Gerakan
Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad ke-18 dengan
pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya, ini terjadi di antara
kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang dogmatis, intoleran, sangat
literal dan kaku yang diusung kelompok ini telah melahirkan penolakan total
terhadap aliran pemikiran lain sampai ke tingkat yang membabi buta, yakni
doktrin takfiri, yang
menganggap kelompok lainnya sebagai kafir. Atas dasar klaim purifikasi, yaitu
pemurnian ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut versi mereka),
gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum Muslim yang dipandang
tidak sejalan dengan ajarannya. Maka perpecahan di tubuh Islam pun menjadi tak
terelakkan. Peradaban Islam pun menjadi semakin jauh tertinggal karena terlalu
disibukkan dengan persoalan internal yang sudah usang.
I.
Wahhabi Sebagai Sekte Tersendiri
Istilah
Wahhabi tidak diproklamirkan oleh pendiri ataupun pengikutnya, melainkan datang
dari orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari perumus
doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb (1115 H/ 1703 M – 1206 H/
1791 M). Hingga saat ini, Wahhabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang
pahamnya mendominasi berbagai aspek kehidupan di sana.
Pengikut
aliran ini sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah menjadi
stigma yang melahirkan kesan buruk, sehingga mereka lebih memilih istilah al-Muwahhidûn atau Ahl al-Tawhîd, yang
berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun justru nama yang mereka
gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip
tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Menurut Prof. Hamid Algar, tidak
ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid tersebut, sebab gerakan
ini merupakan hasil ijtihad seorang anak manusia yang bisa benar bisa juga
salah. Maka, cukup beralasan dan lazim untuk menyebutnya “Wahhabisme” dan “kaum
Wahhabi”.[1]
Para
pengikut Wahhabi menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata hanya untuk
memurnikan tauhid. Tauhid harus dimurnikan sebab telah bercampur dengan apa
yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Islam yang
sarat beban historis harus dirampingkan dan dibersihkan dengan cara
mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme
merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai mazhab
pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Para pengamat, khususnya non-Muslim,
banyak yang melakukan deskripsi ringkas keliru tentang mereka dengan
menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau konservatif. Padahal sejak
awal, para ulama Sunni sendiri menganggap mereka bukan bagian dari Ahl
al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Hal itu disebabkan karena hampir seluruh
praktik, tradisi, dan kepercayaan yang merupakan bagian integral Islam Sunni,
dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap
sebagai Sunni[2],
hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang sangat
longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang
pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak lebih berarti
“non-Syi’ah”.[3] Karena itulah, penulis menganggap
Wahhabi merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.
II.
Perjalanan Wahhabisme dalam Sejarah
Pendiri
gerakan Wahhabi, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, berasal dari keluarga klan Tamim yang menganut
mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama
bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum
menjadi mubaligh, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang
motifnya tidak begitu jelas[4].
Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum (Iran),
Afghanistan serta India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi. Setelah
berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin
yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya
dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni ataupun Syi’ah.
Sebagian
peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan murni.
Mereka mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan tersebut. Salah satunya
adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang
professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam makalahnya yang berjudul “Britain and the Rise of Wahhabism
and the House of Saud”[5], ia
mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk
Hempher.
Dalam
“Confession of a British
Spy”[6],
demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi
Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk
menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher
yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil melakukan brainwash terhadap Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu
telah menyimpang dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah
manusia terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.
Tentang
kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang yang
tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh.[7]
Jika
memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan Wahhabisme sejak
awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh kolonial Inggris. Namun
karena adanya sebagian peneliti yang meragukan memoar tersebut dengan menunjukkan
beberapa kejanggalan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme
pada awalnya memang merupakan gerakan keagamaan. Meskipun pada perkembangan
berikutnya, adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.
Untuk
menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini, penulis membagi
perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:
Periode
Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahhabi-Saudi
Huraymilah
terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur jazirah Arab. Di sinilah
dakwah Ibnu ‘Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari pengembaraannya.
Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari masyarakat setempat, termasuk
dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada
periode ini, Ibnu ‘Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil sederhana yang
diberi judul Kitâb al-Tawhîd,
sebuah rujukan yang miskin bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada
penjelasan yang menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang
kitab ini, simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih
menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari
judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits tanpa diberi komentar,
yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
……
Adalah
lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain
Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan seorang pelajar.
……
Tampaknya
para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd
Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.[8]
Setelah
empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat kelahirannya,
‘Uyaynah, yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan. Penguasa
setempat, yaitu ‘Utsman ibn Mu’ammar memperluas perlindungannya kepada Muhammad
bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk setia kepada pemahaman tauhid yang
didakwahkan oleh Ibnu ‘Abdul Wahhab.
Perlindungan
penguasa membuat Ibnu ‘Abdul Wahhab semakin tak terkendali. Ia semakin
terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan
bid’ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin serta
menolak berbagai tafsir Al-Qur’an yang dianggapnya menyimpang.
Namun
ini tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, ‘Utsman ibn Mu’ammar, menyerah
kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada tahun 1744 ia
diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke Al-Dir’iyyah (masih di Najd),
ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, yang notabene bermusuhan dengan amir
‘Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu ‘Abdul Wahhâb mendapat perlindungan.
Selanjutnya terbentuklah sebuah aliansi permanen yang meliputi tiga aspek:
politik, keagamaan, dan perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa’ud
mendapatkan legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu ‘Abdul Wahhab
diuntungkan dengan diangkatnya menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan sebagai
mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa’ud mengawini salah seorang putri
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebuah aliansi yang tentu saja menguntungkan kedua
belah pihak. Prof. Abdullah Mohammad Sindi menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris
mengambil peran penting dalam rangka terwujudnya aliansi tersebut. Melalui
dukungan uang dan senjata, Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi
tersebut.[9]
Inilah
babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak mengontrol ketat segala
macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di Arab Saudi.
Muhammad
bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai
pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tahun 1159 H/ 1746
M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang
yang tidak sejalan dengan pemahaman tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang
dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad. Mula-mula mereka menyerang mazhab
Syi’ah, kemudian kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang
tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam
kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi kekuatan dominan di
jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud berkembang seluas 30 mil
persegi.[10]
Tahun
1206 H/ 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa Madinah, Muhammad
bin ‘Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak mengurangi motivasi untuk
melakukan penaklukan dan pembantaian. Malah, kekuatan mereka tumbuh semakin
besar.
Pada
bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di Karbala, tercatat 4000
orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka menghancurkan makam Imam
Husain di sana. Tahun 1810 mereka membunuh orang-orang tak bersalah di jazirah
Arab. Di Makkah mereka menjarah orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di
Madinah mereka menyerang dan menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari
kekuatan yang semakin besar, maka target selanjutnya adalah melepaskan diri
dari dari Imperium Utsmani. Tidak butuh waktu lama, ekspansi Wahhabi berhasil
menimbulkan instabilitas di wilayah kekhalifahan tersebut, terutama di
semenanjung Arabia, Irak dan Syam.
Periode
Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru
Pendudukan
kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi, yakni
Kerajaan Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih, berbagai aksi teror yang
dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah membangkitkan kemarahan kaum Muslim
sedunia. Untuk menindaklanjutinya, Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk
menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan
kelompok Wahhabi. Dir’iyyah pun diratakan dengan tanah. Abdullah al-Sa’ud, amir
saat itu, beserta dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik
kepalanya dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini
merupakan sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah kepada
orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.
Kekalahan
itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api permusuhan
terhadap kelompok Muslim lainnya. Tapi ironisnya, semakin mendekatkan diri
kepada kolonial Inggris. Ini terlihat ketika tahun 1851, Faisal Ibn Turki
al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari tahanannya di Kairo,
kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai tindak lanjut hubungan itu, tahun
1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu
perjanjian.
Di
awal abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin berhasil
merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi saat itu, Abdul
‘Aziz, dimanfaatkan. Lagi-lagi, teror kembali dilakukan kelompok Wahhabi.
Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang dibantai secara kejam.[11]
Berkat
sokongan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di bawah
kepemimpinan Abdul ‘Aziz berhasil menaklukkan hampir seluruh jazirah Arab.
Puncaknya, tahun 1932 kerajaan Saudi Arabia terbentuk. Ini menandai periode
kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.
Periode
Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya Ikatan
Periode
ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan peralihan dari Inggris ke
Amerika sebagai patron asing utama mereka. Kembali aliansi ini dijadikan
instrumen istimewa untuk kepentingan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah.
Melalui
kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi dan Wahhabismenya
itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang melekat kepadanya,
tetapi juga secara dramatis berusaha meningkatkan citra diri di tengah dunia
Islam. Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan
reformis yang semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam.
Sang pendiri, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu
yang telah berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal
memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha dieliminasi. Perlakuan
diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai warga kelas tiga semakin
dikurangi. Tetapi isu-isu sektarian yang menyangkut perlakuan buruk terhadap
mazhab minoritas, terutama Syi’ah, tetap berlangsung.[12]
Namun
seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan antara kelompok keagamaan
Wahhabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara. Pemicu utamanya adalah maraknya
korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai munculnya gejala sekularisasi.
Sejumlah kecil orang mulai berani mengecam dan berani mengungkap
penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan
di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad ‘Utaibi,
seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan awal adanya
kekecewaan pada sebagian kalangan terhadap kerajaan Saudi. Dikuasainya Masjidil
Haram oleh sekelompok bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun
meledak. Lalu tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi
memulihkan situasi di tanah suci.[13]
Perang
teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang
antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.
Sementara
pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahhabi justru
menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi. Lantas
orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama Wahhabi ketika Irak
diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel selama 33
hari, juga ketika genosida terhadap rakyat Palestina berlangsung hingga kini?
Jawabnya sederhana: haram membantu perjuangan orang-orang yang tidak seakidah
dengan mereka.[14] Itu pula yang menyebabkan kerajaan
Saudi setengah hati ketika mendukung penyerangan Amerika terhadap tentara
Taliban di Afghanistan yang nota bene berpaham Wahhabi.
Maka
ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal 11 September
2001, ulama Wahhabi bernama ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang tidak
hanya membenarkan serangan terhadap WTC, tetapi juga mengutuk orang-orang
murtad dan kaum Muslim yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang
jelas di dalamnya termasuk keluarga Kerajaan Saudi.[15] Namun meski demikian, masih banyak
jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.
III.
Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme?
Ada
pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan Salafisme, apakah keduanya
sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula mengatasnamakan diri
sebagai As-Salaf. Namun jika
ditinjau dari kategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara keduanya.
Sebagai
respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam, berkaitan
dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat, muncullah tokoh-tokoh
pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, lalu
dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimin, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai
tokoh dan gerakan yang dikenal sebagai Salafiyah.
Diantara
tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis dan
konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah kepada masa
lalu dan para pendahulu yang saleh (al-salaf
al-shâlih), karena itu gerakan mereka disebut sebagai Salafiyah.
Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha merekonsiliasi ide-ide
“modern” dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan) kembali kebaikan-kebaikan
yang menurut mereka terdapat dalam agama.[16]
Akibat
situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih erat
antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu Mesir dan
Arab Saudi. Di bawah payung organisasi Liga Dunia Muslim yang dibentuk Arab
Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabi terwujud.
Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir
sulit disalahkan jika mereka mendekatkan diri kepada Arab Saudi, mengingat
serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri. Padahal
kekhawatiran mereka sangat beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman
imperialisme asing. Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan
Salafi seperti Rasyid Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang
pahlawan, mulai bersimpati pada Wahhabisme.
Di
tengah transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu
yang dikenal bercorak keras adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid Quthb
(w.1960). Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer sebagai
neo-Jahiliyyah, namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis
yang lebih muda dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah).
Implikasi paling serius yang telah dielaborasi adalah konseptakfir. Muslim nominal
(Islam “KTP”) telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan
dibunuh.[17]
Watak
radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang menyamakan Salafisme
dengan Wahhabisme. Memang Salafisme memiliki sejumlah kesamaan pandangan
keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup mencolok. Adapun yang
membedakannya adalah sebagai berikut:
1.
Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka
mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka.
2.
Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik
dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
3.
Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam
Islam.
Perbedaan
di atas bisa ditarik ketika—sekali lagi—istilah Salafisme dikaitkan dengan
kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Mengingat saat
ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama yang berkembang di
Indonesia.
IV.
Sekilas Ajaran Wahhabisme
Setelah
memaparkan sejarah perkembangan Wahhabisme, penting kiranya untuk sedikit
menyinggung doktrin utama ajaran mereka.
Dari
paparan sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca bagaimana corak ajaran
mereka. Namun di bagian ini penulis akan mencoba meringkasnya seraya
menambahkan beberapa poin yang penulis anggap penting.
Kaum
Wahhabi, seperti pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir sangat linier,
literal, kaku, serta sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun
hadits. Umumnya mereka menolak majâz (metafora). Bagi mereka, semua inovasi itu
sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Sehingga bid’ah hanyalah sebuah
eufimisme, kata pelembut untuk ‘kafir’.[18]
Mereka
juga menolak keberadaan seni dan budaya dalam Islam, serta tidak mementingkan
peninggalan sejarah Islam. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam
seperti rumah tempat kelahiran Nabi, rumah Ummul Mu’minîn Khadîjah, serta
tempat tinggal Nabi dihancurkan. Padahal, menurut Syaikh Ja’far Subhani,
awalnya Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab memusatkan upayanya hanya untuk
menghancurkan kuburan-kuburan saja, bukan menghancurkan setiap peninggalan yang
ditinggalkan Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia. Tetapi para pengikutnya
kini telah meluaskan usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan
Islam, dengan dalih perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah.[19] Ini tentu sangat disayangkan dan
penting untuk diperhatikan kaum Muslim di seluruh dunia.
Kian
hari umat Islam mengalami persoalan yang kian menumpuk. Namun bagi Wahhabi,
persoalan utama umat Islam terletak pada masalah tauhid, di mana mereka
membaginya menjadi tiga bagian:[20]
1).
Tauhid al-Rububiyyah
Tauhid
ini mengandung arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb,
penguasa dan pencipta dunia, yang menghidupkan dan mematikan. Tauhid ini
sekadar pengakuan verbal yang dengannya saja belum memadai untuk mencapai
kualitas sebagai Muslim.
2).
Tauhid al-Asma wa al-Sifat
Mengandung
pengertian hanya membenarkan nama dan sifat yang disebut dalam Al-Qur’an. Tidak
diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut kepada siapapun selain Tuhan. Ini
merupakan ulangan dari apa yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam
antropomorfisme.
3).
Tauhid al-‘Ibâdah
Mengandung
pengertian bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid inilah
yang dianggap paling penting, yang membatasi secara tegas antara Islam dan
kufur, antara tauhid dan syirik. Di sini tauhîd al-‘ibâdah didefinisikan secara negatif, dalam
arti menghindari praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif. Inilah yang
mengakibatkan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai penyimpangan.
Ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak yang sangat keras.[21] Maka segala macam bentuk tawassul,
ziyarah, tabarruk, syafâ’ah, hingga praktik-praktik yang telah menjadi tradisi
dalam Islam Sunni dan Syi’ah sepeti maulid, dianggap sebagai pelanggaran atas tauhîd
al-‘ibâdah.
Dalam
pandangan Wahhabi, bid’ah dibagi menjadi dua: 1). Bid’ah dalam adat dan
tradisi; 2). Bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama hukumnya mubah/ boleh,
sedangkan yang kedua haram dan sesat. Bid’ah yang kedua kemudian dibagi lagi
menjadi dua: bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah dan bid’ah fi al-‘ibadah.
Bagi
Wahhabi, kaum Syi’ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah melakukan bid’ah
baik bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah maupun bid’ah
fi al-‘ibadah. Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.
V.
Refleksi
Wahhabisme
pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil pemikiran
seorang anak manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik lokal
keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian Islam. Bahwa kemudian ia
dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan hegemoninya, ini adalah hal lain
yang memang tak dapat dipungkiri, bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian.
Namun mengatakannya bahwa sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris,
memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat lagi. Adapun memoar ‘Confession of a British Spy’
tidak cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan,
walaupun tetap patut dibaca untuk ‘meraba’ situasi jazirah Arab saat itu.
Jika
saja aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak
raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah
sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan berumur
pendek saja. Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu membuat mereka
eksis hingga saat ini. Mereka memiliki modal kuat sehingga mampu
menyebarluaskan paham Wahhabisme di dunia Islam, hingga ke Indonesia.[22] Dan penyebaran paham Wahhabisme di
Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia yang
sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence masyarakat Muslim yang lembut dan
sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan
luar.
Karakteristik
Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang
mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa didapati
di Makkah dan Madinah. Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah
berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, di tangan Wahhabi
berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah
Wahhabisme yang secara absurd diberi label Universitas. Padahal kegiatan
intelektual menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam
genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke
masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Islam.
Imbas
ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan
kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi. Maka
menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil mengekspor pahamnya hingga
berhasil memberangus seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang
sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan apresiasi
terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam begitu
kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik, seni
merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan gairah
spiritualisme.
Hal
lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara
radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif.
Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan baik
Sunni ataupun Syi’ah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok
Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam
yang sesungguhnya.
Telah
banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan
implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif menghasilkan
karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme. Sayangnya, isu ini
bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar masyarakat kita. Maka akibat
sikap lalai, tak heran jika paham Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke
sekolah-sekolah hingga ke Universitas.[23]
Mungkin
membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahhabisme.
Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa
dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang
teknologi, rekayasa dan ilmu alam. Lantas mereka mendapati di dalam Wahhabisme
ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan
dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan
yang tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan
dalam bentuk sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi mereka.
Perlu
dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju
dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum
yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi
baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan,
dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita
untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang
mengundang selera anak-anak muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka
terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka
belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan
mempesona.[]
[1] Algar, Hamid. Wahhabisme,
Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Paramadina, 2008, hal 28
[2] Kaum Wahhabi sendiri menganggap mereka
sebagai representasi dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
[3] Algar, Hamid, op. cit., hal 30
[4] Hamid Algar memandang motif perjalanan
Ibnu ‘Abdul Wahhab masih tanda tanya. Sejarawan lainnya mengatakan untuk urusan
bisnis atau sekadar bersenang-senang. Ada juga yang mengatakan motif
perjalanannya itu untuk menimba ilmu.
[5] Abdullah Mohammad Sindi, Britain
and the Rise of Wahhabism and the House of Saud, e-Bulletin Vol.IV
16 January 2004, www.kanaanonline.org
[6] Meskipun catatan atau buku berjudul Confession
of a British Spy ini
diragukan keasliannya oleh sebagian kalangan, termasuk Prof. Hamid Algar, namun
cukup layak dibaca untuk mengetahui gambaran situasi di jazirah Arab saat itu.
[7] Waqf Ikhlâs, Confession
of a British Spy, Istanbul:
Waqf Ikhlas Publications No.14, Eight Edition, 2001
[8] Algar, Hamid, op. cit., hal 30, 44,
45, 47
[9] Dr. Mohammad Abdullah Sindi, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] International Crisis Group, dalam
jurnal tertanggal 19 September 2005, melaporkan bahwa intimidasi terhadap kaum
minoritas Syi’ah terus berlangsung, bahkan di sekolah-sekolah guru-guru secara
terbuka mengkafirkan Syi’ah di depan para siswanya. Belum lagi fatwa ulama
Wahhabi yang terang-terangan menghalalkan darah kaum Syi’ah.
[13] Trofimov, Yaroslav, Kudeta
Mekkah, eBook, Pustaka Alvabet, http://books.google.co.id/books?id=gPYcKbf6sxIC&printsec=frontcover&hl=en#v=onepage&q=&f=false
[14] Isu ini bisa dicek di beberapa website
Wahhabi/ Salafi baik di luar maupun dalam negeri. Sebagai contoh: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1086
[15] Algar, Hamid, op.cit., hal 119
[16] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak
Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Bandung:
Mizan, 2007, hal 32
[17] Ibid, hal 41
[18] Muhsin Labib, Wahabisme
Dan ‘Teologi Penyesatan’, http://irfanpermana.wordpress.com/2007/02/28/wahabisme-dan-%E2%80%98teologi-penyesatan%E2%80%99/
[19] Subhani, Ja’far, Al-Milal
wa Al-Nihal, Studi Tematis Mazhab Kalam,
Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997, hal 363
[20] Algar, Hamid, op.cit., hal 69
[21] Ibid, hal 72
[22] Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam
bukunya, Jejak Kafilah, mengatakan bahwa tiga organisasi di Indonesia secara khusus
menerima dukungan dana signifikan dari Arab Saudi. Mereka adalah DDII,
Al-Irsyad, dan Persis. (Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung:
Mizan, 2007)
[23] Baca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat
yang dipublikasikan di website alamat berikut: http://news.okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islam-menyusup-ke-smu
Simak di: http://www.sarkub.com/2012/rekam-jejak-gerakan-wahhabisme/#ixzz2YWBpbmaz
Salam Aswaja by Tim Menyan United
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook