Home » » Tadarus Al-Qur'an Bid'ah???

Tadarus Al-Qur'an Bid'ah???

Written By Rudi Yanto on Jumat, 17 Juni 2016 | 6/17/2016

Disadur dari :https://generasisalaf.wordpress.com/2016/06/07/tadarusan-bidah/
Persis di awal-awal bulan Ramadan seperti ini. Beberapa tahun lalu. Suatu diskusi berlangsung sangat hangat di kelas daurah atau short course yang diselenggarakan oleh Universitas Umm Al-Qura Mekah.
Peserta diskusi adalah dosen-dosen dari berbagai universitas Islam di Indonesia. Narasumbernya saat itu adalah guru besar bidang fikih pada kampus yang tak jauh dari Masjidilharam tersebut. Karena pesertanya juga para dosen, sang guru besar tentulah bukan orang sembarangan. Dia bahkan tercatat banyak berkecimpung dalam kegiatan perfatwaan di Mekah, terutama Masjidilharam, yang memang banyak melibatkan dosen-dosen Umm Al-Qura, termasuk para imamnya.
Apa yang membuat diskusi saat itu menghangat dan menarik perhatian semua yang hadir? Ternyata topik yang dibicarakan adalah persoalan tadarusa yang kebetulan ditanyakan oleh salah seorang dosen dari Kalimantan. Mulanya diskusi biasa-biasa saja. Namun, setelah dosen pengasuh salah satu pesantren terbesar di Kalimantan itu menanyakan hukum tadarusan, suasana sedikit lebih menghangat.
Mendengar pertanyaan itu, sang guru besar fikih ini spontan menyebut bahwa hukum tadarusan itu bidah. Nah, jawaban sang guru besar inilah yang kemudian memunculkan respons dari dosen-dosen yang menganggap aneh jawaban itu, termasuk kami salah satunya.
Kami sempat bertanya, “Ya Syekh, di manakah letak bidahnya? Kami menganggap tidak ada varian ibadah baru dalam tadarusan. Tadarusan yang dilakukan di Indonesia adalah bagian dari cara belajar Alquran selama bulan Ramadan. Waktunya bisa setelah tarawih, bisa setelah salat dhuha, bisa setelah salat zuhur, atau bisa juga setelah salat asar.”
“Dalam tadarusan, jamaah yang sudah lancar bacaan Alquran plus tajwidnya, membimbing dan mengoreksi jamaah yang belum lancar baca Alquran. Mohon dijelaskan kepada kami letak bidahnya di mana?” lanjut kami bersemangat saat itu.
Mendengar respons kami tersebut, rupanya sang guru besar tersebut agak terkejut. Beliau tidak menyangka kegiatan yang sudah dinilainya bidah itu ternyata tak sesederhana yang dijelaskan oleh sang penanya. Setelah terdiam beberapa saat, beliau kemudian menanggapi apa yang kami sampaikan.
“Kalau begitu (tadarus) bukan bidah,” tanggapnya. Tanggapan sang syekh inilah yang kemudian membuat dosen-dosen yang mengikuti kelas itu bergemuruh. Kami yang berada di ruangan itu kontan cukup kaget bahwa hukum bidah pada tadarusan itu dalam sekejap berubah menjadi tidak bidah, setelah beliau mendengar penjelasan lebih detail mengenai tadarusan dari kami.
Namun, kami justru menilai di situlah letak kedalaman pengetahuan sang guru besar. Beliau justru menunjukkan pemahaman beliau yang baik bahwa dalam kaidah Ushul Fiqh-nya memang disebutkan semua hukum itu tergantung pada ada dan tidaknya alasan yang mendasarinya (al-hukm yadur ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman).
Inilah yang kemudian menguatkan pandangan kami bahwa semakin dalam pengetahuan seseorang justru membuatnya tidak kaku dalam melihat sesuatu, terutama dalam kaitan memberi pandangan hukum.
Dosen-dosen Universitas Umm Al-Qura Mekah yang menjadi narasumber pada kegiatan itu, nyatanya semua mau menerima argumen yang berbeda dengan yang mereka sampaikan. Mereka tidak berpretensi memonopoli kebenaran dalil yang mereka ajukan. Karena, memang begitulah akhlak akademik semestisnya. Itu pula yang mestinya menjadi akhlak seorang ulama.
Khusus terkait persoalan hukum bidah tadarusan yang kemudian berubah menjadi tidak bidah, kami menjadi ingat pesan almarhum Prof. Dr. K.H. Ali Mustafa Yaqub. “Kita sekarang hidup pada masa di mana orang menghukumi bidah apa yang tidak diketahuinya. Jadi, definisi bidah itu menjadi hukum mengenai apa yang tidak diketahuinya.”
Apa yang disampaikan Pak Kiai tersebut berkaitan waktu itu dengan adanya orang yang mengkhukumi bacaan Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas sebanyak 7 kali setelah salat Jumat, yang dianggapnya bidah. Padahal, menurut Pak Kiai, ada hadis sahih mengenai hal itu.
Atas dasar itu pulalah, ketika ditanya mengenai pandangan kami terkait bersalaman setelah salat maktubah, kami menganggapnya bukan bidah, selama tidak menganggap bersalaman itu bagian dari salat. Apalagi memang ada hadis sahih mengenai fadhilah bersalaman setiap kali bertemu sesama Muslim.
Dalil Amaliyah Tadarus Di Bulan Ramadlan 
Pelaksanaan Tadarus atau mengaji al-Quran di masjid sudah dilaksanakan di masa Sayidina Umar:
“Diriwayatkan dari Abi Ishaq al-Hamdani: Ali bin Abi Thalib keluar di awal Ramadlan, lentera dinyalakan dan kitab Allah di baca di masjid-masjid. Ali berkata: Semoga Allah menerangimu, wahai Umar dalam kuburmu, sebagaimana engkau terangi masjid-masjid Allah dengan al-Quran” (Riwayat Ibnu Syahin)
Hal tersebut berdasarkan hadis:
“Dari Ibn Abbas RA bahwa Rasululah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadhan adalah pada saat malaikat jibril mengunjungi beliau. Malaikat jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan ramadhan, lalu melakukan mudarasah (tadarus) al-Qur‟an bersama Nabi. Rasul SAW ketika dikunjungi malaikat jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad [3358])
Syeikh Nawawi al-Bantani mengatakan:
“Termasuk membaca al-Qur‟an (pada malam Ramadhan) adalah mudarasah (tadarus), yang sering disebut pula dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. (yang seperti ini tetap sunnah) sekalipun apa yang dibaca (orang tersebut) tidak seperti yang dibaca orang pertama.” (Nihayah alZain, 194-195)
Begitu pula:
“(Dan disunatkan) dengan kesunatan yang kokoh (di bulan ramadhan tadarus al-Qur’an), yaitu seseorang membaca al-Qur’an dihadapan orang lain dan orang lain membaca alQur’an dihadapannya, berdasarkan hadits dua kitab shahih (artinya) “Malaikat Jibril menjumpai Nabi SAW pada setiap malam dari bulan ramadhan, lalu tadarus al-Qur’an bersama beliau” (Raudl ath-Thalib).
Tadarus di Malam Hari Dengan Suara Keras
Keutamaan membaca al-Quran di bulan Ramadlan dijelaskan dalam riwayat hadis, sahabat, ulama Salaf dan lainnya. Mengapa biasa dibaca di malam hari?
ﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﻮﺳﻰ، ﻗﺎﻝ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: ” ﺇﻧﻲ ﻷﻋﺮﻑ ﺃﺻﻮاﺕ ﺭﻓﻘﺔ اﻷﺷﻌﺮﻳﻴﻦ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﺣﻴﻦ ﻳﺪﺧﻠﻮﻥ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ، ﻭﺃﻋﺮﻑ ﻣﻨﺎﺯﻟﻬﻢ ﻣﻦ ﺃﺻﻮاﺗﻬﻢ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ، ﻭﺇﻥ ﻛﻨﺖ ﻟﻢ ﺃﺭ ﻣﻨﺎﺯﻟﻬﻢ ﺣﻴﻦ ﻧﺰﻟﻮا ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ . رواه البخاري ومسلم
Nabi shalla Allahu alaihi wa sallama bersabda: “Sungguh aku mengenal suara kelompok Kabilah Asyari dengan bacaan al-Quran di malam hari. Aku tahu tempat mereka dari suara bacaan al-Quran di malam hari, meski aku tak melihat ketika mereka singgah di siang hari” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
ﻭﻓﻴﻪ ﺃﻥ ﺭﻓﻊ اﻟﺼﻮﺕ ﺑﺎﻟﻘﺮﺁﻥ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻣﺴﺘﺤﺴﻦ ﻟﻜﻦ ﻣﺤﻠﻪ ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﺆﺫ ﺃﺣﺪا ﻭﺃﻣﻦ ﻣﻦ اﻟﺮﻳﺎء . فتح الباري
“Hadis ini menjelaskan bahwa mengeraskan bacaan al-Quran di malam hari adalah bagus, namun selama tidak mengganggu orang lain dan jauh dari pamer” (Fath al-Bari, 7/487)
Referensi :
da1da2da3da4



Share this article :
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative