Home » » Bagaimana Lafadz Niat Puasa Ramadhan Yang Benar?

Bagaimana Lafadz Niat Puasa Ramadhan Yang Benar?

Written By Rudi Yanto on Jumat, 12 Juli 2013 | 7/12/2013

Written by  | 11/07/2013 | 1

Doa-Niat-Puasa-Ramadhan“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
Artinya: Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kefardhuan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Taala.
Para ulama telah memberikan tahqiq dhabith (catatan) pada lafadz “Ramadhaani” dalam bacaan niat di atas, untuk dibaca dengan dijarkan/dikasrahkan lantaran kata “Ramadhaani” di sini telah diidhofahkan (disandarkan) dengan kata “haadzihissanati” sebagai mudhaf ilaih. Bagi para pecinta ilmu, tentunya penjelasan ini bukan perkara yang sulit untuk diketahui. 
Dalam ilmu Nahwu, kata “Ramadhani” termasuk salah satu kalimat isim ghairu munsharif (nama yang tidak menerima tanwin). Hal ihwal isim ghairu munsharif menurut pakar ulama Nahwu, jika ia dalam keadaan rafa’ maka ia dirafa’kan dengan dhammah, diwaktu nashab dinashabkan dengan fathah, dan saat dikhafadhkan atau dijarkan dengan fathah, berbeda dengan isim munsharif (yang menerima tanwin), ia dijarkan/dikhafadkan dengan kasrah. Kaidah tersebut berlaku bila kalimat isim ghairu munsharif tidak diidhafahkan kepada kata selanjutnya (mudhaf ilaih). Bila kalimat isim ghairu munsharif diidhafahkan kepada kalimat selanjutnya (mudhaf ilaih) maka gugurlah hukum ke-ghairumunsharifan-nya, dan kalimat tersebut dibaca dengan kasrah.
Sebagaimana Imam Ibn Malik berkata dalam Alfiyyahnya: ”Kalimat isim ghairu munsharif dijarkan dengan fathah, selama ia tidak diidhafahkan atau diiringi dengan alif dan lam.”
Kitab yang terkenal dengan nama Alfiyyah atau sering juga disebut kitab al-Khulâsah. Sebuah kitab nadzam terdiri dari 1000 bait, dan 80 bab. Kitab Alfiyyah ini menampilkan teori-teori nahwiyyah dan ash-Sharfiyyah yang dianggap penting, menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat, tetapi sanggup menghimpun kaidah yang berbeda-beda, sehingga dapat membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya. Kitab hasil karya Muhammad Ibn Abdullah ibn Mâlik al-Andalusiy (600-672 H).
Alfiyyah adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama lain dengan menulis catatan kaki, syarah, dan hasyiyah. Dari sekian banyak ulama yang memberikan komentar terhadap kitab Alfiyyah ini, muncullah Imam ibn Aqil memberikan ulasan dalam kitabnya Syarh Ibn Aqil. Kitab Syarh Ibn Aqil kemudian diberikan tahqiq oleh Syaikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid terdiri dari 2 jilid besar. Syaikh Ahmad ibn Umar al-Asqathiy dengan nama al-Qaul al-Jamil. Dan juga diberikan hasyiyah oleh Syaikh Muhammad al-Khudhariy dengan nama Hasyiyah al-Khudhariy dan Syaikh Ahmad as-Sujaiy dengan nama Hasyiyah Fath al-Jalil.
Disamping itu, ada juga para ulama yang memiliki konsentrasi khusus membahas Syawahid (Syair-sayir yang dijadikan saksi penguat) kitab Syarh Ibn Aqil. Diantara mereka yaitu Syaikh Abdul Mun’im Awadh al-Jurjawiy dan Syaikh Muhammad Qatthah al-Adawiy.
Perkataan Imam ibn Malik di atas dijelaskan oleh Imam Bahauddin Abdullah ibn Aqil (698-769 H) dalam Syarh Ibnu Aqil juz 1 halaman 77 sebagai berikut: “Isim yang tidak menerima tanwin hukumnya dirafa’kan dengan dhammah, contohnya “Jaa-a Ahmadu”, dinashabkan dengan fathah contohnya “Roaitu Ahmada”, dijarkan dengan fathah contohnya “Roaitu bi Ahmada”, fathah disini menggantikan kasrah. Ketentuan ini berlaku apabila kalimat isim yang tidak menerima tanwin tidak diidhafahkan atau diiringi alif dan lam. Jika ia diidhafahkan, maka ia dijarkan dengan kasrah, contohnya “marortu bi Ahmadikum”, begitu juga bila ia dimasukan alif dan lam, contohnya “marortu bi al-Ahmadi”, maka ia dijarkan dengan kasrah (bukan fathah).”
Apa yang penulis paparkan di atas bukan untuk menyalahkan bacaan niat puasa yang telah dilakukan banyak orang, yaitu lafadz Ramadhon yang dibaca fathah pada niat di atas tidak merusak niat puasa seseorang, hanya saja bacaan tersebut dipandang salah menurut para pakar ulama Nahwu (ahli kaidah bahasa Arab). Demikianlah tahqiq para ulama yang penulis dengar langsung dari para guru mulia kami. Penjelasan tersebut, kita akan temukan bila kita membaca langsung kitab-kitab mu’tabar para ulama dalam bab yang menjelaskan niat puasa Ramadhan. (Oleh: H. Rizqi Zulkarnain Al-Batawiy)

Kesimpulannya:
Boleh dan Sah melafalkan niat puasa sbb: 
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaani haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”
atau
“Nawaitu shauma ghodin ‘an adaa-i fardhi syahri Ramadhaana haadzihissanati lillaahi ta’aalaa.”


Simak di: http://www.sarkub.com/2013/bagaimana-lafadz-niat-puasa-ramadhan-yang-benar/#ixzz2Yoz6MY34
Salam Aswaja by Tim Menyan United
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook
Share this article :
 
Contact Support: Twitter | Facebook
Copyright © 2012. AL-MUSABBIHIN - All Rights Reserved
Published by TakadaTapiono Creative