tarawih. Hal yang disunahkan adalah berdiam diri diantara sela-sela rakaat salat, dan tidak ada riwayat dari ulama salaf tentang apa saja yang dibaca di waktu senggang tersebut. Umat Islam di masing-masing negaranya memilih bacaan yang sesuai dengan ‘tradisi’ mereka, ada yang membaca al-Quran, tasbih, salat 4 rakaat sendiri-sendiri, tahlil, takbir, ada juga yang sekedar menunggu tanpa membaca sesuatu.
(Majmu’ al-Fatawa V/163, Fashl Salat al-Khauf)
وَأَمَّا قُنُوتُ الْوِتْرِ فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ : قِيلَ : لَا يُسْتَحَبُّ بِحَالِ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَتَ فِي الْوِتْرِ . وَقِيلَ : بَلْ يُسْتَحَبُّ فِي جَمِيعِ السَّنَةِ كَمَا يُنْقَلُ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَغَيْرِهِ ؛ وَلِأَنَّ فِي السُّنَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - دُعَاءً يَدْعُو بِهِ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ وَقِيلَ : بَلْ يَقْنُتُ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ رَمَضَانَ . كَمَا كَانَ أبي بْنُ كَعْبٍ يَفْعَلُ . وَحَقِيقَةُ الْأَمْرِ أَنَّ قُنُوتَ الْوِتْرِ مِنْ جِنْسِ الدُّعَاءِ السَّائِغِ فِي الصَّلَاةِ مَنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . كَمَا يُخَيَّرُ الرَّجُلُ أَنْ يُوتِرَ بِثَلَاثِ أَوْ خَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَكَمَا يُخَيَّرُ إذَا أَوْتَرَ بِثَلَاثِ إنْ شَاءَ فَصَلَ وَإِنْ شَاءَ وَصَلَ . وَكَذَلِكَ يُخَيَّرُ فِي دُعَاءِ الْقُنُوتِ إنْ شَاءَ فَعَلَهُ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَهُ وَإِذَا صَلَّى بِهِمْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَإِنْ قَنَتَ فِي جَمِيعِ الشَّهْرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ قَنَتَ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ فَقَدْ أَحْسَنَ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ بِحَالِ فَقَدْ أَحْسَنَ . كَمَا أَنَّ نَفْسَ قِيَامِ رَمَضَانَ لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ فَإِذَا كَانَتْ هَذِهِ السَّعَةُ فِي نَفْسِ عَدَدِ الْقِيَامِ فَكَيْفَ الظَّنُّ بِزِيَادَةِ الْقِيَامِ لِأَجْلِ دُعَاءِ الْقُنُوتِ أَوْ تَرْكِهِ كُلُّ ذَلِكَ سَائِغٌ حَسَنٌ . وَقَدْ يَنْشَطُ الرَّجُلُ فَيَكُونُ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ تَطْوِيلَ الْعِبَادَةِ وَقَدْ لَا يَنْشَطُ فَيَكُونُ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِ تَخْفِيفَهَا . وَكَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَدِلَةً . إذَا أَطَالَ الْقِيَامَ أَطَالَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ وَإِذَا خَفَّفَ الْقِيَامَ خَفَّفَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ هَكَذَا كَانَ يَفْعَلُ فِي الْمَكْتُوبَاتِ وَقِيَامِ اللَّيْلِ وَصَلَاةِ الْكُسُوفِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .
“Mengenai doa Qunut dalam salat witir, ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama mengatakan hukumnya tidak sunah, karena tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw melakukan Qunut saat salat witir. Pendapat kedua mengatakan sunah melakukan Qunut dalam salat witir, sebagaimana yang dikutip dari sahabat Ibnu Mas’ud dan lainnya, juga dikarenakan Rasulullah Saw telah mengajarkan doa Qunut dalam salat witir kepada Hasan bin Ali, sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan hadis. Pendapat ketiga mengatakan (disunahkan) Qunut saat separuh kedua dari bulan Ramadlan, sebagaimana dikutip dari Ubay bin Ka’b. Esensi permasalahannya, Qunut dalam salat witir tergolong sebuah doa yang boleh dilakukan dalam salat, siapa yang berkenan boleh melakukannya, dan yang tidak berkenan boleh meninggalkannya, sebagaimana seseorang diberi pilihan untuk melakukan salat witir sebanyak 3, 5, atau 7 rakaat, begitu pula diberi pilihan apakah ia memisah atau menyambung rakaat akhir dari salat witir dengan salam. Dengan demikian, ketika mereka melakukan salat malam di bulan Ramadlan kemudian mereka membaca doa Qunut satu bulan penuh, maka hal itu baik. Jika membaca doa Qunut sejak pertengahan bulan Ramadlan, maka hal itu juga baik. Begitu pula jika sama sekali tidak membaca doa Qunut.
Sebab, Rasulullah Saw tidak pernah menjelaskan bilangan tertentu dalam salatQiyamu Ramadlan, hanya saja Rasulullah tidak pernah menambah dari 11 rakaat, baik di bulan Ramadlan atau yang lain, tetapi Rasulullah melakukannya dengan bilangan rakaat yang lama. Ketika Umar mengumpulkan umat Islam dengan menunjuk Ubay bin Ka’b sebagai imam mereka, maka ia melakukannya dengan 20 rakaat yang dilanjutkan dengan salat witir 3 rakaat. Dan ubay melaksanakannya tidak dengan memanjangkan bacaan salatnya, karena yang demikian lebih meringankan kepada makmum daripada memanjangkan 1 rakaat. Diantara segolongan ulama salaf ada yang melakukan Qiyamu Ramadlan sebanyak 40 rakaat, ditambah salat witir 3 rakaat. Ulama yang lain ada yang melakukannya sebanyak 36 rakaat, ditambah salat witir 3 rakaat.
Hal yang utama (dalam melakukan salat Qiyamu Ramadlan) adalah dengan mempertimbangkan para jamaah. Jika mereka sanggup berdiri lama, maka sebaiknya melakukan Qiyamu Ramadlan 10 rakaat sebagaimana yang dilakukan oleh Raulullah baik di bulan Ramadlan atau yang lainnya. Jika tidak mampu melakukannya, maka yang lebih utama adalah 20 rakaat, dan salat inilah yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam, karena 20 rakaat adalah bilangan yang tengah-tengah antara 20 dan 40. jika mereka melakukan 40 rakaat atau yang lain, maka hukumnya boleh dan sama sekali tidak makruh. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama seperti oleh Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Barangsiapa yang mengira bahwa salat Qiyamu Ramadlan meliliki bilangan tertentu dari Rasulullah Saw yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, maka itu adalah anggapan yang salah. Kalau dalam bilangan rakaatnya saja dapat ditolerir, maka bagaimana jika menambah bilangan rakaat untuk melakukan doa Qunut atau meninggalkannya, tentu kesemuanya itu hukumnya boleh dan baik. Terkadang seseorang memiliki semangat yang kuat, maka sebaiknya ia melakukan ibadah yang lama. Namun terkadang ia kurang semangatnya, maka yang utama baginya adalah ibadah yang ringan (tidak panjang). Rasulullah Saw melakukan ibadah salat secara ideal, yaitu ketika Rasul memanjangkan rakaatnya, maka rukuk dan sujudnya juga demikian. Dan ketika beliau meringankan rakaatnya, maka rukuk dan sujudnya juga tidak lama. Dengan cara inilah Rasulullah melakukan ibadah salat wajib lima waktu, salat malam, salat gerhana, dan sebagainya.”
Resume Penulis
Salat Tarawih merupakan salat sunah yang dilaksanakan di bulan Ramadlan. Salat ini tidak dijelaskan secara kongkrit bilangan rakaat dalam riwayat-riwayat hadis, kalaupun ada riwayat tersebut masih diperdebatkan oleh para ulama baik mengenai kesahihan hadisnya maupun arah penggunaan hadisnya yang tidak mengarah pada dalil Tarawih. Diantara alasan mengapa tidak ada kejelasan rakaat dikarenakan kekhawatiran Rasulullah Saw. pada persepsi umat yang menganggap bahwa ibadah malam di bulan Ramadlan adalah wajib, sehingga mereka tidak mampu melaksanakannya.
Dari sinilah kemudian muncul konsensus ulama, bahwa penetapan rakaat Tarawih ini berdasarkan ijma’ para sahabat, dalam hal ini adalah instruksi Sayidina Umar bin Khattab kepada Ubay bin Ka’b untuk melaksanakan Tarawih 20 rakaat. Dan sudah pasti apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar ini tidak bertentangan dengan sunah Rasulullah Saw, terlebih lagi perintah Sayidina Umar ini diikuti oleh para sahabat Rasul yang lain. Seandainya saja apa yang diperintahkan oleh Sayidina Umar ini ‘keliru’, maka pasti para sahabat Rasul yang lain akan menentangnya.
Sebagai penutup, kami cantumkan riwayat al-Baihaqi mengenai komentar Imam Syafii tentang salat Tarawih dalam kitabnya Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar (IV/205):
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَأَحَبُّ إِلَيَّ إِذَا كَانُوْا جَمَاعَةً أْنْ يُصَلُّوْا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَيُوْتِرُوْنَ بِثَلَاثٍ. قَالَ وَرَأَيْتُ النَّاسَ يَقُوْمُوْنَ بِالْمَدِيْنَةِ تِسْعًا وَثَلَاثِيْنَ رَكْعَةً ، وَأَحَبُّ إِلَيَّ عِشْرُوْنَ وَكَذَلِكَ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَذَلِكَ يَقُوْمُوْنَ بِمَكَّةَ
‘al-Syafi’i berkata: Saya lebih senang jika mereka berjamaah untuk salat sebanyak 20 rakaat, dan witir sebanyak 3 rakaat. Saya menemukan umat Islam di Madinah salat malam di bulan Ramadlan sebanyak 39 rakaat, tetapi saya lebih senang yang 20 rakaat sebagaimana yang diriwayatkan dari Umar. 20 rakaat juga dilaksanakan oleh umat Islam di Makkah’.
Muhammad Ma’ruf Khozin
Ketua Lembaga Bahtsul Masail PCNU Surabaya