Home » » BOLEH & DI ANJURKAN MENAMBAH SAYYIDINA KEPADA NABI MUHAMMAD SAW

BOLEH & DI ANJURKAN MENAMBAH SAYYIDINA KEPADA NABI MUHAMMAD SAW

Written By Rudi Yanto on Jumat, 14 Agustus 2015 | 8/14/2015

Lafaz Sayyidina ada di Abraj Al bait - Makkah (Arab Saudi)
Lafaz Sayyidina ada di Abraj Al bait – Makkah (Arab Saudi)

Pada acara pembukaan Muktamar Muhammadiyah yang berlangsung di Makassar, 3-7 Agustus 2015 lalu, terjadi kegaduhan yang membuat kita isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka meneriaki seorang Pembawa Acara (MC) yang mengucapkan lafadz “Sayyidina Muhammad”.
Seperti diberitakan, peserta Muktamar berteriak. Situasi sempat gaduh lantaran mereka saling bicara satu sama lain. Padahal di panggung utama sudah hadir Presiden RI, H Joko Widodo.
Bahkan beberapa tokoh mereka saat diwawancarai tentang ucapan Sayyidina tersebut jawabannya kurang memuaskan. Nampaknya mereka tidak terbiasa dengan ucapan yang  mempunyai arti penghormatan atas Kanjeng Nabi Muhammad tersebut.
Saya ingin menjelaskan kebolehan mengucapkan lafadz “Sayyidina” kepada Nabi Muhammad SAW. Kita harus tahu apa arti kalimat Sayyid, dijelaskan dalam kitab “Ghoytsus Sahabah” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah halaman 39, dijelaskan bahwa:
“Kata Sayyid jika dimaknai secara mutlak, maka yang dimaksud adalah Allah. Akan tetapi jika dikehendaki makna lain maka bisa bermakna:
1. Orang yang diikuti di kaumnya.
2. Orang yang banyak pengikutnya.
3. Orang yang mulia di antara relasinya.”
Sementara pada halaman 37 disebutkan: “Orang yang memimpin selainnya dengan berbagai kegiatan dan menunjukkan tinggi pangkatnya”.
Sedangkan di dalam Kitab “Ghoyatul Muna” halaman 32, Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah menyebutkan: “Sayyid ialah orang yang memimpin kaumnya atau yang banyak pengikutnya.”
Dan masih banyak lagi makna lainnya. Dari sini kita mulai bisa mengerti makna beberapa Hadits yang ada lafadz Sayyid, misalnya:
-ﺍﻧﻬﻤﺎ ﺳﻴﺪﺍ ﺷﺒﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ
“Hasan dan Husein adalah pemimpin pemuda Ahli Surga”
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﻭﻟﺪ ﺍﺩﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻓﺨﺮ
“Aku adalah pemimpin anak adam pada hari kiamat”
-ﺍﻧﺎ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
“Aku adalah pemimpin alam”
-ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ; ﻗﻮﻣﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﺳﻴﺪﻛﻢ
Pada hadits ini Khottobi berkomentar tidak apa-apa mengatakan Sayyid untuk memuliakan seseorang, akan tetapi makruh jika dikatakan pada orang tercela.Sementara dalam Kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dalam catatan kaki halaman 4 nomor 2, dikatakan bahwa: “Memutlakkan kata Sayyid pada selain Allah itu boleh”.
Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: “Disunnahkan mengucapkan Sayyid karena Ziyadah Ikhbar Waqi’ itu menunjukkan tatakrama dan itu lebih baik dari meninggalkannya”.
Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab “Ghoyatul Muna” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah dijelaskan pada halaman 32:
“Adapun hadits yang mengatakan “Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam Shalat”, Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya, adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ ﻻ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang Arab.”
Sementara dalam Kitab “Maqosid Hasanah” halaman 463 dikatakan:
“Hadits ini merupakan Hadits Maudlu’ (palsu), itu tanggapan Al-Hafidzb As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya dan salah dalam lafadznya.”
Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab “Zadul Labib” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah juz 1 halaman 9:
“Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah secara mutlak, maka pahamilah dan diteliti betul”.
Jika anda masih mempertanyakan mengapa dalam Shalawat Ibrahimiyah pada Tahiyyat ditambah Sayyidina dan pada Tasyahhud tidak ada Sayyidina? Saya jawab: Mengatakan Sayyidina ini bertujuan memuliakan beliau. Dan perlu diingat memuliakan dan tatakrama itu lebih baik dari pada mengikuti perintah seperti Sayyidina Ali yang enggan menghapus kalimat “Rasulullah” dan berkata:
“Aku tak akan menghapusmu selamanya”. Pada saat itu Rasulullah tidak menyalahkan Sayyidina Ali. Begitu juga Hadits Dlohhak dari Ibnu Abbas, bahwa dulu orang menyebut “Ya Muhammad”, “Ya Abal Qosim”, lalu Allah melarang demi memuliakan beliau.
Sementara jika yang anda permasalahkan dari ayat الله الصمد ; اي بمعنى
سيد maka jawaban saya dari Kitab “Ibanatul Ahkam” juz 1 halaman 346:
“Bahwa kalimat Sayyid itu memiliki dua makna: Yang pertama tiada satupun yang mengungguli, dialah yang dituju manusia dalam segala hajat dan keinginan mereka. Sementara makna kedua yaitu yg tidak memiliki pencernaan yang mana ia tidak makan dan tidak minum”.
Sementara dalam Syahadat, Ulama dalam memberikan penghormatan beragam dan jika tidak ada kata Sayyid-nya pastilah ada kata pujian lain pada kata sebelum dan sesudahnya. Itu terbukti setelah kata Muhammad dalam Syahadat ada kata pemuliaannya yaitu gelar “Utusan Allah”, disanding dengan lafadz Allah yang sekaligus pencipta alam semesta. Bukankah Allah tidak akan menyandingkan namanya kecuali dengan kekasihnya? Dalam Kaidah Fiqih sangat mashur sekali:
مراعة الأدب خير من الإتباع”.
“Menjaga tatakrama lebih utama dari ittiba’ (melaksanakan perintah)”.
KH. Muhyidin Abdusshomad Juga dengan gamblang menerangkan hukum mengucap sayyidina sebagai berikut:
Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:
الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).
Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:
“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits ‘saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.’ Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)
Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.
Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.
Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan   سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ  , Sehingga tidak bisa dikatakan  لَاتُسَيِّدُوْنِي
Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.
Source: ngaji.web.id
Share this article :
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative